Friday 28 November 2014

Menjadi Ibu Negara (*edisi curcol)


                                                       Menjadi Ibu Negara

Belum lama ini aku mengamati tingkah laku para istri dibelakang  para bapak yang sukses dikancah komunitasnya. Setelah melihat sosok ibu Iriani di televisi yang mendampingi orang nomor satu di Indonesia muncullah ide untuk menuliskan ihwal ini. Sosoknya yang sederhana dan menjadi diri sendiri menjadi sorotan seluruh media. Kemudian kemarin mataku tertuju pada sosok pendamping yang lain.  Wanita itu sangat ramah, menjamu teman-teman suami dengan senyum merekah dan tak henti-hentinya mengumbar obrolan hangat pada tamu. Dandananya elegan tetapi ada bagian tertentu yang terlihat mewah. Ada juga dengan karakter biasa, maksudnya ia bertingkah laku tetap menjadi diri sendiri  dengan keramahan yang sederhana, dengan dandanan yang sederhana pula.Ia akan menjadi sangat ramah dengan orang-orang yang dekat dengan dia.

Aku jadi teringat beberapa tahun silam saat masih sangat dekat seseorang. Dimana aku tetiba menjadi nyonya diantara sekelompok komunitas baru. Menjadi sosok dibalik lelaki yang lebih menonjol tentunya akan diperhatikan gerak-geriknya. Tak mesti menjadi artis, tapi  disaat itulah mata sekelompok tertuju padaku. Pengalaman baru dengan teguran yang lumayan nendang. Ya, aku dicap kurang ramah menyambut, melayani teman-temannya.

Bukan untuk yang pertama kali, bahkan sudah tak terhitung parasku yang dicap jutek. Karakter aku memang kurang bisa diseting berpura-pura ramah renyah dihadapan orang-orang baru. Sadar sesadarnya untuk mencoba merubah, rupanya tidak mudah. Pernah ada yang mengiraku orang batak, karena wajahku yang datar dan tegas. Adapula yang mengatakan aku angker, misterius dan abstrak. Sampai-sampai aku paling tidak mau menjadi SPG dari dulu, mengingat karakter yang demikian plus kurang bisa memoles muka dengan make up. Aku memang tidak ramah dengan orang yang tidak dikenali, tapi jangan salah aku akan menjadi sangat baik jika sudah berteman baik, apalagi akrab.

Pelayanan dari ibu negara pastinya berbeda-beda. Karakter itulah yang menjadi pembeda. Ada yang memang pendiam, jutek humoris, periang dll. Ada pernyataan “Ramah itu ada batasnya, jutek itu selamanya” Kalau memang dasarnya ramah pastinya dia memang benar ramah, tetapi jika dasarnya jutek biasanya akan cape dengan berpura ramah dan ia akan kembali menjadi jutek. Di situlah kaum ibu negara berperan untuk turut serta menjaga harkat martabat suami dimata teman-temannya. Mereka sanggup untuk memantaskan diri sebagai pasangan suami. Disamping itu perlu adanya sikap dewasa, sigap menyesuaikan diri untuk menghadapi suasana apapun dan mampu mengimbangi kebutuhan keadaaan.

Pekerjaan rumah yang besar bagi istri atau calon istri. Sudah seharusnya istri mampu menghadirkan kebahagiaan di depan mata suaminya, walau hanya sekedar dengan pandangan mata. Seorang istri diharapkan menggali apa saja yang bisa menyempurnakan penampilannya, memperindah keadaanya di depan suami tercinta. Mengenai hal ini, kebutuhan wanita  bisa terlihat cantik untuk menentramkan hati suami.

Apapun karakter, dalam pernikahan tidak melihat dari mana pendidikan universitas mana. Tapi sama-sama memberikan keamanan, kemaslahatan dan kenyamanan dalam pernikahan. Agama memegang peran penting di dalamnya. Sama-sama berkomitmen pada panduan Allah dan RosulNya.

Menjadi ibu negara seperti apa nanti? Entahlah sampai sekarang saya belum ditemukan dengan kepala negara Aku akan tetap menjadi diri sendiri, dan jutekku pada porsinya hehe


No comments: