Jendela Lantai Tiga
Sore yang muram membawaku larut dengan perasaan sendiri. Entah ini pengaruh raga ini yang lelah baru tiba dari kampung halaman atau suasana yang mengajakku bergabung. Tangis itu sudah pecah saat menginjak lantai tiga kontrakan yang sangat minimalis. Ada fasilitas kipas angin hitam telanjang yang sangar tanpa pengatur. Sekotak kamar berlangit-langit asbes ukuran 2,5 x 2 meter dengan kamar mandi di luar. Baru setengah purnama aku menapaki dunia yang disebut rumah tangga. Memutuskan menjadi makmum dari imam yang memutuskan tuk hidup seatap 24 jam 7 hari, ini adalah keputusan hebat yang aku pilih menurutku. Ruang kerjaku sangat nyaman dengan gaji yang cukup dan kini aku tanggalkan, termasuk sahabat-sahabatku yang sering bersenang-senang bareng. Sekarang benar-benar yang orang bilang menempuh hidup baru. Seperti dinegeri antah berantah saat berada lingkungan baru.
Semburat senja memancar cerah dari balik rumah-rumah dan gedung tinggi. Tak ada halaman untuk berlarian para bocah, yang ada pemandangan dinding-dinding triplek, atap asbes dan gang-gang sempit yang dipenuhi rumah warga beserta kendaraan roda dua. Rasanya harus belajar lebih banyak bersyukur. Tak elok memandang terus ke bawah sementara tak mungkin dikatakan meninggi jika bukan tidak ada pembanding bawah. Tak berarti melemah, memandang ke bawah sering membawa hati yang tenang. Becermin dari yang bawah diri ini lebih baik dari segi sudut mata. Tembokku keras dari semen, bukan dari papan atau seng berkarat. Ada dua jendela pelenyap pengap, ada banyak sirkulasi udara meski ibu kota panas. Kami mengontrak perbulan dengan harga setengah juta, ini tak apa juga dari pada menyicil dengan cara riba.
Dua malam ini menghabiskan satu dua jam di pasar. Malam pertama dikosan tanpa sehelai barang bawaan pun, kecuali tas travel dan rangsel dari kampung halaman. Pasar Jihong, untuk pertama kalinya aku kesana. Pertama yang dituju adalah kasur dan almari. Sepanjang jalan di Pasar Jihong lebih banyak yang jualan baju-baju yang kekinian, baik yang didalam toko atau di emperan, ada barang elektronik disana. Tapi kami belum butuh 😊 Tangan kami tak lepas bergandengan tangan, kami melepas jemari saat di depan eceran kelontong gerabah yang digelar di atas tikar. Ember, gantungan, gelas, sendok, garpu masing-masing 2 biji dan barang kebutuhan yang lain. Sengaja tak membeli mangkuk dan piring, lebih sering makan dibungkus kertas minyak dan dimakan berdua. Itu juga tidak mengurangi kenikmatan makanan yang kami lahap. Suamiku lebih pandai menawar harga, aku lebih memilih diam dan menyodorkan uang jika harga sudah disepakati.
Kasur dan lemari tak kami jumpai di Pasar Jihong Kemayoran. Aku melihatnya seperti pasar Tambak yang ada di Serang. Ketika malam justru pembeli berhamburan memenuhi jalan. Sampai menuju pulang, kami berhenti di tepat toko kasur yang hampir tutup. Meski kekurangan uang dalam dompet, encik penjual itu mau menerima kekurangannya usai menggesek ATM terlebih dahulu. Sambil dibawakan barang hingga sampai dalam kontrakan. Malam pertama tanpa guling, biar kami saling memeluk.
Pasar Johar Baru, menjadi malam kedua yang kami datangi berburu rak, cermin, jam dll. Perdebatan dimulai usai melihat guling antara perlu dan tidak perlu. Kami saling memandang, malu untuk berkata iya.
"Satu atau dua My?"
"Satu boleh gak By?, nanti gantian yah" aku mengurai senyum
***
"Semua kemeja tak ada yang rapi bagian kerah" nada pelan itu seperti sambar petir. Aku menggosok dari kardus yang baru dibongkar lima hari lalu. Dari kontrakan yang lama saat ia masih membujang. Puluhan kemeja itu dianggap tak ada yang rapi.
