Thursday 30 October 2014

Catatan Relawan


                                                     Pelukan Sayang

            Sayang adalah philia, berhubungan erat dengan perasaan yang dtunjukan bagi  orang-orang terdekat tanpa meminta balasan, seperti kepada orang tua, saudara, sahabat. Cinta merupakan salah satu emosi  yang dirasakan dan dialami oleh seorang individu, bahkan meskipun sepanjanghidupnya kegetiran terus menghampirinya.
                                                            @@@
            Mendapat predikat sebagai relawan adalah hal yang membanggakan dan menyenangkan. Usai banjir melanda sebagian desa di Serang akibat Ciujung meluap. Maka sebagai tubuh-tubuh hujan yang kuat bergerak menyalurkan bantuan dan berbagi cinta. Tubuh kami merangkul keceriaan anak-anak. Tim kami bernama Komunitas Relawan Banten (KRB) yang bergerak dalam psycososial trauma healing untuk anak-anak, bagian terkecil dari disaster management. Trauma populer lebih dikenal dengan masyarakat luka secara psikis (mudah diingat kejadian, cemas, takut dll). Sedangkan healing adalah pengobatan.Psikososial sendiri hubungan dinamis antara aspek psikologis dan sosial yang saling berinteraksi dan mempengaruhi secara berkelanjutan. Caranya dengan menggunakan permainan besar bersama anak-anak dan pembagian bingkisan.
           
        Akhir pekan kerap dijadikan relawan untuk terjun ke lapangan. Kesibukan dibalik layarnya yang berlatar belakang dari berbagai profesi. Kampung Laban desa Teras Kecamatan Carenang menjadi sasaran kami. Pemandangan tumpukan yang menggunung dari  lipatan karung-karung bekas dan terpal, berjajar sepanjang kecamatan Carenang. Sisa-sisa genangan banjir masih terlihat disisi kanan kiri jalan. Kasur dan kursi yang masih dijemur sangat mencolok mata. Bekas batas air masih menempel jelas ditembok rumah-rumah warga. Lebih dari 3 kali kujumpai papan valas di pinggir jalan. Ada yang janggal menurutku. Kampung  yang jauh dari kota dengan mudahnya dijumpai tempat penukaran uang asing. Dan tak ada akses mobil angkutan umum masuk. Kalaupun ada dengan ojek yang ditebus dengan 10 ribu.
          
        Menjelang siang kami tiba. Pada Minggu 27 Februari 2013. Sambutan riuh anak-anak menyapa kami. Di panggung bekas taman baca yang meninggalkan puing-puing rak dan sobekan kertas. Mereka gaduh bermain diatas papan talupuh yang mulai rapuh. Bersebelahan dengan pasar kaget yang hanya pada hari tertentu dipagi hari. Bau amis ikan masih menyengat menusuk hidung. Dengan senyum renyah kusapa mereka. Sembari menanti seluruh anak-anak berkumpul.
            
KRB di Carenang 2014
       Namanya Wati usianya 12 tahun. Satu dari sekian anak yang memperkenalkan diri yang masih teringat. Disampingnya ada adik perempuan yang meggelayuti badannya. Berangkat dari keprihatinan dari lingkungan sekitar. Menikmati  Ramayana dan Mall Off Serang sebatas keinginan yang besar. Apalagi kemegahan yang terlihat di telivisi sebatas angan-angan. Kami duduk, berbincang di rumah panggung bekas Taman baca. Anak ke-4 dari  7 bersaudara terlihat sangat pendiam. Tanpa kulontarkan pertanyaan, Wati takkan menanyakan balik denganku. Kegiatannya lebih sering dirumah walaupun televisi belum ada dirumahnya. Membantu membereskan rumah dan menjaga adik-adiknya menjadi kesibukannya. Kalaupun ingin menonton TV harus numpang di tetangga.
“Teteh, njuk duite Teh nggo tuku es?”
Sosok anak berusia berusia 3 tahunan, tanpa beralas sandal  itu mendekati Wati. Wati  mengulurkan receh 500 rupiah dari kantongnya. Sikap perhatiannya terlihat ketika lembaran ujung rok adiknya diangkat untuk menghapus kotoran dari hidung adik ke-2nya itu. Tangannya juga terampil merapikan rambut adiknya yang kusut masai.  Sebelum ia berlalu membalikkan badan dan melangkah ke warung.
          
          Ayahnya bekerja sebagai tukang becak di pasar Kragilan, yang hanya tiba di hari Senin dan Kamis pagi. Penghasilanya sekitar 30 ribu, itupun harus dikurang dengan yang menyewakan becak. Selebihnya ia buruh tani. Jika tidak ada tetangga yang membutuhkan tenagannya. Ia mencari ikan di sungai dan dijual. Itupun tak seberapa. Nampak mata Wati mulai berkaca-kaca. Kisah sedihnya ia tuturkan bahwa kakak sulungnya menjadi TKW di Jordania, hingga kini belum ada kabar selama setahun meninggalkan Indonesia. Terakhir kabar uang gaji ditahan oleh majikan. Ibunya kerap mencurahkan segala keluh kesahnya dengan Wati, termasuk meminta pembelaan saat mereka bertengkar dengan bapa dari anak-anak mereka. Wati anak perempuan yang paling dekat dengan ibu.  Tanganku merangkul badan wati yang mungil. Punggungnya terguncang-guncang, air matanya menderas. Kusandarkan kepalanya dipundakku. Kuelus-elus punggungnya hingga tenang. Kupandangi wajahnya yang sayu sembari kuusap tangisnya dengan jemariku.
           
          Ah, anak semanis dia harus turut menanggung beban diluar batas kemampuan mental dan pikiran anak. Wati kategori anak pra remaja, keadaan jiwanya masih kekanak-kanakkan, emosinya belum stabil. Jika saja orangtuanya mempertimbangkan usia, kemampuan anak, keadaan anak menjaga objektifitas sebagai orang tua, mungkin tak membuat Wati depresi. Andai saja ibunya tidak menceritakan segala pelik rumah tangga dihadapan anak kecil. Gerutuku.
“Yang sabar sayang yach, Teteh ikut prihatin mendengar cerita Wati. Ibumu butuh teman untuk bercerita ditengah kesibukkannya. Ibumu menganggap Wati tidak hanya sebagai anak, tetapi juga teman. Seperti Wati curhat dengan teman Wati. Hanya saja, baiknya ibumu tidak menceritakan sedetil itu kepada anak seusia kamu. Tugas Wati sekarang. Belajar yang rajin, nurut orangtua, sekolah berprestasi dan jangan lupa mendoakan orang tua”
            
      Masih kupeluk tubuh wati yang sedikit mereda derai tangisnya. Dengan pelukanku akan menyalirkan energi penuh cinta, mengembalikan emosi positif. Pelukan adalah obat ajaib tidak hanya bagi orang dewasa tapi juga anak-anak yang mampu mengusir depresi. Kehadiran hormon endomorfin yang muncul saat berpelukan dapat mengurangi ketegangan saraf dan tekanan darah.
           
     Pelajaran berharga buatku. Menjadi ibu sangat penting mempunyai kemapaman mental dan pengendalian emosi saat berhadapan dengan anak. Tidak hanya sekedar tugas membesarkan anak hingga dewasa. Hal yang perlu disadari adalah sebenarnya anak diciptakan Alloh memiliki jiwa yang sangat peka terhadap masalah yang dihadapi ortunya. Dahi yang berkerut, urat leher yang menegang, bahu yang terangkat, apalagi suara yang keras  telah mampu dibaca anak sejak usia dini.
           
       KITA SEMUA BERGEMBIRA, itulah slogan yang kami bawa saat permainan di lapangan. Paras Wati sudah cerah ceria bergabung dengan teman-temanya. Jingkrak dan teriakan sangat lepas. Bahkan ia mampu memikat para relawan dengan gambar terbaiknya mengenai banjir.Satu peluru mengena banyak sasaran. Relawan, anak-anak, orangtua, warga sekitar semua  ikut bergembira.
                                                        
                                                            
Keceriaan di Nagara bersama KRB dan kumendan
   

            Jambore anak memperingati hari anak digelar di Rumah Dunia. Inilah yang mempertemukanku kembali dengan Wati. Ia masih sangat mengenalku. Ia memburuku tergesa-gesa dengan melempar senyum. Aku kembali memeluknya, mengecup keningnya dan mengusap-usap kepalanya. Pipinya memerah dan menanyakan tentang kesehatanku.  Ah Wati anak yang baik. Hari itu juga mempertemukanku dengan survivor korban banjir dari kampung lain yang pernah tim KRB beraksi.



Jambore anak Rumah Dunia

No comments: