Saturday 2 April 2016

Memutuskan Jodoh


Memutuskan Jodoh

Dititik mendekati ujung sabar ada jalan lain yang timbul ke permukaan. Mengulik dari kisah pribadi,  saya berharap ini tidak termasuk bagian dari riya. Berbagi saja, toh banyak orang yang merasakan apa yang saya rasakan namun belum mampu dituang dalam paragraf demi paragraf. Keresahan itu sudah mengendap lama dibenak hati dan pikiran. Yang masuk dari sorot pandang mata dan runcing telinga suasana sekitar. Ketika teman sebaya dipenuhi timeline mengumbar foto anak, beserta cerita tumbuh kembangnya, ketika obrolan tentang kebutuhan suami, membicarakan mertua, memusyawarahkan mudik, obrolan membandingkan harga minyak merk yang satu dengan yang lain dan lain-lain. Memilih diam dan berpura-pura tidak mendengar  sementara waktu sepertinya langkah yang baik, meski disitu ada pelajaran yang dibalut iri hehe (gue kapaan? Gue kapaan) sambil menggerutu

Awal tahun ini dimulai peperangan batin dan psikis yang cukup membuat terguncang. Ada balutan egois jugak, ketika adikku memilih untuk wisuda ditemani pacarnya. Seketika itu, sebagai kakak memutuskan untuk tidak menemani acara wisuda jika harus berbarengan dengan pacarnya itu. Walhasil adikku menyingkirkan lelaki itu dan saya bersama keluarga mendampinginya diacara menyematkan gelar sarjana. Tapi dilain waktu, masih dalam satu hari lelaki itu datang saat malam dan kembali datang disiang harinya. Saya envy, iyya. Lelaki itu datang bertubi-tubi didepan mata dan keluargaku saat kondisi rumah dalam renovasi yang masih banyak material dan debu. Menjadi kakak yang akan dilangkah adiknya untuk yang kedua kali rasanya berat. Ukuran ikhlas diri tidak semudah lidah tanpa tulang berucap. Bukan tanpa usaha untuk tegar dan mencoba tenang. Tapi gemuruh hati dan perasaan tidak bisa dibohongi. Bukan pula soal mitos tentang adat langkahan atau mengenal istilah pamali atau hal tabu. Ada banyak kegelisahan, ketakutan yang tak berdasar. Terkesan lebay? entahlah, posisi saat itu dalam gusar, jika ada bisikan setan itu masuk tentu sangat mudah menghasut.

Kemudian berganti hari, "Mba, mau dilangkah apa?" di sore yang tenang seakan menjadi mencekam. Kalimat itu seperti sambaran petir, padahal waktu lamaran dan nikah belum tayang dan terlaksana. Sebagai adik yang baik, harusnya mencoba bisa menjaga perasaan wanita, terlebih kakak kandungnya. Yang sangat sering berbagi suka duka dan keluar dari rahim yang sama. Ada letupan emosi "mobil" ujarku dengan cepat. "Mba, aku orang gak punya, calon ku juga sama orang gak punya, masak mobil?" Nada bicaranya sedikit tersendat ditenggorokan. Sambil berlalu,  saya masih saja nyinyir dengan ketidak berpihakan keadaan menurutku. Keadaan yang sama, tepat tiga tahun yang lalu. Adikku meninggalkan langkah dengan menelan ucapan tak terucap dan menahan tangis.

Ketika dihadapan masyarakat sebenarnya sudah biasa. Hanya saja bentuk khawatir dari orang tua yang menginginkan yang terbaik buat anaknya. Terkadang untuk mengungkapkan kasih sayang itu dengan cara mereka sendiri. Apa daya, harapan bisa dilayangkan oleh setiap makhluk yang bernapas, namun kembali pada ke Tangan Penentu.


Becermin dari rentetan peristiwa itu, rasanya tidak ingin mengalah dengan keadaan. Tabungan yang tak seberapa sudah lenyap untuk urusan rumah. Awal niat menabung untuk persiapan menikah. Kerudung dengan ukuran kecil dan berbahan paris saya sumbangkan kepada lembaga yang membutuhkan. Kebetulan dalam grup whatssapp ada yang membagikan info berbagi hijab. Begitu pula kemeja-kemeja yang masih laya k pakai itu disumbangkan juga. Argh, lega rasanya barang-barang yang dilemari tidak lagi penuh. Niatan hijrah melangkah kearah yang lebih baik sudah terlewati satu tahap. Kerudung perlahan berganti menjadi ukuran lebih lebat dan tentu menguras badget.

Tak cukup itu, disepertiga malam akhir terbangun dan mengadu. Tersedu sedan dengan bait-bait munajat mengharap disegerakan jodoh. Terurai rinci kriteria lelaki calon imam yang didamba usai salam. Lelaki sholeh menjadi prioritas. Saat hujan melebat, saay berbuka puasa, usai 5 waktu dan waktu mustajab lainnya selalu meminta, menyebut kriteria jodoh. Pernah menyebut seseorang jika ingat. Wujud ikhtiar dengan mengikuti grup pencarian jodoh di sosmed, mengadu dengan salah seorang ustad dan ditaarufkan dengan lelaki yang menurut rekomendasi beliau sholeh, namun tak berlanjut hingga tahap selanjutnya.

Jodoh takkan kemana, itu lah yang tepat menggambarkan saat ini. Lelaki yang tbuh kembang bersama diusia dini,  kembali mendekat. Untuk kedua kalinya mengajak menikah pada tahun 2014 silam. Proposal itu kutolak dengan alasan cicilan keberangkatan umroh masih panjang dan ihwal lain yang tak ku sebutkan. Awal Maret 2016, berulang kali mencoba yakin, dengan banyak pertimbangan. Beberapa kali pertanyaan kesiapan sejauh mana selalu saja terucap siap. "Aku tak punya tabungan" selorohku, "Aku juga tidak mempertanyakan tabunganku, kamu menjadi bagian dari hidupku saja lebih dari rasa syukur" jawabnya. Berkali-kali meminta mengerti akan keadaanku yang masih merasa menanggung biaya kuliah adik bungsuku dan beberapa urisan rumah yang lain. Hu um, aku memutuskan pencarian jodoh dan memutuskan pilihan.

Lelagi dia meyakinkanku dan mengajaknya pulang. Kembali ke tanah kelahiran menikmati suasana dipinang. Sampai tiba di 26 Maret, dia dan keluarga besarnya datang ke rumah. Meniupkan ruh bangkit dari gusar dan mengembangkan harapan untuk mengurai masa depan. Ternyata, lelaki itu sudah memendam suka denganku sejak di bangku SD. Lelaki yang menyebut-nyebutku dalam larik-larik doa. Lelaki biasa yang tidak terlalu tampan, penggemar sekaligus pengguna vespa dan gemar manjat gunung. Sholeh? Dari obrolan dan sikap kami mempunyai kesamaan beranjak dan bergegas hijrah untuk menjadi baik. Lelaki yang dulu dicap bandel bersalin menjadi lelaki dewasa yang berkepribadian bijak.

Rencananya akhir April ini mengetuk palu untuk berganti status menjadi pasutri. Dengan keterbatasan yang ada, sedikit diselimuti khawatir. Memanjat doa agar diberi kemudahan tiada henti diucap. Sebab, nyatanya lelakiku tidak banyak materi untuk menggelar resepsi. Pantas saja, diawal kesiapan itu tak mau lugas mengutarakan nominal uang yang ada. Sederhana saja dan dicukup-cukupi. Mungkin, jika lugas nominal itu disebutkan, aku sudah menarik diri dari kemarin. Dan tidak terjadi cincin itu melingkar dijari manisku. Ah, dasar memilih ka berhasil meluluhkah. Yang ada sekarang semoga rizki dari penjuru arah mata angin menghampiri. Mengiringi hari-hari hingga menjelang hari sakral dan terus mengiringi dikehidupan rumah tangga kami. Keputusan keluarga, kami mendahului pernikahan adikku. Meskipun adikku dilamar dahulu awal Februari lalu. Yakin, janji Allah tak ingkar. Jodoh datang disaat yang tepat menurut prasangka hambanya





No comments: