Yuuhuuu, welcom blogger amatir.
Ini sudah lebih dari 12 bulan gak ngutak-ngatik blog. Sebenarnya banyak yang ingin dituangkan. Berhubung kesibukan menjadi ibu rumah tangga yang baru melahirkan 7 bulan yang lalu. Jakarta, kini aku kembali. Mungkin ini tidak lama. Awalnya memang keegoisanku untuk ikut satu atap dengan suami. Sudah berulang, emak, mama juga suami berkata, "Jakarta panas" tapi tidak menyurutkan niatku untuk hidup bersama. Ini pelajaran berharga bagi pemula yang mengarungi bahtera rumah tangga. Hmm, cintav ini bagian dari perjalanan kita. Suatu saat nanti kita pulang, pulang ke kampung dan membangun rumah sederhana penuh berkah. Dan, tentu kita hidup dalam satu atap, aku, suamiku, Qismika dan adik-adiknya kelak.
Sampai mendekati sebulan, tak seperti sembilan bulan yang lalu. Kutinggalkan Jakarta saat hamil besar dan pasca persalinan. Ada yang berbeda dari sebelumnya. Dangdut gerobak dorong yang biasanya wara-wiri dengan gonta-ganti personil. Tiga empat gerobak bisa melintasi jalan kampung Rawa Sawah juga jalan Paris-Baladewa, kini sepi. Jika malam Minggu tiba, dangdut dorong bisa sampai larut malam.
Menyoal suhu panas di Jakarta, sangat aku rasakan sekarang. Bisa saja google mengukur suhu hari ini 30 derajat, tapi rasanya bisa 34 derajat. Suer terkewer-kewer, dulu waktu perubahan hormonal sebab aku hamil, mudah sekali berkeringat rasa gerah cepat sekali hinggap. Tetapi, sekarang bahkan kondisi tidak hamil pun panasnya melibihi waktu hamil. Istilah jawa menyebutkan, sumuk, ngelekeb. Seperti akan hujan tapi tak hujan 😬 Dan hampir-hampir anak yang baru merasakan panasnya Jakarta terkena biang keringat. Adanya ruam memerah di kepala, leher, dada, punggung, seperti yang dialami bayiku (jalan 7bulan), Tetangga kontrakan anak 3 tahun dll.
Mungkin panas yang menyengat itu yang membuat dangdut dorong enggan menarik umpan tutun ke jalan. Ini hanya perkiraanku saja. Dengan mendorong gerobag berisi salon besar dan organ tentu memerlukan energi yang banyak. Jarak tempuh yang berkilo dengan terik matahari yang menyengat disertai kabut polusi, rasanya menambah berat melangkah.
Entah itu kabar baik atau tidak sebenarnya. Semoga para seniman dangdut itu kini sudah mempunyai pekerjaan yang lebih baik. Kabar baiknya, iringan ondel-ondel beserta musik khas betawi masih eksis menyusuri jalan setiap hari. Ini pengenalan budaya sekaligus hiburan murah untuk warga. Pagi dan sore ada saja yang melintas. Dengan ember bekas wadah cat, salah seorang dari grup ondel-ondel menyusuri warga yang menonton, berharap ada uang receh yang dibagi.
Kemudian, kaget menghampiriku saat melihat tembok tebal penghalang di jembatan. Ini memang tidak mirip tembok Berlin atau tembok yang ada di Korsel. Tembok ini ada 2, saling menutup jalan untuk kedua kampung. Keduanya tepat berdiri kokoh diujung kanan kiri jembatan. Menurut penuturan seorang warga, untuk menghadang sekaligus mencegah terjadinya tawuran antar pemuda. Dan benar saja, sejak kembali ke ibu kota biasanya seminggu bisa 2 kali tawuran warga, kini sudah menjauh. Dimulai dengan mercon yang ditembak ke langit, kedua kubu saling lempar. Nah, disitulah emosi darah muda tertumpahkan. Mhhh.kalau pun ada cekcok perorangan atau sekedar ocehan ibu-ibu yang menanggapi orang gila 😜
Panas ya panas, cukup panas secara fisik saja yang hinggap. Tak sampai lah untuk menyelami. Cukup tahu saja mereka menggunakan bahasa betawi yang nyablak dan sering menggunakan istilah kotor. Cukup diam saja jika melihat ketidak warasan yang ada disekitar. Toh, masih ada adzan berkumandang di tiap masjid 5 waktu, ada pengajian rutin yang diselenggarakan, ada santunan anak yatim. Sebuah simbol dan tanda masih tetap adem meski kegaduhan didepan mata. Yakin, bahwa sebenarnya sepanas-panasnya keadaan akan adem tatkala hati selalu berdekatan terus dengan pencipta hati.
Jembatan terhalang tembok dari arah Paris |
Jembatan terhalang tembok dari arah Kampung Rawa |
Suasana Jakarta saat terik dari lantai 3 kontrakan sepetak |
No comments:
Post a Comment