"Yaudah gosok aja sendiri"
"My, kalau dibilangin ngelawan"
"Tapi tidak begitu pemilihan katanya, yang minoritas jadi mayoritas, jadi kesannya semua salah"
"Tapi memang begitu keadaannya koq"
"Apa sudah dicek satu persatu, bisa jadi ada yang rapi kemeja yang lain"
"Emang gitu koq, dulu hubby bisa menghabiskan waktu setengah jam hanya untuk menyetrika sebuah kemeja. Terutama bagian kerah, lengan dan jahitan kanan kiri. Bagian yang pertama dilihat itu wajah. Dan bagian kerah paling dekat, jika kusut, ya sudahlah semua terlihat tidak rapi"
Bulir mata ini menderas tanpa terbendung lagi. Rasanya ingin membela diri lagi. Berada lingkungan keluarga besar perempuan dan merantau dilingkungan perempuan sangat jarang menyetrika baju lelaki. Baju berkerahku sangat sedikit, lagi pula detail bagian leher hingga dada tertutup uluran hijab. Sehari bersamanya membisu. Kami seperti patung dengan seribu bahasa. Tapi tanggannya masih menggenggam erat sat kami menyebrang jalan raya. Di meja kerja kami asik mencolek layar sentuh, ditemani kepulan asap rokok yang tiada putus. Aku tahu dia marah, aku juga kesal.
Kutarik tumpukan kemeja yang sudah tersusun menggunung itu. Satu demi satu kusertika kembali tanpa bicara. Kali ini aku absen tanpa ikut suami ke toko. Waktu yang tak sebentar menyelesaikan kemeja yang hampir semua kotak-kotak warna gelap itu.
"Hubby berangkat" ku ulurkan tangan dan mencium punggung tangannya
"Maafin Amy, By" kami berpelukan, dikecupnya ubun-ubun kepalaku
Kupandangi kepergiannya dari balik pintu hingga punggungnya sampai menghilang dari edaran pandang. Berlari menuju jendela, hal serupa yang kulakukan. Ku pandangi dari belakang lelakiku berjalan santai sambil membakar putung rokok tanpa sepengetahuannya.
Menjadi istri yang bertitel sholihah sesuai syar'i, bagiku tidak semudah teori yang sudah kubaca. Diperintah tanpa ah, melayani tanpa keluh kesah. Entah itu berangkat dari rasa cinta atau tidak. Merangkak mengarungi bahtera perlahan menyesuaikan, tak selamany indah terjalin. Justru pertengkaran kecil itu yang membuat rindu, mengikat kuat rasa memiliki. Sedari Taman Kanak-kanak aku mengenalnya. Mengenal seutuhnya setelah mengikrarkan janji suci, tanpa pacaran. Ya, dia terkadang seperti bukan yang aku kenal sebelumnya. Sempat tak direstui sebab masalalunya yang terekam hitam dimata orangtuaku. Dia yang memintaku meninggalkan celana berganti rok atau gamis dan membuang kerudung mungil dan bersalin khimar yang menjulur lebih lebar, kalau bisa menutup pantat 💗
*****
"Tumben hari ini sepi, tidak ada gerobag dangdut keliling bertubi-tubi" obrolanku mulai
"Emang biasanya?" Suamiku santai membalas
"Saat kita rebahan usai magrib saja biasanya susah tiga sampai empat potongan lagu dangdut berlalu"
"Mungkin mereka kapok, jarang ada yang mengulurkan tangan, kita aja gak pernah kan?"
"Tapi kita berada dilantai paling atas, apa sopan jika melempar receh dari balik jendela?"
"Maulah, mereka butuh duit buat makan"
"Gak setega itu juga cara memberinya, mereka mendapatkan rizki menginginkan dengan cara terhormat"
Musik berseliweran kencang telah menjadi pemandangan yang lumrah. Semacam hiburan gratis yang silih berganti. Entah berapa kilo meter mereka tempuh untuk menjajakan musik dan suara pas-pasanya. Bunyi gendang yang bertalut-talut dikemas dalam gerobag yang berisi salon, mesin disel dan keyboard elektrik. Ada yang mengedarkan ember bekas cat dari pintu ke pintu sambil membunyikan kecrekan. Mereka terbiasa dengan angkat rangan sebagai pertanda penolakan. Semangat mereka tercermin dari ketidakmenyerahan berjuang untuk menghidupi hidup. Untuk makan, biaya sekolah anak, bayar kontrakan dan membeli bedak lagi gincu 👄
Kampung Galur, kelurahan Johar Baru yang padat penduduk. Bertetangga dengan Kampung Rawa, kampung terpadat di Asia. Tak jauh dari tetangga, ukuran rumah ideal tak menjadi patokan hidup bahagia. Kamar 3x3 saja ditumpangi satu keluarga lengkap, ayah, ibu, kakak, adik, bahkan ada mertua atau sanak famili yang lain. Sudah tak terhitung semenjak bermukim disana, lelagi ada pengumuman dari towa masjid tentang berita duka. Sudah tak terhitung lelagi ambulan bersirine kencang wara-wiri tepat didepan kontrakanku. Kepadatan penduduk yang tak sangat mengakibatkan tingkat kematian yang cepat dan begitu pun kelahiran lebih cepat lagi.
Takut? Tidak. Lebih baik sendiri tanpa siapapun dari pada ada orang namun meresahkan. Dari balik jendela tanpa rasa takut kami melihat tawuran antar kelompok dini hari. Pernah juga kejar-kejaran polisi dengan bandar narkoba ditengah pekat malam. Melihat para warga yang tenang dan tidak panik membawaku ikut tenang juga. Pemandangan itu kerap ada dikawasan kampung itu, gang -gang bisu menjadi saksi darah muda itu menumpahkan emosinya kasar. Sampai beritanya masuk koran berulang, beberapa bulan lalu ada korban tawuran. Tawuran yang selanjutnya biasanya juga gegera balas dendam, nyawa dibalas nyawa. Bapak-bapak paruh baya hanya menonton dari kejauhan. Begitu pun suamiku, kegaduhan yang mengganggu tidurnya hanya ditengok sebentar kemudian terlelap lagi. Usai mendengar sirine polisi itu menguing, mereka kocar-kacir terpencar. Sambil menerobos kerumunan pemuda yang terlibat tawuran mengumpat kekesalan. Ihwal ini, aku mencocokkan polisi sebagai inspektur vijay dalam film India, yang datang usai pertempuran terjadi 😀
***
Baiklah, mengalah untuk menang. Tidak ingin kebencian ini timbul sementara kita tak pernah saling mengenal. Sejak kembali usai lebaran, statusmu berganti menjadi tetangga terdekat. Aku tidak bermaksud untuk sombong, namun suara gaduh dan tangis tengah malam hingga pagi berhasil membunuh ingin tidurku, jiwaku terbalut kalut. Tak cukup jendela itu ditutup rapat-rapat. Kalau pagi saja, biar musik cadas memutar kencang, biar kalah saing suara kalian yang saling membantah.
"Beberapa hari ini kita terdzalimi tetangga yah Bi" ujarku membuka percakapan pagi,
"Hehe, yang ada mereka yang merasa saling mendzalimi, suami mendzalimi istri dan begitu pun sebaliknya"
"Ada hak anak yang wajib dijaga di sana"
"Terkadang dalam kondisi emosi, mereka mengusung tinggi ego masing-masing dan melupakan kehadiran buah hati" suamiku membalas
"Sebagai tetangga juga kita harusnya dijaga, didalam hadits disebutkan (Tidak akan masuk surga tetangga yang tidak membuat tetangganya nyaman) "
"Sudahlah, bagaimana mau menghormati tetangga kalau orang terdekat saja diperlakukan demikian, (Sebaik-baik suami adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya (Alhadits).
"Berarti kita berbuat tergolong selemah-lemahnya iman dong Bi, ketika melihat kemungkaran hanya bisa mendoakan dan mendiamkan" cetusku
"My, mereka warga sini asli, sudah tahu bukan kebiasaan orang sini? Hubby khawatir jika ikut campur muka kita sudah dicatat dikepala mereka. Kita cari aman saja, kita numpang di ranah ibu kota"
"Baiklah Bi, toh tinggal menghitung hari kita bermukim dikotak lantai tiga ini" 😀
Barangkali benar, dimana pun tanah seringnya jika bumi sudah dipijak memilih diam menjadi jalan paling aman. Menuruti imam lebih baik, orang terdekat mana lagi akan melindungi diri kita jika hidup hanya berdua, aku dan suami. Memilih untuk pindah jadi pilihan yang tepat. Bukan perkara tetangga yang beradu emosi saja, tetapi tetangga yang lain ada yang membawa wanita ditengah malam kedalam kamar. Lalu, pagi hari jejak wanita itu lenyap. Mulanya alasan pindah tak kunjung dijumpai. Tespek minggu shubuh menunjukan garis merah dua. Segala puji bagi Allah, tiga purnama usia pernikahan rahim ini sudah dihuni makhluk yang manis itu. Dan menjaga janin untuk tidak capek naik turun tangga ini menjadi alasan.
No comments:
Post a Comment