Monday 27 October 2014

Membelah Jakarta Dengan Vespa


                                                Membelah Jakarta Dengan Vespa

            Mengendarai vespa saat ini memang tak banyak dilirik banyak orang. Kendaraan yang sudah tertelan masa ini, hanya dimiliki kalangan tertentu yang mempunyai passion mencintai vespa. Kendaraan asal Itali yang bermula dari perusahaan piaggio. Mimpi mengitari Jakarta diwujudkan oleh temanku, sebagai pencinta sepeda motor jenis skuter itu, tepatnya vespa jenis super (speed 150S) tahun 75. Di bawah pasar  yang terbakar di samping terminal Senen, aku bertemu teman kecilku yang menjelma berdandan klasik. Aku tak lepas dari senyum menyapanya. Berbalut jacket biru navi dan berhelm kulit coklat khas vespa beraksesoris kacamata, terlihat makin lucu.
            Sebagai wanita yang sering enggan berlama-lama dalam kurungan tembok. Gugahan untuk jalan-jalan sering enggan ditolak. Jika biasanya pergi ke mall, rasanya sudah bosan.  Ideku berteduh di taman terbuka, terlebih di kota menggebu-gebu. Ya, aku pilih Taman Suropati. Taman yang berada di tengah-tengah komplek perumahan elite itu tak sepi dengan pengunjung. Pada 15 Mei 2014, aku pertama kali menginjak kami disapa pohon mahoni berukuran raksasa mengitari taman yang hijau. Tak jauh dari rumah orang nomor satu di Jakarta yang sekarang gambarnya terpampang di seluruh Indonesia.

aku dan Andi di Toko Merah Kotu beserta vespa biru



>> Taman Suropati ada cinta yang tersirat
        

    Taman Suropati awalnya bernama Burgemester Bisschopplein yang diambil dari nama walikota (Burgemester) Batavia, yang bernama G.J. Bisshop (1916-1920). Pada mulanya berbentuk bukit, kemudian dipangkas dan sebagian tanahnya dibuang ke Jl. Basuki. Lapangan ini dibangun sejak tahun 1920 tepat diantara pertemuan tiga jalan utama, yaitu Menteng Boulevard (Jl. Teuku Umar), Orange Boulevard (Jl. Diponegoro), Nassau Boulevard (Jl. Imam Bonjol). Taman Suropati yang rindang, sejak beberapa tahun yang lalu dihiasi dengan patung-patung karya pematung dari seluruh ASEAN.


            Bukan hanya tempat rekreasi keluarga, yang diasosiasikan dengan anak-anak yang berlarian dengan pengasuh sambil bawa mainan.  Taman yang asri ini juga banyak dikunjungi banyak komunitas untuk berkumpul. Taman seluas 16.328 m2 ini salah satu taman terbaik di Jakarta.Taman ini dihuni pepohonan yang berusia ratusan tahun, ada sekitar 93 jenis pohon dari berbagai vegetasi. Diantar vegetasi tersebut adalah Mahoni, Sawo Kecik, Ketapang, Tanjur, Bungur, Khaya dan tentunya masih ada beberapa tanaman hias serta rerumputan yang juga melengkapi keasrian taman. Selain menikmati udara segar, puluhan burung merpati putih melengkapi keindahan taman. Kicauan burung lain ikut bersenandung memenjakan telinga kita.Termasuk juga alaunan nan sayhdu dari para pemain biola yang kerap menggunakan taman sebagai tempat yang pas untuk belajar. Dilengkapi juga dengan 2 air mancur dan dijam tertentu mangalirkan goyangan yang menyegarkan.
         
     Dipintu masuk taman, terdapat larangan-larangan yang harus dipatuhi. Diantaranya dilarang menginjak rumput, merusak fasilitas taman, merusak tanaman, menggunakan kendaraan bermotor, membuang sampahdan puntung sembarangan, berdagang, minum-minuman keras dan menbuang kemasan beling, menebangatau merusak tanaman. Para pedangan memang tak memasuki area taman, tetapi mereka berkeliling dengan baki yang bertuliskan menu. Jika ada yang memesan, maka akan diantar. Sepanjang jalan kuamati memang lebih banyak daun kering yang gugur dibanding sampah kemasan produk makanan. Sungguh terlalu jika masih membuang sampah sembarangan, karena dibanyak sudut taman terdapat tempat-tempat sampah.
         
     Sebelum aku mengelilingi taman, kami duduk bercengkrama di atas kursi taman yang sama dengan kursi yang dipasang di sekitar Senayan. Kedekatan dari dulu membuat kami tak canggung untuk menceritakan tanpa basa-basi. Dibungkus dengan canda dan suasana yang nyaman membuat rasa semakin bahagia. Tanpa kusanaka saat beranjak menuju saung, dia menyatakan cinta. Jleb! Ah mindsetku sudah berteman sedari dulu, untuk menjadi lebih hal yang tak mudah buatku. Maafkan aku kawan. Tapi menyayangmu menjadi wajib bagiku. Episode sahabat kita menjadi skenario terindah.


