Thursday 17 March 2016

Menjelang Kepala Tiga


Menjelang Kepala Tiga

Dikatakan cemas sebenarnya tidak,  hanya saja sedikit khawatir. Selama kurun waktu melebihi seperempat abad menikmati dan dinikmati persoalan hidup. Lepas dari seragam abu-abu putih sudah terlatih bergelut dengan dunia yang sesungguhnya. Belajar tidak bergantung dengan uluran tangan orangtua. Tertatih menghidupi diri, dari mengatur keuangan yang cekak, minus sampai kedodoran. Hingga jurus hemat, irit sudah sangat bersahabat.

Bahagia? Tentu bahagia. Masa masa seperti itu memupuk diri untuk terus berbenah. Menyesuaikan lingkungan yang baru dan gaya hidupnya. Semakin lemah prinsip semakin mudah ikut tergerus, sedang semakin kuat prinsip, semakin kuat berdiri dan menyusup rasa percaya diri. Beruntung,  aku berada di lingkungan yang masih bisa susupi dengan mudah. Lingkungan yang sederhana dan penuh canda tawa. Tidak terlarut dengan kebahagiaan itu. Soal gaji, tidak menjadi momok saat meraih pekerjaan. Meskipun dengan jalan ngutang ditempuh saat akhir bulan. Biasanya tidak sendiri, ada teman yang mensupport hehe (dasar mental karyawan)

Ada hal lain, di lingkungan yang bukan kampung biasanya tidak dekat dengan tetangga. Yah, aku sudah satu dasawarsa merintis karir. Dan ada banyak wanita karir yang tenggelam dalam kesibukkannya. Lupa menikah? Oh tidak. Jika sedikit trauma bisa jadi. Tinggal berjauhan dengan orangtua biasa teror nikah via ujung seluler. Penyebab teror makin memanas biasanya setelah tetangga kampung hajatan dan usianya lebih muda dariku. Hugh! kalau ortu sudah berbicara pakek nada baper rasanya pengen cepet-cepet matikan obrolan. Yang sering diocehin bab percakapan berikut "orang tua sudah sepuh, umur manusia tidak ada yang tahu. Biar plong ada yang bertanggung jawab dunia akherat atas dirimu" honestly bikin mrebes mili.

Setahun menjelang kepala tiga sudah tak terhitung cibiran kapan nikah. Benar memang tersalip teman-teman yang diberi kesempatan duluan. Sesungguhnya bukan soal balapan yang duluan yang menang, bukan. Ada banyak peran Tuhan dalam ihwal jodoh. Beberapa orang ada yang mengatakan kita yang memilih Tuhan yang merestui. Restu pertama didapati dari orangtua, keluarga besar kemudian kun fayakun Tuhan yang berkehendak. Bisa saja restu ortu didapati, tapi Tuhan berkata tidak. Jika semuanya merestui bersama semesta mendukung maka pernikahan itu terjadi.

Ohya, bicara tentang cibiran orang -orang yang mengatakan "Dasar pemilih, makanya susah" Nah, kalimat itu yang membuat raut wajahku sangat garang. Baik, semua orang mempunyai mimpi, mempunyai kriteria calon pendamping hidup. Mengadu kepada Pengatur alam dan seluruh isinya dengan detail calon usai 5 waktu ditunaikan, saat berbuka puasa, saat hujan melebat dan saat sepertiga malam. Hampir semua wanita dan laki-laki dewasa dan single mendamba pasangan yang baik akhlaknya, lebih fokusnya sholeh/sholehah. Bukan begitu? Sudah seharusnya sadar, Allah adalah sebaik-baik Perencana. Dalam catatan mendapatkan pendamping disegerakan bukan karena sudah ada jabang bayi atau sudah kena ciduk gerebeg warga hehe

Menyikapi masalah di atas pasti menyangkut emosi. Menggali perasaan bikin mewek, biadanya sebelum bobo, menyendiri, marah, susah makan, susah tidur, bikin mood boaster untuk menulis status bergalau-galau ria. Tidak cukup dengan menggelar bait-bait doa, melainkan bersama hati yang membuka diri untuk membangun cinta.  Yakin, janji Allah tidak pernah ingkar. Diciptakan makhluk yang berpasang-pasangan. Akan ada seseorang yang menyebut namaku acap kali doa dilangitkan. Yang mencintai dalam diam, namun tangga doanya kembali ke bumi memberkati. Yang berusaha memantaskan diri sampai benar ia menjadi cerminanku *^▁^* Menjadi teman hidup yang bersama-sama menuntun ketaatan untuk dekat dengan Sang Pencipta, hingga nanti bisa bergandengan di surga Nya.








No comments: