Saturday 7 September 2013

Jalan-Jalan ke Pulau Tidung


                                                Reuni di Pulau Tidung

            Jarum jam pendek lurus angka 5 sedangkan jarum panjang lurus diangka 3. Pagi masih ranum, mata yang enggan berbelalak dipaksa melek, jari tangannya mengucek-ucek untuk menegaskan pandangannya yang samar. Nyawa belum sepenuhnya kumpul. Ragil terperanjat dengan jarum jam tsb.
            “Hak, Hak bangun, bangun!”
            “Hmmm aku shift malam koq” dengan nada sangau, mata terpejam Haki menyauti.
            “Ayo berangkat, kita sudah telat ditunggu teman-teman”
Dengan badan sedikit melunglai mereka bangkit dan bergegas. Di awali dengan aktifitas megambil air wudhu dan menunaikan sholat shubuh. Mereka berkemas, tak lupa rangsel hitam mereka gendong dan menemui kami yang telah menanti. Dalam hati ragil masih digelayuti seribu tanya, ternyata mindset Haki sudah terbentuk ritual jam kerja.

            Sedikit mundur dari jadwal, pukul 05.50 angkot trayek Senen-Kampung Melayu kami sewa untuk mengantar kami sampai Muara Angke. Tepatnya pelabuhan lama Angke. Sayang perjalanan tersendat sepanjang pertigaan SMK Penabur Muara Angke sampai pelabuhan padat merayap. Dengan semangat mengejar kapal, kami turun menapaki jejak-jejak niaga para nelayan. Mangkok-mangkok raksasa bertumpukan, jalan yang becek dan berbau amis kami lalui hingga mengular menaiki kapal Zhavir kami tunggangi. Sekitar pukul 08.00 WIB kami berangkat.




            Sambutan senyum ramah pemandu menyapa kami. Pukul 11.00 tiba di dermaga pelabuhan Pulau Tidung, satu dari gugusan pulau di kepulauan Seribu. Kmi diantar menuju homestay untuk istirahat. Di depan rumah sudah terparkir 10 sepeda. Tempat tinggal yang sangat homey dengan fasilitas AC yang sudah dingin hingga dinginya menusuk tulang. 2 kamar tidur yang rapi, satu kasur di ruang tengah tepatnya dekat TV dan makan siang yang sudah siap santap. Beranda berkursi kerajinan dari ban menjadi tempat favorit kami untuk ngobrol dan canda tawa.

            Lepas sholat dhuhur, kami ber 8, Ragil, Angga, Dollah, Imang, Puji, Haki, Heti dan aku beruntun menuju Jembatan Cinta, dipandu oleh Mas Diki. Tempat dimana kami menikmati panorama laut biru tanpa ombak. Sayang sekali aku tak bisa menggowes sepeda. Sementara mereka menggowes menuju pulau Tidung paling timur, aku hanya bisa membonceng motor bersama Imang. Iri sekali rasanya tidak bisa menikmati gowesan sepeda itu. Ditemani pemandangan ilalang dan pasir putih yang lembut mewarnai perjalanan kami.


           
            Karet panjang warna merah dan orange menyolok mata  menarik perhatian kami. Ya banana boot, kami akan bermain dengan laut. Jaket safety kami kenakan. Kami dibagi menjadi 2 kelompok. Dengan ditarik speed boat kami mengelilingi laut, diawali menuju terowongan di bawah  jembatan cinta, dan terus menjauh. Pemandangan yang maha luas dengan air laut yang bening. Kelok-kelok dan ayunan banana boot membuat jantung berdebar-debar. Brak! Kami dijatuhkan, banana bootpun terguling, begitupun kami. Sampai tertelan asin air laut. Mengagetkan dan seru. Untunglah di laut yang dangkal, hingga tak perlu waktu lama berenang ketepian. Sepertinya adrenalin kami belum puas untuk menjajal wahana yang lain, kami memilih water sofa. Pelampung besar dengan 5 cekungan itu kami duduki kemudian ditarik dengan speed boat. Sensasi pantulan dari gelombang air membuat kami terayun-ayun di tambah tarikan memutar setengah  lingkaran membuat tak henti-hentinya teriak dan semakin erat memegang tali.

           
            Hore! Senang rasanya dekat sekali dengan Jembatan Cinta. Masih kuyup badan ini, kami meniti jembatan cinta hingga jalan buntu. Jembatan yang diawali dengan bentuk melengkung seperti setengah lingkaran itu menjadi magnet para wisatawan. Dimana mempunyai mitos. Yang  pertama, jika ingin mendapatkan cinta maka berloncat dari ketinggian 10 meter ini, maka akan menemukan belahan jiwanya dan akan langgeng. Mitos kedua yaitu jika melewati degan berpegangan tangan bersama kekasih, niscaya hubungan akan awet dan berlanjut ke jenjang  pernikahan. Beragam mitos yang beredar membuat penasaran para wisatawan. Jembatan ini membentang dari arah barat ke timur yang menghubungkan Pulau Tidung Besar ke Pulau Tidung Kecil, dengan panjang sekitar 800 meter berdiri di atas cekungan laut (goba). Menurut guide, jembatan ini dibangun tahun 2005 silam dengan kontruksi kayu-kayu dan drum besar. Kini bersalin dengan bangunan permanen sejak 2012 dan tambahan bangunan 2 gazebo di tepi jembatan. Sepanjang Jembatan Cinta menjadi area konservasi terumbu karang. Kamipun tak lepas dari sorot kamera untuk mengabadikan momen kebersamaan itu.


            Setelah menikmati permainan laut, kami kembali ke penginapan dan bersih-besih badan. Selang lama,  Mas Diki mengajak kami ke Tidung paling barat, dimana kami akan  menikmati sunset. Kami kembali menggowes sepeda. Salah satu alat transportasi selain sepeda motor dan bemo (becak motor). Kendaraan bemo sendiri merupakan motor yang dimodifikasi, bagian depan motor dirakit becak. Jadi, penumpang ada yang di dalam becak ada juga yang membonceng. Aku kembali gigit jari karena tak bisa menggowes. Semilir angin menari ditengah keriuhan bersepeda, menyelusuri tepi pantai yang dipagari tumbuhan, pohon kelapa dan magrove. Sinar keemasan menjari-jari menuju peraduan. Pantulan kilaunya menembus dihamparan laut.


           
            Lebih dari sewindu semanjak pelepasan abu-abu putih akhirnya bertemu kembali atas inisiatif Haki. Ragil sebagai pemimpin rombongan, secara ini yang ke-2 kalinya Ragil menginjakkan kaki di Pulau Tidung. Ragil pulalah yang “pesta bujang” karena tak lama lagi akan melepas masa lajang. Sosok cowok metropolis yang dulu kurus kering. Bukan generasi muda yang lebih berorientasi budaya barat tetapi makna kebersamaan dan melepas kepenatan rutinitas pekerjaan sehari-hari. Senang rasanya melihat teman-temanku yang dewasa, mandiri, mapan dan berkepribadian. Dollah kelahiran Abu Dabi yang baru mudik masih dengan gaya kocaknya, Angga dan rokok yang tak pernah lepas, Imang dengan gaya punknya, Haki yang masih suka telmi, Puji yang merindukan kehadiran belahan jiwa dan aku kini berkacamata minus. Di bawah gemerlap galaksi bintang yang bertaburan menerangi malam, kami menikmati barbeque ikan laut dan cumi bakar, dipadukan dengan  sambal kecap yang mantab buatan Mas Diki
           
            Pagi ini kami diajak menuju Pulau Payung dengan kapal kecil yang kami charter. Setelah sarapan pagi di Beranda dengan nasi kota bermenu nasi goreng dan telur ceplok. Sekitar 20 menit dari Pulau Tidung. Pengaruh intensitas cahaya yang dominan membentuk pigmen alga yang berwarna hijau yang subur. Warna kehijauan laut merata dipermukaan laut. Ternyata Pulau Payung memang menjadi tujuan wisata bawah laut, khususnya untuk snorkeling. Dengan alat snorkle, google, fin dan pelampung kami kenakan. Waktu terbaik yaitu jam 8 pagi dan 4 sore untuk snorkeling ria. Cuaca cerah dikarenakan cahaya matahari dapat menembus lautan. Sehingga kami dapat lebih jelas melihat biota bawah laut. Bisa merasakan sensasi menyentuh biota laut, mengejar ikan dan berusaha menyentuhnya menjadi acara yang mengasyikkan. Ikan yang tak hentinya berlenggok, menikmati terumbu karang yang beraneka ragam  sangat memajakan  mata. 







            Siang 30 Juni pukul 11.30 kami siap meninggalkan penginapan, setelah selesai beres-beres hingga rapi. Kapal feri 2 tingkat telah menanti, sekitar 3 jam perjalanan kami tempuh menuju Muara Angke. Dengan rogoh kocek Rp.320.000, 00 paket 2 hari satu malam kami sangat merasa puas. Sebelum melanjutkan ke perjalanan selanjutnya kami mampir sholat dhuhur dekat pom bensin. Angkot menuju mall kami naiki, berhenti di halte bus way. Bus trans Jakarta itu mengantar kami sampai Senen dan sayonara. Selamat berjumpa lagi sobat, persahabatan kita tak mengenal kasta dan akan terus menjalin silaturrohmi. Selamat menempuh hidup baru dan akan segera mendapatkan pendamping hidup kita.



                                                                                                            Serang, Penulis Afida Amrina

No comments: