Reuni di Pulau Tidung
Jarum jam pendek
lurus angka 5 sedangkan jarum panjang lurus diangka 3. Pagi masih ranum, mata
yang enggan berbelalak dipaksa melek, jari tangannya mengucek-ucek untuk
menegaskan pandangannya yang samar. Nyawa belum sepenuhnya kumpul. Ragil
terperanjat dengan jarum jam tsb.
“Hak, Hak bangun,
bangun!”
“Hmmm aku shift
malam koq” dengan nada sangau, mata terpejam Haki menyauti.
“Ayo berangkat,
kita sudah telat ditunggu teman-teman”
Dengan badan sedikit melunglai mereka bangkit dan bergegas. Di awali
dengan aktifitas megambil air wudhu dan menunaikan sholat shubuh. Mereka
berkemas, tak lupa rangsel hitam mereka gendong dan menemui kami yang telah
menanti. Dalam hati ragil masih digelayuti seribu tanya, ternyata mindset Haki
sudah terbentuk ritual jam kerja.
Sedikit mundur dari
jadwal, pukul 05.50 angkot trayek Senen-Kampung Melayu kami sewa untuk
mengantar kami sampai Muara Angke. Tepatnya pelabuhan lama Angke. Sayang
perjalanan tersendat sepanjang pertigaan SMK Penabur Muara Angke sampai
pelabuhan padat merayap. Dengan semangat mengejar kapal, kami turun menapaki
jejak-jejak niaga para nelayan. Mangkok-mangkok raksasa bertumpukan, jalan yang
becek dan berbau amis kami lalui hingga mengular menaiki kapal Zhavir kami
tunggangi. Sekitar pukul 08.00 WIB kami berangkat.
Sambutan senyum
ramah pemandu menyapa kami. Pukul 11.00 tiba di dermaga pelabuhan Pulau Tidung,
satu dari gugusan pulau di kepulauan Seribu. Kmi diantar menuju homestay untuk
istirahat. Di depan rumah sudah terparkir 10 sepeda. Tempat tinggal yang sangat
homey dengan fasilitas AC yang sudah dingin hingga dinginya menusuk tulang. 2
kamar tidur yang rapi, satu kasur di ruang tengah tepatnya dekat TV dan makan
siang yang sudah siap santap. Beranda berkursi kerajinan dari ban menjadi
tempat favorit kami untuk ngobrol dan canda tawa.
Lepas sholat
dhuhur, kami ber 8, Ragil, Angga, Dollah, Imang, Puji, Haki, Heti dan aku
beruntun menuju Jembatan Cinta, dipandu oleh Mas Diki. Tempat dimana kami
menikmati panorama laut biru tanpa ombak. Sayang sekali aku tak bisa menggowes
sepeda. Sementara mereka menggowes menuju pulau Tidung paling timur, aku hanya
bisa membonceng motor bersama Imang. Iri sekali rasanya tidak bisa menikmati
gowesan sepeda itu. Ditemani pemandangan ilalang dan pasir putih yang lembut
mewarnai perjalanan kami.
Karet panjang warna
merah dan orange menyolok mata menarik
perhatian kami. Ya banana boot, kami akan bermain dengan laut. Jaket safety
kami kenakan. Kami dibagi menjadi 2 kelompok. Dengan ditarik speed boat kami
mengelilingi laut, diawali menuju terowongan di bawah jembatan cinta, dan terus menjauh.
Pemandangan yang maha luas dengan air laut yang bening. Kelok-kelok dan ayunan
banana boot membuat jantung berdebar-debar. Brak! Kami dijatuhkan, banana
bootpun terguling, begitupun kami. Sampai tertelan asin air laut. Mengagetkan
dan seru. Untunglah di laut yang dangkal, hingga tak perlu waktu lama berenang
ketepian. Sepertinya adrenalin kami belum puas untuk menjajal wahana yang lain,
kami memilih water sofa. Pelampung besar dengan 5 cekungan itu kami duduki
kemudian ditarik dengan speed boat. Sensasi pantulan dari gelombang air membuat
kami terayun-ayun di tambah tarikan memutar setengah lingkaran membuat tak henti-hentinya teriak
dan semakin erat memegang tali.
Hore! Senang
rasanya dekat sekali dengan Jembatan Cinta. Masih kuyup badan ini, kami meniti
jembatan cinta hingga jalan buntu. Jembatan yang diawali dengan bentuk
melengkung seperti setengah lingkaran itu menjadi magnet para wisatawan. Dimana
mempunyai mitos. Yang pertama, jika
ingin mendapatkan cinta maka berloncat dari ketinggian 10 meter ini, maka akan
menemukan belahan jiwanya dan akan langgeng. Mitos kedua yaitu jika melewati
degan berpegangan tangan bersama kekasih, niscaya hubungan akan awet dan
berlanjut ke jenjang pernikahan. Beragam
mitos yang beredar membuat penasaran para wisatawan. Jembatan ini membentang
dari arah barat ke timur yang menghubungkan Pulau Tidung Besar ke Pulau Tidung Kecil,
dengan panjang sekitar 800 meter berdiri di atas cekungan laut (goba). Menurut
guide, jembatan ini dibangun tahun 2005 silam dengan kontruksi kayu-kayu dan
drum besar. Kini bersalin dengan bangunan permanen sejak 2012 dan tambahan
bangunan 2 gazebo di tepi jembatan. Sepanjang Jembatan Cinta menjadi area
konservasi terumbu karang. Kamipun tak lepas dari sorot kamera untuk
mengabadikan momen kebersamaan itu.
Setelah menikmati
permainan laut, kami kembali ke penginapan dan bersih-besih badan. Selang
lama, Mas Diki mengajak kami ke Tidung paling
barat, dimana kami akan menikmati
sunset. Kami kembali menggowes sepeda. Salah satu alat transportasi selain
sepeda motor dan bemo (becak motor). Kendaraan bemo sendiri merupakan motor
yang dimodifikasi, bagian depan motor dirakit becak. Jadi, penumpang ada yang
di dalam becak ada juga yang membonceng. Aku kembali gigit jari karena tak bisa
menggowes. Semilir angin menari ditengah keriuhan bersepeda, menyelusuri tepi
pantai yang dipagari tumbuhan, pohon kelapa dan magrove. Sinar keemasan
menjari-jari menuju peraduan. Pantulan kilaunya menembus dihamparan laut.
Lebih dari sewindu
semanjak pelepasan abu-abu putih akhirnya bertemu kembali atas inisiatif Haki.
Ragil sebagai pemimpin rombongan, secara ini yang ke-2 kalinya Ragil
menginjakkan kaki di Pulau Tidung. Ragil pulalah yang “pesta bujang” karena tak
lama lagi akan melepas masa lajang. Sosok cowok metropolis yang dulu kurus
kering. Bukan generasi muda yang lebih berorientasi budaya barat tetapi makna
kebersamaan dan melepas kepenatan rutinitas pekerjaan sehari-hari. Senang
rasanya melihat teman-temanku yang dewasa, mandiri, mapan dan berkepribadian.
Dollah kelahiran Abu Dabi yang baru mudik masih dengan gaya kocaknya, Angga dan
rokok yang tak pernah lepas, Imang dengan gaya punknya, Haki yang masih suka
telmi, Puji yang merindukan kehadiran belahan jiwa dan aku kini berkacamata
minus. Di bawah gemerlap galaksi bintang yang bertaburan menerangi malam, kami
menikmati barbeque ikan laut dan cumi bakar, dipadukan dengan sambal kecap yang mantab buatan Mas Diki
Pagi ini kami
diajak menuju Pulau Payung dengan kapal kecil yang kami charter. Setelah
sarapan pagi di Beranda dengan nasi kota bermenu nasi goreng dan telur ceplok.
Sekitar 20 menit dari Pulau Tidung. Pengaruh intensitas cahaya yang dominan membentuk
pigmen alga yang berwarna hijau yang subur. Warna kehijauan laut merata
dipermukaan laut. Ternyata Pulau Payung memang menjadi tujuan wisata bawah
laut, khususnya untuk snorkeling. Dengan alat snorkle, google, fin dan
pelampung kami kenakan. Waktu terbaik yaitu jam 8 pagi dan 4 sore untuk
snorkeling ria. Cuaca cerah dikarenakan cahaya matahari dapat menembus lautan.
Sehingga kami dapat lebih jelas melihat biota bawah laut. Bisa merasakan
sensasi menyentuh biota laut, mengejar ikan dan berusaha menyentuhnya menjadi
acara yang mengasyikkan. Ikan yang tak hentinya berlenggok, menikmati terumbu
karang yang beraneka ragam
sangat memajakan mata.
Siang 30 Juni pukul
11.30 kami siap meninggalkan penginapan, setelah selesai beres-beres hingga
rapi. Kapal feri 2 tingkat telah menanti, sekitar 3 jam perjalanan kami tempuh
menuju Muara Angke. Dengan rogoh kocek Rp.320.000, 00 paket 2 hari satu malam
kami sangat merasa puas. Sebelum melanjutkan ke perjalanan selanjutnya kami
mampir sholat dhuhur dekat pom bensin. Angkot menuju mall kami naiki, berhenti
di halte bus way. Bus trans Jakarta itu mengantar kami sampai Senen dan
sayonara. Selamat berjumpa lagi sobat, persahabatan kita tak mengenal kasta dan
akan terus menjalin silaturrohmi. Selamat menempuh hidup baru dan akan segera
mendapatkan pendamping hidup kita.
Serang,
Penulis Afida Amrina
No comments:
Post a Comment