Saturday 7 September 2013

Sensasi Mengelilingi Pulau Rida

                                    Sensasi Mengelilingi Pulau Rida 

            Jauh dari prediksi yang dibayangkan. Tambak masih saja macet dengan hiruk pikuk lalu lintasnya yang acak kadut. Walaupun kami sedang menikmati perjalanan di waktu libur pada 6 Juni 2013. Dengan sangat menyesal jadwal kereta api di stasuin Walantaka jurusan Tanah Abang Merak pukul 10.05 tak terkejar. Padahal sudah dengan susah payah turun dari angkot dan jalan kaki dari sebelum terowongan hingga Selikur.Masih ada banyak jalan menuju Roma itu pepatah bilang. Perjalanan dari terminal Pakupatan berlanjut naik bus Arimbi jurusan Merak. Kami ber-6 (Afida, Diah, Uut, Iis, Ana, Mira) berteman dalam satu ruangan EMC di Planning ngebolang murah. Desti, Mba Tika beserta suami dan jagoan kecil Raka yang belum genap 5 tahun sudah melaju dengan kereta besi dari stasiun Serang.
            Perjalanan yang tersendat membuat matahari makin naik diatas kepala, untunglah teriknya tertutup awan kelabu. Di dekat Mc. Donal dan Indomart Merak kami bertemu Mba Tika. Setelah istirahat sebentar dengan menyantap es krim kami melanjutkan perjalanan ke pulau Rida. Anak muda sekitar sering menyebutnya dengan Florida sebuah pulau yang berada di dekat benua Amerika anggapnya biar lebih keren.

             Armada kecil merah itu mengantarkan kami sampai gerbang pantai, dengan tarif angkot Rp.3000, 00. Dengan tiket Rp.5000,00 perorang kami menikmati pantai biasa berpasir abu-abu, sebelumya petugas karcis mematok harga jeban perorang, setelah kami tawar menjadi setengah harga. Tak banyak pengunjung yang datang hanya beberapa mobil yang bisa dihitung jari bersiap-siap menggelar tikar untuk piknik. 

            Adzan dhuhur berkumandang tak lama setelah sampai di bibir pantai. Sementara semua menunaikan panggilan Allah. Masjid itu berada di seberang jalan tak jauh dari gerbang. Aku menemani Raka bermain pasir. Pasir itu dibentuk gunung hingga menjulang tinggi. Seorang kakek yang sudah mulai tanggal giginya menghampiri kami dan menawarkan jasa kapal untuk mengantar ke pulau Rida. Kapal memang belum standby, setelah ok tawar menawar harga tak lama kapal datang dan kamipun sudah berkumpul kembali.


            Seru dan asyik, ketika dari arah laut menyabet kerudung dan gerai rambut. Apalagi untuk Diah, Iis dan Ana nangkring narsis di muka kapal, kakinya berayun-ayun menerjang air laut.  Ombak kecil itu seakan terasa besar setelah diterjang kapal boat yang kami tumpangi. Seperti menabrak batu jika dijalan raya, gelombangnya mengentak kami yang duduk sambil menikmati sekitar pemandangan menuju Pulau Rida. Cipratan airnya dahsyat, seperti mengguyur kami, sesekali air asinnya tertelan saat kami menjerit histeris. Kapal itu dikemudi pemuda hitam manis yang memutari pulau dengan lincah. Belokan–belokannya membuat adrenalin tersendiri, wajar saja kami tidak terbiasa dengan kendaraan laut, saat mudikpun tidak. Salah satu sisi pemandangan terbentur oleh kapal tongkang. Kapal-kapal tongkang yang  hitam berbandul ban pembawa batu bara itu berdiri gagah seiring usianya yang makin tua. Batu bara tsb akan diolah menjadi PLTU Suralaya, letaknya yang tak jauh dari pulo Rida.Dari jauh terlihat cerobong-cerobong asap milik PLTU yang berjumlah 6 dan berwarna coklat berblaster merah dan putih diujungnya. Jika badan geser sedikit ke kanan diikuti pandangan, maka akan terlihat  pemandangan hijau dari bukit-bukit  bertanah cadas, karena sering terguyur hujan, jadi  ada banyak tumbuhan memadati, tapi jika musim kemarau sering terlihat gersang dan gundul.
            Perjalanan menuju pulau Jawa paling barat ini, memang tak merogoh kocek dalam-dalam. Naik kapal boat ini saja Rp.10.000,- bolak-balik dengan kesempatan berada dipulau Rida sepuasnya. Kristal pasir putih bertabur karang-karang yang beraneka ragam menjadi suguhan pertama yang menarik. Selain gila foto, gadis berkaca mata minus dari SD ini,semakin menjadi-jadi saja. Mengumpulkan dan mengantongi  karang-karang yang menurutnya berbentuk lucu dalam rangsel hitam dan menampung satu liter pasir puith dalam bekas botol air mineral adalah antusias aktifitas berikutnya. Begitu pula dengan Diah rangselnya terlihat lebih montok dengan isi karang itu. Sambil jalan kami menyusuri tepi pantai. Tapi tak sampai yang paling dekat menuju laut lepas karena bakau-bakau itu tubuh mengerumun dan padat, jadi kami tidak disarankan untuk menapaki daerah tsb. Masih berkarang, sasaran berikutnya adalah mencari klomang. Entah ajaran dari mana, sejak kecil ketika kita bermain klomang agar kepala dan tentakelnya keluar dari sarangya maka kita tiup dengan bau jigong kita. Ada-ada saja, namun jurus ini sering ampuh sehingga klomangpun muncul dan berjalan miring dengan lincah. Untunglah matahari dan cuaca bersahabat tidak  terlalu panas tetapi tidak hujan. De’ Raka jagoan kecil sudah merengek-rengek setelah terjatuh dari karang. Tak lama dari itu kami putuskan pulang. Dengan melambaikan tangan, mengibar-kibarkan kardigan akhirnya si empunya kapal menjemput kami.
            Mba Tika berserta keluarga memilih lebih dulu pulang. Sementara kami para gadis lebih memilih untuk menikmati pelabuhan merak yang beraroma pesing dan suara gulung ombak. Sambil menunggu asar tiba kami mengabadikan momen dengan foto narsis kemudian dilanjut berburu krupuk kemplang khas Lampung untuk oleh-oleh. Sepanjang terminal Merak hingga menuju pelabuhan para pedagang berjejer rapi menjajakan makanan dan oleh-oleh.

            Keseruan kami tak sampai di sini, angkot menuju rumah menjadi sasaran empuk untuk berumpi ria. Gelak tawa mengiringi candaan kami. Ana cimulut comel menjadi biang rumpi. Terlihat hampir semua penumpang selain kami juga ikut tersenyum dengan obroloan kocak kami bak burung beo terus bersaut-sautan. Episode kebersamaan melepas kepenatan yang indah.


No comments: