Yuuhuuu kali ini aku benar menceritakan tentang prosesi mantenan ala desa Dukuh Kweni Kelurahan Adisana Kecamatan Bumiayu. Bukan pernikahan ala kerajaan atau royal wedding kayak di Backinghum Inggris. Pernikahan yang sangat sederhana tanpa menyebar undangan atau ulem-ulem dalam istilah jawa. Yang membuat spesial kali ini adalah pernikahan orang sekampung.
Sedikit tidak menyangka kalau jodohku berada di pantat rumah. Selisih se RT, aku di RT 6 dan lelakiku di RT 07, mungkin jika dataran rata jaraknya tidak lebih dari sepuluh meter saja. Mmmh bisa dikatakan tetanggaku idolaku atau suami lima langkah hehe gak papalah. Banyak yang berspeklulasi kami berdua saling menanti. Mhhh sama-sama memendam dan menahan cinta, lalu keduanya tersangkut ke orang lain. Yang benar, kami diperjalankan Allah di saat yang tepat.Tepat 25 April 2016, usai 26 Maret lalu dipinang. Sehingga aku memutuskan mahar yang sama dengan hari perjanjian suci sehidup semati, Rp 250.416 dibayar tunai. Syah! Halal :)
Proses yang begitu cepat menjadi bagian kejutan dalam sejarah hidupku. Awal konsep nikah sangat sederhana, tanpa perayaan besar dan bawaan yang seadanya, begitu pula dengan nominal mahar. Terlahir dari keluarga biasa menginginkan pernikahan yang benar-benar mengikuti sunnah Rasul. Berupaya keras menyampingkan adat dan hura-hura berharap berkah dan sedikit mengurangi kendala. Kembali, kami harus tunduk dan patuh dengan anjuran orang tua. Kami sadar dengan kepatuhan itu sama dengan menjaga perasaan beliau. Menjadi omongan orang kampung masih menjadi alasan momok jika tidak menuruti adat. Bisa dilihat dari bawaan, prosesi dan apa saja yang bisa diungkit menjadi sebuah keburukan, yang sudah dibumbui suudzan (:naudzubillah mindzalik).
Terlahir dari dua keluarga besar, sekarang rumah tangga kami seperti keluarga raksasa. Aku terlahir dari 9 saudara, terdiri dari 1 laki-laki dan 8 perempuan. Sedangkan suamiku terlahir dari 8 bersauda terdiri dari 7 laki-laki dan 1 perempuan. Emak sendiri terlahir dari 10 bersaudara, mamah mertua jugak terlahir dari rahim ibu beranak banyak, tepatnya ber-8 saudara dan mamah sebagai anak tertua. Bisa dibayangkan, tanpa mengundang banyak orang saja, isi rumah sudah dipenuhi banyak orang.
Judulnya mengikuti adat kampung desa Dukuh Kweni, kelurahan Adisana kecamatan Bumiayu, dari persiapan untuk seserahan hingga usai ijab ditunaikan. Mau tidak mau harus mengikuti tutur pitutur petuah orang tua. Dari pihak mempelai wanita diminta untuk mempersiapkan kemeja putih, celana hitam, songkok, sarung, benting (bengkung = kain panjang untuk mengencangkan perut usai melahirkan) yang diganti korset ☺, baju untuk mertua. Sedang untuk acara kirab (kunjungan mempelai wanita ke rumah mempelai pria dalam kondisi masih riasan pengantin) mempelai wanita membawa kasur, rantang yang berisi nasi dan lauk pauk lengkap. Sementara dari pihak lelaki mempersiapkan seserahan, pemberian untuk mempelai wanita. Pada umumnya semampunya, tetapi yang berwujud perlengkapan semua busana termasuk dalaman, mukena, perhiasan, kue-kue, beras, sepasang ayam. Semua itu dibawa rombongan keluarga yang dikemas rapi dan cantik. Mengingat kami memutuskan untuk hidup di Jakarta seserahan yang berupa gerabahan ditiadakan, termasuk kambing. Nantinya, usai hajatan usai kambing itu dipotong dan dikirim penganten ke saudara-saudara dari kedua pihak. Kosmetik pula ditiadakan, meskipun sudah ditawari aku menolak. Toh aku tak menyukai berdandan, harga sepaket make up saja sudah mahal. Honestly, takut memberatkan ☺ Semua bisa berubah berdasar kesepakatan kedua belah mempelai.
Memutuskan menikah di KUA menjadi alternatif yang menyenangkan. Selain tanpa dipungut imbalan, berbondong-bondong diiring warga tentu sesuatu hal yang menggembirakan. Tak perlu waktu lama menanti, tak sampai 30 menit prosesi ijab qobul berjalan tanpa halangan yang berarti . Kebetulan, ketua KUA sudah berteman dekat dengan adik ipar. Keluarga besar dan rombonhan tetangga ikut menyaksikan ikut heboh.
Kami digiring ke Kawedanan, sebuah gedung terbuka yang tak jauh dari KUA. Gedung terbuka yang biasa digunakan untuk kepentingan pemerintah kecamatan Bumiayu. Dengan banyaknya saudara yang ada, kami diminta berpose sesuai keinginan mereka. Berlatar belakang ukiran jepara berhasil mengumpulkan memuat keluarga besar dalam satu bingkai, dengan berbagai gaya dan tak terhitung berapa kali jepretan mata kamera.
Acara kirab sendiri diawali dengan tamu dari keluarga mempelai pria yang menjemput pengantin untuk ke rumah pengantin lelaki. Seperti acara sebelum seserahan, keluarga lelaki yang menjemput. Kami diiring dengan keluargaku sambil sepayung berdua dengan lelaki meski tak hujan dan tak begitu menyengat. Awalnya tanpa payung, berhubung omongan ibu-ibu yang bertubi-tubi tak terelakan lagi. Sepupuku mengambil payung cantik dari rumahnya yang tak jauh dari rumahku.
Proses seserahan dalam perjalanan dari calon mempelai pria ke wanita |
Sesampainya dimulut rumah mertua, kami tak langsung memasukinya. Keluarga di dalam sedang mempersiapkan saweran (uang receh yang dicampur beras kuning dan permen kemudian disebar di halaman rumah dan jadi rebutan pengiring pengantin dan tamu kondangan). Ini yang disebut kirab atau ngirab. Tak lama ngobrol dan berfoto ria, aku dibawa ke kamar oleh mertuaku. Sedikit dandanan hijab ala rias pengantin dibongkar agar terlihat rambut. Perias mengambil bagian atas telinga, biasanya bagian pelipis, berhubung detail hijab bagian tsb sedikit rumit. Sisir dan minyak sayur dipiring kecil mertua bawa ke dalam kamar. Dengan membaca basmalah, sedikit rambut yang terlihat diberi minyak kemudian disisir manja. Ada ciuman gemas dan pelukan hangat berulang dari mamah mertua, sambil memberi amplop putih, "buat beli kosmetik" kata mamah.
Proses saweran sebelum memasuki rumah mertua |
Aku bersama adik, kakak dan keponakan |
Halal |
Sampai sekarang, 3 purnama aku menjalankan rumah tangga tak satu pun jawaban yang jelas tentang makna dari kirab. Kata bu Lik Soliha (adik emak) "Ini simbol pertanda mamah mertua sudah tua, harus lebih dewasa lagi", berbeda dengan Lik Hikmah (adik mamah) " Biar malas hilang" sambil senyum sumringah. Sementara emak dan bapa sama-sama menjawab "itu mah adat wong kuno" sambil tertawa lebar. Emak menambahi, jika zaman dulu lebih lengkap. Ada tradisi sebelum malam pertama mertua membalikkan kasur pengantin dan mempelai wanita menadahi kotoran yang ada dengan bajunya. 😀
Lumayan seru mengikuti ritual menjadi pengantin adat sekampung. Tak ada pecah telur, tarik-tarikan ayam atau lempar-lemparan daun sirih. Tak ada aturan yang membelenggu semua berjalan mengalir tanpa halangan yang berarti. Ohya, ada satu yang ingin aku ceritakan tentang sarung BHS. Sebenarnya sarung katun tenun, karena harganya bisa dapat 5 biji dari sarung biasa jadi cara merawatnya berbeda. Dari Bu Lik, Mbah, Emak komplain saat sarung itu dicuci dan dijemur seperti sarung biasa. Harusnya sarung tsb cukup dikucek tanpa sabun dan dijemur membentang bagian bawah diberi pemberat. Wajar, dengan harga yang cukup menguras buat orang kampung wajar dengan perawatan yang sangat diperhatikan. Sarung ini dibuat dengan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) dari benang sutera yang ditenun bisa sampai sepekan baru jadi.
Bersama keluarga besar dari suami |
No comments:
Post a Comment