Tuesday 28 January 2020

Mbah Dakem Dan Mbah Surti

*cerpenlokalitas

Di ruang tengah mbah Dakem duduk di kursi reyot. Tangannya terampil menyisir anak kutu yang bersarang dirambut putihnya. Gigi pongahnya sesekali menggigit-gigit hasil tangkapannya. Mata rabunnya nanar melihat langit-langit atap tanpa plafon yang tertembus sorot matahari. Dingin angin malam juga menembus ke dalam rumah, ditemani suara gesekan dedaunan yang tertiup angin.

Diusianya yang senja hidup sebatang kara. Kaki ketiga berupa tongkat kayu yang selalu menemani melangkah. Mbah Dakem tak pernah meninggalkan sholat qabliyah shubuh. Beliau teringat ceramah kyai "Dua rakaat shalat sunnah fajar di masjid lebih baik daripada dunia dan apa yang ada di dalamnya”. (HR. Muslim) hatinya berkata, 'Ya Allah gusti pangeran, boleh saja aku miskin dihadapan orang, tapi tidak dimata Mu. Semoga dikaruniai kekayaan hati ketimbang harta, toh sebentar lagi nyawaku juga diambil. Usiaku melebihi Rasulullah'

"Tok tok tok, Assalamualaykum mbaah"
Suara ketukan itu menggugah dari kembara pikiran mbah Dakem.
"Waalaykumussalam, sebentar"sambil menggulung rambut dan memakai jilbab seadanya. Tangan keriputnya merambat menyusuri tembok menuji pintu.

"eh, Dasro, monggo lungguh, ana apa, Sro"
"Gini mbah, kulo diutus pemerintah desa untuk mendata warga yang tidak mampu untuk memberi tunjangan. Dengan syarat dan ketentuan berlaku"
"Syarate apa, Sro" tanya mbah Dakem yang antusias
"WNI pesti, warga fakir/miskin, janda, hidup kurang layak, penghasilan tidak memenuhi sehari-sehari dll"
"Owh, kayak kwe, Sro. Nyong paham"
"Niki mbah, pemberitahuane ben luwih jelas di waos piyambek"
"Hehehe"sampai terbatuk-batuk
"mataku wis rabun, mbah biasa jiping alias ngaji kuping. Sro, Sro gawananmu akeh banget" Mbah Dakem penasaran.
"Iya mbah, kulo nggawa pilok karo tulisan ben si penerima tunjangan kwe kelihatan. Misal orang mampu tapi menerima kan isin" ujar Dasr
“Mbah itu wong sugih, ana hadits rasul, Barangsiapa yang melewati harinya dengan perasaan aman dalam rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan ia telah memiliki dunia seisinya.” (HR. Tirmidzi)
"Hebat, mbah. Pinter! Nyong sing enom kalah karo rika"
"Ati-ati kebijakane, Sro. Mbokan dadi aib terus gawe sakit ati, Sro. Oh ya, Mbah ngaji ning Benda kari lagi ana duit. Rutine ngaji seminggu pisan ning madrasah"

πŸ•πŸ•πŸ•πŸ•

Teras rumah menjadi tempat favorit. Sebatang rokok sriwedari ia hisap dalam-dalam. Di temani hembusan angin yang menggoyang pepohonan. Dipandanginya dedaunan pisang yang koyak dicakar angin. Tidak ada suami, semua anaknya merantau. Hanya sesekali datang menjenguk, itu pun lama.

Kopi hitam diseruputnya perlahan. Lagi, rokok yang tinggal sedikit itu dihisap mendalam. Fyuh, asapnya beterbangan menerpa mukanya yang kisut.

"Assalamualaykum mbah Surti"
"Wa alaykumussalam, ana apa, Sro. Mlebu"

Mbah Surti lebih modern dibanding mbah Dakem. Kompor gas tersedia, ceklek kompor itu dinyalakan. Air putih di tambah gula dan serbuk kopi. Ya, kopi hitam untuk Dasro disuguhkan. Kopi lampung, oleh-oleh dari anak mantu. Tidak dengan mbah Dakem, masih menggunakan kompor minyak. Minyak tanah langka ia gunakan meski dari satu desa hanya ada seorang penjual. Badan yang tua sudah tidak sanggup untuk mencari kayu dikebun.

Dasro menjelaskan kedatangannya sama seperti waktu di mbah Dakem. Mbah Surti sumringah dan menegaskan jika ia seorang yang wajib disantuni.

Istri dari pensiunan veteran itu kesal. Saat tetangga yang masih muda-muda rutin diberi tunjangan. Ia tahu beberapa emas yang dipakainya sama seperti saat ia muda dulu.

