Wednesday 9 December 2020

Pandemi Dan Bapa

 



Jalannya perlahan, punggungnya sedikit bungkuk. Tongkat bambu menjadi kaki ketiganya saat bepergian jauh. Jarak tempuh tersering selain sekitar rumah adalah bolak-balik ke mushola. Sebelum waktu sholat tiba, suaranya yang biasa sering mengumandangkan seruan adzan.


Tangan dinginnya pandai menanam. Profesi tani beliau geluti sejak muda. Bapa yatim piatu sejak kecil dan diwarisi beberapa lahan kebun. Salah satu keahliannya adalah membuat doran (kayu pegangan untuk cangkul) dan garan (kayu pegangan untuk pisau, arit). Pemilihan kayu yang pilihan dan sentuhan lekukan yang nyaman untuk dipakai lagi awet. Hari gini, jarang dijumpai anak muda yang memiliki keahlian itu.


Pasang surut menjadi petani, dialaminya tak mengenal lelah. Padi yang kadang panen berisi (mentes), gabuk ataupun harus berbagi dengan hama tikus itu cukup disyukuri. Kadang kelapa, melinjo, cengkeh, kapolaga harga tinggi namun panen sedikit. Sedang jika panen melimpah harga merosot. Itu pula tetap disyukuri dan mampu mencukupi keluarganya. 


Pandemi ini memaksaku hidup berpisah sementara dari suami. Merelakan mengais rezeki sendiri di Ibu kota.  Sementara kami menetap hidup di kampung. Berdekatan dengan pekarangan membuat nyali bertaniku tumbuh. Seiring trend menanam sedang hits. Akuterbiasa mengobrol diatas rusbang kayu jati. Kursi model lawas yang tak lekang waktu, ya sejak aku masih kecil. Di kursi itu pula bapa menghabiskan waktu duduk santai, menyapa orang lewat sambil menunggu warung. Warung milik emak yang membantu kelancaran perekonomian keluarga.


Di atas kursi pula kami bercerita tentang pengalamanku belajar bercocok tanam. Menanam dan merawat singkong, cabai, terong dsb. Bapa sering mengeluh pupuk yang mahal dan langka dipasaran. Syarat kartu tani harus dimiliki terkendala birokrasi. Janji tinggal janji, persyaratan sudah dipenuhi. Sayang, prosesnya melambat dan bertahun belum terwujud. Kami berbicara gulma, rumput liar,  macam-macam tumbuhan dan cara menanamnya. Ah, bapa dibalik ketegaranmu sebagai ayah juga kehebatanmu menjadi petani yang sabar dan bisa menjadikan ladang mendekatkanmu dengan Tuhan pula.


Dikursi itu pula aku bertukar pikiran dengan bapa. Bercerita kabar keluarga dan dunia. Televisi sengaja tak diperbaiki parabolanya sejak awal pandemi. Kurang lebih tanpa menonton TV, emak bapa terlepas dari kabar buruk yang terus disiarkan. Beliau sibuk dengan rutinitas sehari-hari. Hanya saja broadcas berita yang paling ampuh di kampung yaitu dari mulut  ke mulut. Meminimalisir kekhawatiran dan terus terjaga dalam doa serta tawakkal.


Tidak ada mimpi bapa yang berlebih selain meninggal dengan enak. Dan membawa sangu (bekal) amal yang banyak. Tak seperti dulu, dipiring kecil nasi yang diciduk hanya secentong tanpa tambah. Itu saja sudah kenyang. Lauknya terbatas dan pilihan, jika tidak darah tingginya kumat. Tidurnya tak lelap sebatas memejam mata dan melepas lelah. Disepertiga malam emak dan bapa bangun bermunajat. Berpuasa senin kamis berdua, sahur dan berbuka berdua.


Aku kira seiring usia senja masalah rumah tangga akan mengerucut. Nyatanya tidak, semua memiliki fase hidupnya masing-masing. Emak bapa memang sering beradu emosi, namun hanya sesaat dan mereka saling memahami karakter. Secepat itu berantem secepat itu pula mereka saling memaafkan. Kembali mengolah obrolan yang mengalir, berbagi, mengisi diusia senja. Goncang soal ekonomi sudah lumrah, dijalaninya berdua hingga tahun depan memiliki 20 cucu. Bapa yang setia dan emak yang berhati lurus mengarungi bahtera penuh kenikmatan dan limpahan berkah.


2 comments:

Tira Soekardi said...

salut dengan para petani, mereka begitu kuat berjuang mengolah tanah yg ternyata memang tak mudah

Afidatun nasihah said...

Iya mba, alhamdulillah cukup dengan sederhana bersahaja