Peradaban
yang Ramah Lingkungan
Stasiun Walantaka meraup memoar
langkah awal menyempurnakan cerita
dimana aku, melebur alam, cinta dan peradaban
menempuh genap atas keganjilan
dari separo perjalanan kemarin yang tak rampung
betapa alam menyatu dalam jiwanya
menampik modernisasi globalisasi
kearifan karakter dengan pondasi kejujuran
pancang mata, bibir dan telinga
keep open mind, keep open source
Mentari belum
nampak dari balik awan, aku bergegas menggendong rangsel hitamku menuju stasiun
Walantaka. Sengaja aku tak ikut kumpul bareng teman-teman di stasiun Serang.
Karena stasiun Walantaka lebih dekat dari Perumahan Puri Citra. Stasiun yang
memperkenalkanku mencumbui ular besi dan mendekatkan jantung hatiku untuk
berlabuh. Namun sayang, sampai saat ini cinta itu masih diperjuangkan.
Menanti lebih baik dari pada
terlewatkan, kata itu menghiburku yang menanti sendiri. Aku datang lebih awal
20 menit. Tepat pukul 07.05 WIB kereta menyala-nyala datang, di sambut si keriting
Wayang menyapaku seru “Teteh Ida....” Senang rasanya bertemu mereka. Kereta melaju
mengantarkan kami hingga stasiun rangkas.
Dari stasiun
Rangkas, angkot merah mengantar kami ke terminal Aweh menuju Ciboleger. Aku
termasuk kelompok 2 yang dipimpin oleh Hilman Sutedja. Mobil elf satu-satunya
kendaraan menuju Ciboleger, yang hanya ada tiap satu jam sekali. Bunyi
mesinnya menderu-deru tiap kali tanjakan
yang bertubi-tubi, belum termasuk liuk-liuk jalan dan jalan turunan. Ya, Baduy
jadi tujuan utama kami.
Suku Baduy adalah
satu dari sekian suku yang ada di Indonesia. Suku yang tidak mau di campuri
dengan dunia luar dan modern. Masyarakat Baduy sendiri suka menyebut dirinya
Urang Kanekes. Namun para peneliti dan sebagian besar masyarakat Indonesia
menamakan suku ini Baduy karena daerahnya diapit oleh 2 gunung Baduy atau bisa
juga diadaptasi dari masyarakat Badawi yang pada zaman dahulu memiliki gaya
hidup mirip orang Kanekes.
Hujan mengguyur
Baduy Luar, terpaksa perjalanan dipending menanti reda. Sekitar pukul 10.30 WIB
perjalanan dimulai. Walaupun aku kelompok 2 tapi langkah cepat kakiku bisa menyusul kelompok pertama, sampai
di tujuan utamapun kami (Erna, Asep, Doli, Salin, Yulian, Antonio, Imang, Nurul
dan si cilik nan tanggung Daffa) orang-orang yang pertama menginjakkan kaki di
Baduy Dalam. Sedikit egois memang tidak mengutamakan kebersamaan team, yang
konon salah satu dari kami banyak sekali mengalami kendala.
Semua sistem
menggunakan kehidupan tradisional. Baduy dalam sendiri terdiri dari 3 wilayah
utama yaitu Cikeusik, Citawarna & Cibeo. Cibeo inilah tujuan kami, tepatnya
rumah Kang Juli (calon ayah yang kini
istrinya hamil tua usia 8 bulan). Mereka menggunakan dialek sunda. Salah satu
ciri khas bahasa sunda dialek kanekes adalah menggunakan kata kami untuk
menyebut saya dan kata ganti dia untuk menyebut kamu atau anda.
Desa Kanekes
dipimpin oleh seorang kepala desa yang disebut jaro. Seluruh masyarakat Baduy
dipimpin oleh seorang pemimpin adat tertinggi yang disebut Pu'un. Jabatan Pu'un
tidak dibatasi oleh waktu, sehingga jabatan ini ditempati oleh orang yang
dianggap memiliki kharisma yang tinggi sebagai pemimpin serta harus memiliki
kemampuan untuk bertahan selama mungkin dalam jabatan tsb.
Tanjakan cinta
merupakan tanjakan momok yang paling terjal dari sekian banyak tanjakan.
Dikatakan tanjakan cinta karena diharapkan ketika terengah-engah menapaki
tanjakan ada seseorang yang kuat (laki-laki) dapat menopang yang lemah
(perempuan) dengan mengulurkan tangan cintanya. Bersyukur sekali aku dapat
melampauinya dengan mudah. Tongkat kayuku cukup membantuku menopang tubuhku
yang ceking, ditambah kekuatan doa yang tak berujung.
Dari perjalanan
kami banyak menemui jembatan bambu yang membelah sungai-sungai di Baduy.
Jembatan ini bangun tanpa menggunakan paku. Memerlukan banyak bambu yang diikat
simpul dengan ijuk sambung menyambung. Dengan ketinggian dan panjang jembatan
mencapai belasan meter. Strukturnya yang melengkung dibuat demikian supaya
lentur ketika menahan beban yang lewat di atasnya. Menurut pak Samsan guide kami, untuk ukuran jembatan kecil seperti di
belakang Cibeo bisa dibangun 2 jembatan dalam sehari yang dikerjakan
dengan gotong royong.
Rasanya seperti
dalam film kolosal, biasanya kalau bertamu disajikan kue, lain untuk ini. Kami
disajikan gula aren sebagai camilan. Bumbung-bumbung sebagai gelas disajikan
bersama botol kaca coklat yang gendut berisi air minum. Kamipun menuang
sendiri. Ada juga berjejer diatas tampi dan tertata rapi yang di cangkolkan.
dirak duri-duri buatan dari bambu.
Dengan pelita berbahan bakar minyak goreng berwadah batok bersumbu tali. Tidak
terlalu terang, tetapi cahayanya lumayan menerangi dibalik rumah bilik beratap
susunan daun kelapa bertumpuk hitam
ijuk. Kami menghabiskan malam dengan makan malam, tanya jawab dan
melepas lelah. Di atas potongan-potongan bambu yang dipupuh hingga pipih dan
melebar atau yang disebut talupuh. Lucunya lagi kami ditawari air untuk wudhu
didalam bumbung tinggi berlubang 2 kanan kiri. Air dan wadahnya lebih berat
wadahnya karena tidak memakai ember lebih berat lagi kebanyakan yang membawa
dari sungai itu para ambu.
Ada satu lagi
jembatan yang sangat unik dan luar biasa yaitu jembatan akar, yang panjangnya
sekitar 25 m di atas sungai Cihujung. Jembatan ini kami temui menuju kembali ke
Ciboleger, yakni dengan memanfaatkna akar dua pohon karet yang besar dikedua
sisi sungai yang saling dililit/dipilin membentuk anyaman berbentuk jembatan,
sehingga dapat digunakan orang untuk menyeberangi sungai. Di bawah sungai itu,
kami manfaatkan untuk istirahat. Menikmati sejuk air beserta deras aliran air
diantara tebing cadas dan bebatuan raksasa. Sungguh suatu karya yang hebat yang
tidak dijumpai di kota-kota besar. Ini adalah karya di dunia nyata tidak
sekedar fiksi seperti jembatan akar yang terlihat di film Avatar.
Perjalanan yang
kami tempuh sekitar 27 km, memang rute yang berbeda. 12 km keberangkatan dan 15
km perjalanan pulang. Sepanjang perjalanan banyak dijumpai pohon bambu
di perkampungan Baduy, tidak lain hal ini berperan membantu bumi
menghadapi pemanasan global, karena penanaman bambu seluas satu juta are akan
mengurangi hingga 4.8 juta ton emisi CO2 pertahun.
Satu dari sekian
contoh Jembatan bambu pada kampung Gajeboh yaitu memanfaatkan rangkaian bambu
besar dan panjang. Merupakan karya besar yang benar-benar indah dipandang mata
dengan kontruksi yang ramah lingkungan. Begitu banyak kearifan budaya lokal
dari salah satunya kita belajar untuk menghargai lingkungan dan alam sekitar.
Minggu sore, 26 Mei
2013 ketika matahari mulai menggelincir ke barat kami pulang dengan berkendara
truk. Kami dibagi 2 truk. Kebersamaan yang tak pernah terlupakan, decak kagum
peradaban yang melebur alam. Canda tawa mengisi kotak sempit itu, aku hanya
sebagai pendengar. Liaty, Erna, Doli dan Fidya asik bersaut-sautan puisi
tentang awak Baduy. Tak kalah hebohnya Sarah dan Doli menjadi bahan candaan
atas peristiwa dramatis mereka. Minggu siang Doli bak hero menyelamatkan Sarah
yang hampir terjatuh di jurang jalan setelah jembatan akar. Namun hp Doli
juga terjatuh. Doli panik dan lebih memprioritaskan hpnya kemudian Sarah
tertolong dengan susah payah. Adzan magrib dan Isya kami melewatinya di jalan.
Matahari benar-benar lenyap dari peraduanya kini berganti kelam malam. Sambil
menunggu jalanan yang tersendat akibat perbaikan jalan, kami terlelap dikotak
itu. Hingga tiba dan sayonara di Rumah
Dunia.
No comments:
Post a Comment