"Mbah sebatang kara, untuk sehari-hari mbah mengandalkan uang kiriman anak. Malah kadang gak cukup. Buat takziah, tilik bayi, kondangan itu pun pilih-pilih" mbah surti sambil meneteskan air mata.
"sing sabar yak, mbah" Dasro mencoba menegarkan
"Mbah wis biasa, Sro. Sing paling membuat sedih itu tidak ada anak yang merawat saat mbah wis jombo. Mau apa-apa sendiri. Mau minta tolong ambilkan minum aja gak bisa. Lihat mbah Midah, Sro. Udah dihajikan sama anaknya, rumahnya megah, tiap pergi pakai roda empat. Mbah kemana-mana pakai tongkat. Dasar anak pada durhaka! Gak emut udah dibesarkan dari kecil" tetiba mbah Surti kesal lalu sesenggukan

πŸ•πŸ•πŸ•πŸ•

Mbah Dakem sarapan nasi semalam yang belum basi, lauk gorengan 2 potong dicocol sambal. Matahari belum begitu galak sinarnya. Ia bergegas menggendong ilesan, karung. Tangannya menggengam 2 tongkat. Konon kabarnya Wasro si juragan padi panen didekat pintu air.

Ditengah keterbatasan fisik, hanya mencari remahan gabah dari sisa damen yang sudah diiles. Gampung, itu namanya. Pekerjaan apalagi yang bisa untuk mengisi perutnya. Kalaupun sepi panen, mbah memilih mencari biji melinjo yang berjatuhan dari kebun-kebun milik orang. Usai dikumpulkan ia jual.

πŸ•πŸ•πŸ•

Kali ini ilesan sungguh banyak. Kaki tuanya mudah lelah. Namun tetap dipaksakan meski keringat mengucur deras. Siang yang terik, membuat mbah Dakem menyerah dan pulang.

Sementara itu, mbah Surti masih senang di teras rumah. Menyemburkan asap rokoknya ke atas. Mengubah arahnya memandangi rumah mbah Midah yang megah. Dari balkon rumahnya, mbah Midah sedang berkelakar dengan cucunya. "hhhh, gawe panas!". Dalam hatinya menjerit, "anakku, mana anakku" 😒😒

πŸ•πŸ•πŸ•

Mbah Dakem dan Mba Surti saling bergandengan menuju rumah masing-masing. Rumah mereka dekat, hanya saja beda RT. Sepulang ngaji mereka terbiasa bersama. Mbah Dakem mengenakan baju kurung lawas dan mbah Surti mengenakan kebaya yang sudah dimakan zaman. Keduanya kompak memakai kerudung instan yang tinggal slup.

"Assalamualaykum, Mbah Dakem, mbah Surti" Dasro mendekati mereka
"Waalaykumussalam, pimen,Sro?"
"Anu mbah, nyuwun sewu, ngesuk jam 10 kumpul di rumah bu Sri RT 02 acara penerimaan tunjangan. Mboten kesupen bawa KTP dan KK nggih, mbah"
"Gawa KTP karo KK yak, Sro" mbah Dakem meyakinkan
"nggih, mbah"
"Matur nuwun yak, Sro. Ohya salam nggo lurahe" timpal mbah Dakem
"Lah, ora bakal gelem lurahe nrima salam sing rangda, nini-nini peyot kayak rika πŸ˜‚πŸ˜‚" Dasro ketawa lebar
"Bisa ae, pincukan kluban 😜" balas mbah Dakem
"Wkkkkk gaul juga rika, mbah" sambil tangan Dasro mencolek si mbah

Tulisan ditembok dengan cetakan yang dicat pilok itu berbunyi 'KAMI TERMASUK DALAM KATEGORI KELUARGA MISKIN YANG BERHAK MENERIMA MANFAAT PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH)'

Kebijakan baru yang terbit bak simalakama, ada sarkasme yang terpampang lugas dan mengandung efek malu bagi yang kurang tepat sasaran. Kenapa tidak menggunakan 'pra sejahtera' biar lebih nyaman ditelinga. Fyuh! Toh sama saja seperti dengan istilah tunawisma dan gelandangan, tuna susila dan tlembuk dan sejenisnya. Pemerintah harusnya lebih teliti mendata warga, bukan menyetempel 'miskin'. Minimal mengurangi kecemburuan sosial. Uang memang memiliki dua sisi yang berbeda, baik dan buruknya bergantung pengelola.

πŸ”°πŸ”°πŸ”°

Diam-diam uang dari tunjangan itu mbah Dakem serahkan ke pengurus masjid. Menyisakan 100 ribu untuk pegangan dan ongkos berangkat ngaji di kota santri, Benda. Selama ini mbah Dakem mengisi sedekah pengajian dengan sekobok beras, begitupun jika ada cimitan sumbangan.

Mendengar sohibnya sakit, mbah Dakem menjenguknya. Penyakit stroke yang menyerang mbah Surti membuat ia sudah tidak berdaya lagi. Setiap hari hanya tergolek lemah di atas kasur. Makan, mandi, ganti baju, pipis, dan BAB semua di atas kasur. Mulutnya bengo hingga kesusahan untuk bicara. Persis seperti dalam keadaan bayi kembali. Kehidupannya sangat bergantung pada perhatian anaknya. Anak-anaknya yang sudah besar dan sudah berkeluarga tinggal merantau bergantian datang untuk merawat. Mereka harus setiap hari memandikan orantuanya, membersihkan kotorannya, menyuapinya makan, dan menjemurnya pada matahari pagi. Semua pekerjaan itu dilakukan setiap hari, namun ibunya masih tetap diberi umur panjang sampai kini.

Mbah Surti mengulur tangan kirinya, mengajak berjabat tangan mbah Dakem. Sementara tangan kananya dingin tak mampu digerakkan.
"jej jej nja gong, Kem" ucap mbah Surti lirih
"iya, Ti. Dimari mari yak. Sing sabar" mbah Dakem menimpali.

Mereka membatu, keduanya saling menatap iba. Tak dinyana tetes demi tetes air mata mengalir  dipipi. Kedua sahabat itu bergenggaman tangan erat. Sekali lagi, tanpa sepatah kata, tanpa bicara. Mbah Dakem bisa membayangkan andaikata anak-anaknya tidak sabar, mungkin di dalam hati mereka pernah terbersit rasa kesal, bosan, menggerutu, dan sebagainya, atau yang paling ekstrim mungkin setan pernah membisikkan kenapa tidak berharap ibunya cepat mati supaya tidak terbebani lagi

"Num, Kem" lamunan mbah Dakem buyar
"Apa, Ti"
"M m mi num" mbah Surti mengulang
Segelas air putih segera disuguhkan yang sudah bersedotan. Dilayaninya dengan kasih sayang.

πŸ”°πŸ”°πŸ”°

Raga di atas ranjang, sementara pikiran dan jiwa terpental jauh. Berbaring ke kiri salah, begitu pun sebaliknya. Tidak ada posisi tidur yang membuat nyaman. Gelisah tak menentu. Suara detik detik jarum jam terdengar jelas. Jangkring dipojok kamar sesekali mengerik. Gesekan dedaunan menambah syahdu dinginnya malam. Malam kian larut. Lampu 5 wat dikamar sudah dipadamkan lama. Mata mbah Dakem enggan untuk terpejam. Matanya terus terbelalak mengingat sahabatnya, mbah Surti.

Allohu akbar, allohu akbar
Adzan shubuh berkumandang. Mbah Dakem terbangun dengan kaget bukan kepalang. Ia melewatkan sholat tahajud. Sepasang sendal ia cari dibawah kolong ranjangnya yang sudah keropos. Pelan-pelan jempol dan telunjuk jari kaki merayap menjepit sendal jepit yang usang. Badannya masih lemas, terhuyung-huyung menuju kamar mandi.

Mbah Dakem bergegas ke mushola yang tak jauh dari rumahnya. Mukena terusan sudah ia kenakan dari rumah. Dicangkingnya sajadah hijau ditangan kiri.

Beberapa langkah dari rumah, mbah Dakem ambruk.
Gabrug!!!
Tak ada sesiapapun. Imam sudah menilawahkan alfatihah dan makmum sudah khusuk mengikuti imam.

Dasro salah satu makmum masbuk. Dari kejauhan melihat sesuatu yang mencurigakan. Tidak seperti biasanya. Ada sebuah benda putih panjang di tengah jalan. Ia bingung antara mengikuti sholat atau menemui benda aneh itu. Jika pun Dasro sholat tentu akan mengganggu pikiranya, dan tidak khusyuk. Tapi rasa takut sudah menjalar dipikirannya. Kecurigaaan membuat prasangka-prasangka buruk bermunculan.

"Sro, yuh sholat" Sarmin menepuk pundaknya.
Dasro menceritakan kecurigaanya. Ditemani Sarmin, Dasro mendekatinya perlahan. Kedua kakinya mengendap-endap. Dasro enggan melangkah di depan. Dipeganginya pundak Sarmin kuat-kuat.

"Innalillahi wainna ilaihi roojiuun, mbah Dakeeem" Sarmin terkejut, dan membalikkan badan Mbah Dakem yang tengkurap. Napasnya dicek. Tak ada udara yang keluar dari hidungnya. Detak jantungnya sudah tidak ada. Matanya terpejam dan senyuman mengukir dibibirnya yang keriput.


No comments: