Sensasi Mengelilingi Pulau Rida
Jauh dari prediksi yang dibayangkan. Tambak masih
saja macet dengan hiruk pikuk lalu lintasnya yang acak kadut. Walaupun kami
sedang menikmati perjalanan di waktu libur pada 6 Juni 2013. Dengan sangat
menyesal jadwal kereta api di stasuin Walantaka jurusan Tanah Abang Merak pukul
10.05 tak terkejar. Padahal sudah dengan susah payah turun dari angkot dan
jalan kaki dari sebelum terowongan hingga Selikur.Masih ada banyak jalan menuju
Roma itu pepatah bilang. Perjalanan dari terminal Pakupatan berlanjut naik bus
Arimbi jurusan Merak. Kami ber-6 (Afida, Diah, Uut, Iis, Ana, Mira) berteman
dalam satu ruangan EMC di Planning ngebolang murah. Desti, Mba Tika beserta
suami dan jagoan kecil Raka yang belum genap 5 tahun sudah melaju dengan kereta
besi dari stasiun Serang.
Perjalanan yang
tersendat membuat matahari makin naik diatas kepala, untunglah teriknya
tertutup awan kelabu. Di dekat Mc. Donal dan Indomart Merak kami bertemu Mba
Tika. Setelah istirahat sebentar dengan menyantap es krim kami melanjutkan
perjalanan ke pulau Rida. Anak muda sekitar sering menyebutnya dengan Florida
sebuah pulau yang berada di dekat benua Amerika anggapnya biar lebih keren.
Armada kecil merah itu mengantarkan kami
sampai gerbang pantai, dengan tarif angkot Rp.3000, 00. Dengan tiket Rp.5000,00
perorang kami menikmati pantai biasa berpasir abu-abu, sebelumya petugas karcis
mematok harga jeban perorang, setelah kami tawar menjadi setengah harga. Tak
banyak pengunjung yang datang hanya beberapa mobil yang bisa dihitung jari
bersiap-siap menggelar tikar untuk piknik.
Adzan dhuhur
berkumandang tak lama setelah sampai di bibir pantai. Sementara semua
menunaikan panggilan Allah. Masjid itu berada di seberang jalan tak jauh dari
gerbang. Aku menemani Raka bermain pasir. Pasir itu dibentuk gunung hingga
menjulang tinggi. Seorang kakek yang sudah mulai tanggal giginya menghampiri
kami dan menawarkan jasa kapal untuk mengantar ke pulau Rida. Kapal memang
belum standby, setelah ok tawar menawar harga tak lama kapal datang dan kamipun
sudah berkumpul kembali.
Seru dan asyik,
ketika dari arah laut menyabet kerudung dan gerai rambut. Apalagi untuk Diah,
Iis dan Ana nangkring narsis di muka kapal, kakinya berayun-ayun menerjang air
laut. Ombak kecil itu seakan terasa
besar setelah diterjang kapal boat yang kami tumpangi. Seperti menabrak batu
jika dijalan raya, gelombangnya mengentak kami yang duduk sambil menikmati
sekitar pemandangan menuju Pulau Rida. Cipratan airnya dahsyat, seperti
mengguyur kami, sesekali air asinnya tertelan saat kami menjerit histeris.
Kapal itu dikemudi pemuda hitam manis yang memutari pulau dengan lincah.
Belokan–belokannya membuat adrenalin tersendiri, wajar saja kami tidak terbiasa
dengan kendaraan laut, saat mudikpun tidak. Salah satu sisi pemandangan
terbentur oleh kapal tongkang. Kapal-kapal tongkang yang hitam berbandul ban pembawa batu bara itu
berdiri gagah seiring usianya yang makin tua. Batu bara tsb akan diolah menjadi
PLTU Suralaya, letaknya yang tak jauh dari pulo Rida.Dari jauh terlihat
cerobong-cerobong asap milik PLTU yang berjumlah 6 dan berwarna coklat
berblaster merah dan putih diujungnya. Jika badan geser sedikit ke kanan
diikuti pandangan, maka akan terlihat
pemandangan hijau dari bukit-bukit
bertanah cadas, karena sering terguyur hujan, jadi ada banyak tumbuhan memadati, tapi jika musim
kemarau sering terlihat gersang dan gundul.
Perjalanan menuju
pulau Jawa paling barat ini, memang tak merogoh kocek dalam-dalam. Naik kapal
boat ini saja Rp.10.000,- bolak-balik dengan kesempatan berada dipulau Rida
sepuasnya. Kristal pasir putih bertabur karang-karang yang beraneka ragam
menjadi suguhan pertama yang menarik. Selain gila foto, gadis berkaca mata
minus dari SD ini,semakin menjadi-jadi saja. Mengumpulkan dan mengantongi karang-karang yang menurutnya berbentuk lucu
dalam rangsel hitam dan menampung satu liter pasir puith dalam bekas botol air
mineral adalah antusias aktifitas berikutnya. Begitu pula dengan Diah
rangselnya terlihat lebih montok dengan isi karang itu. Sambil jalan kami
menyusuri tepi pantai. Tapi tak sampai yang paling dekat menuju laut lepas
karena bakau-bakau itu tubuh mengerumun dan padat, jadi kami tidak disarankan
untuk menapaki daerah tsb. Masih berkarang, sasaran berikutnya adalah mencari
klomang. Entah ajaran dari mana, sejak kecil ketika kita bermain klomang agar
kepala dan tentakelnya keluar dari sarangya maka kita tiup dengan bau jigong
kita. Ada-ada saja, namun jurus ini sering ampuh sehingga klomangpun muncul dan
berjalan miring dengan lincah. Untunglah matahari dan cuaca bersahabat
tidak terlalu panas tetapi tidak hujan.
De’ Raka jagoan kecil sudah merengek-rengek setelah terjatuh dari karang. Tak
lama dari itu kami putuskan pulang. Dengan melambaikan tangan,
mengibar-kibarkan kardigan akhirnya si empunya kapal menjemput kami.
Mba Tika berserta
keluarga memilih lebih dulu pulang. Sementara kami para gadis lebih memilih
untuk menikmati pelabuhan merak yang beraroma pesing dan suara gulung ombak.
Sambil menunggu asar tiba kami mengabadikan momen dengan foto narsis kemudian
dilanjut berburu krupuk kemplang khas Lampung untuk oleh-oleh. Sepanjang
terminal Merak hingga menuju pelabuhan para pedagang berjejer rapi menjajakan
makanan dan oleh-oleh.
Keseruan kami tak
sampai di sini, angkot menuju rumah menjadi sasaran empuk untuk berumpi ria.
Gelak tawa mengiringi candaan kami. Ana cimulut comel menjadi biang rumpi.
Terlihat hampir semua penumpang selain kami juga ikut tersenyum dengan obroloan
kocak kami bak burung beo terus bersaut-sautan. Episode kebersamaan melepas
kepenatan yang indah.
No comments:
Post a Comment