>> Menggugurkan Kebutuhan Di Istiqlal
         

    Walau tak mendengar adzan berkumandang, menengok jam selalu saja mengingatkan. Akan menjadi sedikit berat jika dijadikan kewajiban. Aku menyebutnya kebutuhan, supaya lebih terasa ringan. Dari Taman Suropati hingga Istiqlal tak memakan waktu yang lama. Menunaikan sholat dhuhur kami tunaikan sebagai umat muslim atas panggilan Nya. Bukan sekali ini saja aku menapakkan kaki di masjid agung ini. Sudah menjadi tradisi ketika memasuki masjid raya kebanggaan bangsa Indonesia yang memuat sekitar 200.000 jamaah. Biasanya terdapat penjual yang menjajakan kresek. Tujuannnya tak lain untuk mengamankan sandal atau sepatu para jamaah kenakan. Dengan harga Rp. 1000 satu kresek dihargai. Meskipun di dalam masjid di sediakan fasilitas beserta petugas untuk mengamankan alas kaki mereka.
            Sebagai masjid yang terbesar di Asia tenggara dan berhadapan dengan gereja katedral. Sebuah komplek masjid yang berdiri di atas lahan 12 hektar. Bangunan masjidnya sendiri seluas 7 hektar, dengan luas lantai 72.000 meter persegi, dan luas atap 21.000 meter persegi, dengan lebar kubah 45 meter. Pembangunan masjid ini diprakarsai oleh presiden RI yang pertama, yaitu Ir. Soekarno. Sebagai tanda dimulainya pembangunan masjid Istiqlal pada tanggal 24 Agustus 1951. Adapun sang arsitek seorang Kristen Protestan, yakni Frederich Silaban.
            Nama Masjid Istiqlal merupakan masjid negara Indonesia, yaitu masjid yang mewakili umat muslim Indonesia. Karena menyandang status terhormat ini, maka patus menjadi masjid kebanggaan sekaligus menggambarkan semangat perjuangan dalam meraih kemerdekaan. Masjid ini dibangun atas dasar wujud syukur bangsa Indonesia yang mayoritas mayoritas bergama Islam, atas berkat dan rahmat Alloh SWT yang telah menganugerahkan nikmat kemerdekaan, terbebas dari cengkraman penjajah. Karena itulah masjid ini dinamakan “Istiqlal” yang dalam bahasa Arab berarti merdeka.
            Jangan kaget jika di dalam masjid terdapat satpam. Dengan mengenakan seragam layaknya biasa, mereka bertugas mengatur jamaah. Satpam wanita berhijab dengan baju yang tidak dimasukan dicelana, melainkan menutup bagian belakang, tak lupa mereka mengenakan selempang dengan visual tugasnya.

>>Menanti Sore Di Monumen Perjuangan
        
        Pasca kebakaran bangunan tua,lagi-lagi peninggalan zaman Belanda. Kini penghuni pasar blok B Senen, melanjutkan rutinitas niaganya tumpah ruah di jalanan. Karena belum diberi lahan dagang mereka menggunakan satu arah jalan sepanjang puluhan meter sepanjang bangunan lama tsb dipenuhi pedangan daging, perabot, obat dll. Termasuk dimulut  masjid Jami Alhidayah Senen. Bau got menyengat ditambah lalat yang bertebaran genit, menjadi pemandangan menjijikan tepat dimuka masjid. Suara para pedagang yang berceloteh, semakin tak membuat nyaman untuk beribadah. Andai saja para pedangang memikirkan berkah, tidak melulu memikirkan keuntungan dan melanjutkan hidup, maka mereka meninggalkan madhorot berjualan di dekat masjid. Lebih-lebih fasilitas umum digunakan untuk kepentingan pribadi.





            Tak sampai lama, usai sholat. Kami menuju monumen perjuangan letaknya di dekat pintu keluar dari stasiun. Tak jauh dari Masjid sebelum pertigaan jalan. Monumen yang diresmikan pada tahun 1981 diresmikan oleh A. Munir, Walikota jakarta pada saat itu. Hiruk pikuk kendaraan knalpot berlalu lalang, debu jalanan mewarnai patung sejarah itu. Monumen ini adalah koraborasi beberapa pematung dan pelukis. Pesan dimonumen ini adalah menggambarkan era revolusi fisik, dimana monumen ini menggambarkan semua unsur masyarakat dalam mempertahankan kemerdekaan. Ada pemuda yang berjuang, ada gadis palang merah dan bahkan anak-anak. Penegasan ini ada pada tulisan di bagian depan monumen “Tekad Merdeka”. Begitu pula kalimat heroik yang tergores dibawah kaki patung “Tuhan, jika aku gugur dan kau takdirkan aku hidup sekali lagi, aku akan korbankan jiwaku untuk nusa dan bangsa”.

  
            Berada dibelakang patung yang gagah itu, kami menikmati pahatan cerita masa perjuangan dari masa perjuangan Soekarno Hatta hingga Soeharto beserta Ibu Tien yang menggenggam padi. Meniti cerita yang disampaikan dengan detail melalui relief yang mengingatkan pada sejarah. Sambil menikmati layang-layang putus diangkasa, kami tak henti-hentinya menatap ke atas. Arah angin yang tak menentu sebelum hujan, gelang geliut layang-layang tak tertebak.  Sesekali mengingat masa kecilnya dengan suka cita yang mengejar layang-layang putus milik orang lain. Lagi-lagi dentum sirine kereta yang sangat menggnggu. Mesti sudah terbiasa, mungkin jika diganti dengan musik yang lebih ringan dan menceriakan akan lebih enak. Seperti bunyi sirine ambulan yang terpotong-potong sesering itu membuat sakit kepala juga. Entah siapa yang mempelopori bunyi sirine kereta seperti itu, jika saja diganti dengan lagu dangdut, atau apa yang lebih indah mungkin tak sepening itu, gerutu kami.

No comments: