Wednesday 7 October 2015

cerpen (Pergulatan Terakhir)


Pergulatan Terakhir

Sudah puluhan purnama kulalui. Berteman air candu penawar sepi pencipta tawa di alam bawah sadar. Saat itu berprinsip Pantang pulang sebelum tumbang. Bukan sloki mungil yang disuguhkan, ah itu terlalu c a ntik. Bukan pula secawan gelas berkaki jenjang. Menghabiskan waktu bersama terbit rembulan hingga ia tenggelam dijemput pagi. Seteguk demi seteguk dari bibir botol beralkohol. Malam dunia berpesta, ditemani mata yang kuyu dan tubuh yang kian gontai. Geliang geliut tubuhku melayang diantara kebahagiaan y a ng semu.

Alunan musik cadas memanjakan telingaku. Suara gitar tebalnya melengking-lengking beradu cepat dengan lagu. Suara kebebasan yang di teriak kan dengan paduan lirik kritis dan musik garang. Kepala ini mengangguk angguk seiring hentakan drum yang dipukul. Kami melawan ketidak adilan atas luapan korban penindasan. Enyah semua tudingan miring, biar mereka memandang sebelah mata.

Pikiranku tak terjangkau bagi mereka yang berpikir hanya sebatas sampul. Bukan menggali dan menjabarkan dengan baik. Pikiran yang tak tersentuh buat mereka yang melihat dari sisi yang umum. Pikiran yang tidak gampang menerima jawaban yang tak sekedar "ora ilok, pamali" atau menyentak dengan memicingkan mata lalu melontarkan kata "huss, saru, dusun" . Aku tak butuh jawaban kuno yang berdasar ekor dari nenek moyang. Toh ini bukan zaman bermain engklek di halaman rumah. Tapi zaman yang tembus pandang dari layar datar dengan sentuhan klik jari. Itu yang sekarang, bahkan sejak dulu pun aku bisa meraih info dan mumpuni untuk berpikir logis

****
"It's not the way you die, but how the way you live" ujar temanku sesaat sebelum nafasnya diujung tenggorokan akan berakhir. Tangan dinginnya melepas perlahan dari genggamanku. Telinganya tersumpal head set memutar murottal. Sahabat yang selalu intim sejak meretas dan merengguk didunia yang sama. Seperti menghitung waktu detik bom meledak. Titik poin terendah keterpurukan dalam sejarah. Tato tubuhnya masih melekat diatas kulit ari. Kekar tubuhnya melayu selama ia terbaring dalam kesakitan. Beruntung keyakinan akan Tuhan telah melekat kembali sebelum kerongkongan itu tiada nafas lagi.

Bersamaan itu pula, aku terdampar di lautan patah hati. Wanitaku bukan sosok yang direstui orang yang melahirkan ku ke dunia. Wacana indah yang pernah tergelar hancur dalam waktu singkat. Dunia aku nyatakan tak berpihak. Seisi kepala ini memberat, badan ini terbakar dan darah ini mendidih.

Menyalin semua peristiwa membuat ku tersadar. Otak belum seimbang menerima kekalahan yang bernama kenyataan. Aku telah memperkosa Tuhan. Mengelingkuhinya berulang. Mendekati pastur membuka injil, mendekati Bunda Maria dan Salib yang tertempel diatas dinding, kemudian bersemedi bersama pendeta agar tenang lalu aku tak puas. Mengkultuskan diri untuk atheis.

Aaaaaak diri ini penat. Entah apa yang menggerakkan raga ini hingga terbasuh air wudhu. Lembar Al Quran dihalaman menjelang akhir aku buka. Tepat  Qs. Al Ikhlas kubaca perlahan berikut terjemah
"Qul huwallihu ahad, Katakanlah, "Dialah Allah yang maha Esa"
Allah adalah Tuhan tempat bergantung
Dan tidak beranak dan tidak pula diperanakan
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia"

Sesederhana itu aku kembali kepada pangkuan Allah. Membawa rindu yang utuh usai pergulatan panjang. Agama yang aku anggap sebagai agama turunan. Agama yang sesuai dengan ajaran orangtua dibawa sejak lahir. Sejauh itu aku berlarian mencari kebenaran. Sejauh itu aku memberontak dari keterpaksaan. Sejauh itu aku menggali informasi yang selama ini tanpa deskripsi, sejauh itu aku melangkah tanpa dibekali informasi logis. Dan hidayah itu kini berlarian mendekatiku. Memukuli deretan cerita kelam yang terlampaui.Menyatakan diri ampun dan upaya sekeras-kerasnya mensucikan diri.Menyapu halaman hati dengan diiringi menunaikan kewajibannya. Kemudian menanam rasa cinta dan memupuknya kepada Sang Pemberi Hidayah.
****


        Secangkir kopi pahit tersanding diatas meja kotak. Kursi rotannya aku duduki sambil meniupkan asap rokok. Sambil sesekali menyeruputi kopi panas dari bibir cangkir. Sesiang ini kami benar-benar berjudul kopi darat. Setelah lama bercakap dengan rangakaian alfabet didunia maya. Dan sekarang aku sungguh akan tahu setiap lafadz yang ia ucapkan dari bibinya yang tipisnya.

Begitulah aku dengan sekelumit pembekalan untuk masa depan.
"Jadi kau bagaimana? Akan kah menerus dengan Taaruf ini. Cerita kelamku sudah banyak membuat perempuan tunggang langgang menarik diri"
"Seorang Umar bin Khotob yang di cintai Rasulullah pun pernah menjadi orang yang membenci Islam, seperti itu pula Hamzah sahabat nabi" ujar perempuan berkerudung lebar.
"Aku bukan sahabat nabi, aku manusia kekinian di zaman sekarang "
"Lantas,  kamu menginginkan perempuan seperti apa?"
"Secantik Aisyah, sepintar Khadijah dan sesabar Asiya?"
"Begitu pula aku, menginginkan yang setampan Yusuf, sekaya Sulaiman dan sesabar Ayub"
"Semua boleh "ingin"
"Menurut banyak petuah ada 3 B soal mendapatkan pendamping hidup Berdoa,Berusaha dan Becermin"
Kami mengurai senyum. Selintas aku curi senyuman manis yang berhias lesung pipi.
“Lantas apa yang membuatmu bertahan hingga saat ini?” Gadis manis itu memulai percakapan, kepalanya mengangkat usai ia tertunduk
“Jannah”
“Are you sure?”
“Yeah, And now  just sit back relax and enjoy the show”
****
Kami saling diam dan dalam diam kami saling mendoakan. Menyadari ketidak sempurnaan dalam hubungan hal yang lumrah. Tetapi belajar mencintai yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna. Bertemu dalam suatu peristiwa bukanlah pilihan, itupun adalah kesempatan. Seperti kesempatan keduaku kembali hidup atas ruh kebenaran yang telah kutemukan.
Biar waktu yang menjaga dalam bait-bait doa menghadap kiblat yang sama. Tenggelam dalam kesibukan memperbaiki diri. Sebab sesuatu yang tidak kita dapatkan adalah proteksi Allah untuk sesuatu yang tidak baik buat kita.


No comments: