Saturday 7 September 2013

Baduy Eksplorer


                                    Peradaban yang Ramah Lingkungan

Stasiun Walantaka meraup memoar
langkah awal menyempurnakan cerita
dimana aku, melebur alam, cinta dan peradaban
menempuh genap atas keganjilan
dari separo perjalanan kemarin yang tak rampung

betapa alam menyatu dalam jiwanya
menampik modernisasi globalisasi
kearifan karakter dengan pondasi kejujuran
pancang mata, bibir dan telinga
keep open mind, keep open source

           
            Mentari belum nampak dari balik awan, aku bergegas menggendong rangsel hitamku menuju stasiun Walantaka. Sengaja aku tak ikut kumpul bareng teman-teman di stasiun Serang. Karena stasiun Walantaka lebih dekat dari Perumahan Puri Citra. Stasiun yang memperkenalkanku mencumbui ular besi dan mendekatkan jantung hatiku untuk berlabuh. Namun sayang, sampai saat ini cinta itu masih diperjuangkan. Menanti  lebih baik dari pada terlewatkan, kata itu menghiburku yang menanti sendiri. Aku datang lebih awal 20 menit. Tepat pukul 07.05 WIB kereta menyala-nyala datang, di sambut si keriting Wayang menyapaku seru  “Teteh Ida....”  Senang rasanya bertemu mereka. Kereta melaju mengantarkan kami hingga stasiun rangkas.

            Dari stasiun Rangkas, angkot merah mengantar kami ke terminal Aweh menuju Ciboleger. Aku termasuk kelompok 2 yang dipimpin oleh Hilman Sutedja. Mobil elf satu-satunya kendaraan menuju Ciboleger, yang hanya ada tiap satu jam sekali. Bunyi mesinnya  menderu-deru tiap kali tanjakan yang bertubi-tubi, belum termasuk liuk-liuk jalan dan jalan turunan. Ya, Baduy jadi tujuan utama kami. 
           
            Suku Baduy adalah satu dari sekian suku yang ada di Indonesia. Suku yang tidak mau di campuri dengan dunia luar dan modern. Masyarakat Baduy sendiri suka menyebut dirinya Urang Kanekes. Namun para peneliti dan sebagian besar masyarakat Indonesia menamakan suku ini Baduy karena daerahnya diapit oleh 2 gunung Baduy atau bisa juga diadaptasi dari masyarakat Badawi yang pada zaman dahulu memiliki gaya hidup mirip orang Kanekes.




            Hujan mengguyur Baduy Luar, terpaksa perjalanan dipending menanti reda. Sekitar pukul 10.30 WIB perjalanan dimulai. Walaupun aku kelompok 2 tapi langkah cepat  kakiku bisa menyusul kelompok pertama, sampai di tujuan utamapun kami (Erna, Asep, Doli, Salin, Yulian, Antonio, Imang, Nurul dan si cilik nan tanggung Daffa) orang-orang yang pertama menginjakkan kaki di Baduy Dalam. Sedikit egois memang tidak mengutamakan kebersamaan team, yang konon salah satu dari kami banyak sekali mengalami kendala. 


            Semua sistem menggunakan kehidupan tradisional. Baduy dalam sendiri terdiri dari 3 wilayah utama yaitu Cikeusik, Citawarna & Cibeo. Cibeo inilah tujuan kami, tepatnya rumah Kang Juli  (calon ayah yang kini istrinya hamil tua usia 8 bulan). Mereka menggunakan dialek sunda. Salah satu ciri khas bahasa sunda dialek kanekes adalah menggunakan kata kami untuk menyebut saya dan kata ganti dia untuk menyebut kamu atau anda.

            Desa Kanekes dipimpin oleh seorang kepala desa yang disebut jaro. Seluruh masyarakat Baduy dipimpin oleh seorang pemimpin adat tertinggi yang disebut Pu'un. Jabatan Pu'un tidak dibatasi oleh waktu, sehingga jabatan ini ditempati oleh orang yang dianggap memiliki kharisma yang tinggi sebagai pemimpin serta harus memiliki kemampuan untuk bertahan selama mungkin dalam jabatan tsb.
           
            Tanjakan cinta merupakan tanjakan momok yang paling terjal dari sekian banyak tanjakan. Dikatakan tanjakan cinta karena diharapkan ketika terengah-engah menapaki tanjakan ada seseorang yang kuat (laki-laki) dapat menopang yang lemah (perempuan) dengan mengulurkan tangan cintanya. Bersyukur sekali aku dapat melampauinya dengan mudah. Tongkat kayuku cukup membantuku menopang tubuhku yang ceking, ditambah kekuatan doa yang tak berujung.
           
            Dari perjalanan kami banyak menemui jembatan bambu yang membelah sungai-sungai di Baduy. Jembatan ini bangun tanpa menggunakan paku. Memerlukan banyak bambu yang diikat simpul dengan ijuk sambung menyambung. Dengan ketinggian dan panjang jembatan mencapai belasan meter. Strukturnya yang melengkung dibuat demikian supaya lentur ketika menahan beban yang lewat di atasnya. Menurut pak Samsan guide  kami, untuk ukuran jembatan kecil seperti di belakang Cibeo bisa dibangun 2 jembatan dalam sehari yang dikerjakan dengan  gotong royong.

            Rasanya seperti dalam film kolosal, biasanya kalau bertamu disajikan kue, lain untuk ini. Kami disajikan gula aren sebagai camilan. Bumbung-bumbung sebagai gelas disajikan bersama botol kaca coklat yang gendut berisi air minum. Kamipun menuang sendiri. Ada juga berjejer diatas tampi dan tertata rapi yang di cangkolkan. dirak  duri-duri buatan dari bambu. Dengan pelita berbahan bakar minyak goreng berwadah batok bersumbu tali. Tidak terlalu terang, tetapi cahayanya lumayan menerangi dibalik rumah bilik beratap susunan daun kelapa bertumpuk hitam  ijuk. Kami menghabiskan malam dengan makan malam, tanya jawab dan melepas lelah. Di atas potongan-potongan bambu yang dipupuh hingga pipih dan melebar atau yang disebut talupuh. Lucunya lagi kami ditawari air untuk wudhu didalam bumbung tinggi berlubang 2 kanan kiri. Air dan wadahnya lebih berat wadahnya karena tidak memakai ember lebih berat lagi kebanyakan yang membawa dari sungai itu para ambu.

            Ada satu lagi jembatan yang sangat unik dan luar biasa yaitu jembatan akar, yang panjangnya sekitar 25 m di atas sungai Cihujung. Jembatan ini kami temui menuju kembali ke Ciboleger, yakni dengan memanfaatkna akar dua pohon karet yang besar dikedua sisi sungai yang saling dililit/dipilin membentuk anyaman berbentuk jembatan, sehingga dapat digunakan orang untuk menyeberangi sungai. Di bawah sungai itu, kami manfaatkan untuk istirahat. Menikmati sejuk air beserta deras aliran air diantara tebing cadas dan bebatuan raksasa. Sungguh suatu karya yang hebat yang tidak dijumpai di kota-kota besar. Ini adalah karya di dunia nyata tidak sekedar fiksi seperti jembatan akar yang terlihat di film Avatar.



            Perjalanan yang kami tempuh sekitar 27 km, memang rute yang berbeda. 12 km keberangkatan dan 15 km perjalanan pulang. Sepanjang perjalanan banyak dijumpai  pohon bambu  di perkampungan Baduy, tidak lain hal ini berperan membantu bumi menghadapi pemanasan global, karena penanaman bambu seluas satu juta are akan mengurangi hingga 4.8 juta ton emisi CO2 pertahun.

            Satu dari sekian contoh Jembatan bambu pada kampung Gajeboh yaitu memanfaatkan rangkaian bambu besar dan panjang. Merupakan karya besar yang benar-benar indah dipandang mata dengan kontruksi yang ramah lingkungan. Begitu banyak kearifan budaya lokal dari salah satunya kita belajar untuk menghargai lingkungan dan alam sekitar.
           
            Minggu sore, 26 Mei 2013 ketika matahari mulai menggelincir ke barat kami pulang dengan berkendara truk. Kami dibagi 2 truk. Kebersamaan yang tak pernah terlupakan, decak kagum peradaban yang melebur alam. Canda tawa mengisi kotak sempit itu, aku hanya sebagai pendengar. Liaty, Erna, Doli dan Fidya asik bersaut-sautan puisi tentang awak Baduy. Tak kalah hebohnya Sarah dan Doli menjadi bahan candaan atas peristiwa dramatis mereka. Minggu siang Doli bak hero menyelamatkan Sarah yang hampir terjatuh di jurang jalan setelah jembatan akar. Namun hp Doli juga terjatuh. Doli panik dan lebih memprioritaskan hpnya kemudian Sarah tertolong dengan susah payah. Adzan magrib dan Isya kami melewatinya di jalan. Matahari benar-benar lenyap dari peraduanya kini berganti kelam malam. Sambil menunggu jalanan yang tersendat akibat perbaikan jalan, kami terlelap dikotak itu. Hingga  tiba dan sayonara di Rumah Dunia.

No comments: