Membelah
Jakarta Dengan Vespa
Mengendarai vespa
saat ini memang tak banyak dilirik banyak orang. Kendaraan yang sudah tertelan
masa ini, hanya dimiliki kalangan tertentu yang mempunyai passion mencintai
vespa. Kendaraan asal Itali yang bermula dari perusahaan piaggio. Mimpi
mengitari Jakarta diwujudkan oleh temanku, sebagai pencinta sepeda motor jenis
skuter itu, tepatnya vespa jenis super (speed 150S) tahun 75. Di bawah
pasar yang terbakar di samping terminal Senen,
aku bertemu teman kecilku yang menjelma berdandan klasik. Aku tak lepas dari
senyum menyapanya. Berbalut jacket biru navi dan berhelm kulit coklat khas
vespa beraksesoris kacamata, terlihat makin lucu.
Sebagai wanita yang
sering enggan berlama-lama dalam kurungan tembok. Gugahan untuk jalan-jalan
sering enggan ditolak. Jika biasanya pergi ke mall, rasanya sudah bosan. Ideku berteduh di taman terbuka, terlebih di
kota menggebu-gebu. Ya, aku pilih Taman Suropati. Taman yang berada di
tengah-tengah komplek perumahan elite itu tak sepi dengan pengunjung. Pada 15
Mei 2014, aku pertama kali menginjak kami disapa pohon mahoni berukuran raksasa
mengitari taman yang hijau. Tak jauh dari rumah orang nomor satu di Jakarta
yang sekarang gambarnya terpampang di seluruh Indonesia.
aku dan Andi di Toko Merah Kotu beserta vespa biru |
>> Taman Suropati ada cinta yang tersirat
Taman Suropati awalnya bernama Burgemester Bisschopplein yang diambil dari nama walikota (Burgemester) Batavia, yang bernama G.J. Bisshop (1916-1920). Pada mulanya berbentuk bukit, kemudian dipangkas dan sebagian tanahnya dibuang ke Jl. Basuki. Lapangan ini dibangun sejak tahun 1920 tepat diantara pertemuan tiga jalan utama, yaitu Menteng Boulevard (Jl. Teuku Umar), Orange Boulevard (Jl. Diponegoro), Nassau Boulevard (Jl. Imam Bonjol). Taman Suropati yang rindang, sejak beberapa tahun yang lalu dihiasi dengan patung-patung karya pematung dari seluruh ASEAN.
Bukan hanya tempat
rekreasi keluarga, yang diasosiasikan dengan anak-anak yang berlarian dengan
pengasuh sambil bawa mainan. Taman yang
asri ini juga banyak dikunjungi banyak komunitas untuk berkumpul. Taman seluas
16.328 m2 ini salah satu taman terbaik di Jakarta.Taman ini dihuni pepohonan
yang berusia ratusan tahun, ada sekitar 93 jenis pohon dari berbagai vegetasi.
Diantar vegetasi tersebut adalah Mahoni, Sawo Kecik, Ketapang, Tanjur, Bungur,
Khaya dan tentunya masih ada beberapa tanaman hias serta rerumputan yang juga
melengkapi keasrian taman. Selain menikmati udara segar, puluhan burung merpati
putih melengkapi keindahan taman. Kicauan burung lain ikut bersenandung
memenjakan telinga kita.Termasuk juga alaunan nan sayhdu dari para pemain biola
yang kerap menggunakan taman sebagai tempat yang pas untuk belajar. Dilengkapi
juga dengan 2 air mancur dan dijam tertentu mangalirkan goyangan yang
menyegarkan.
Dipintu masuk taman, terdapat larangan-larangan yang harus dipatuhi. Diantaranya dilarang menginjak rumput, merusak fasilitas taman, merusak tanaman, menggunakan kendaraan bermotor, membuang sampahdan puntung sembarangan, berdagang, minum-minuman keras dan menbuang kemasan beling, menebangatau merusak tanaman. Para pedangan memang tak memasuki area taman, tetapi mereka berkeliling dengan baki yang bertuliskan menu. Jika ada yang memesan, maka akan diantar. Sepanjang jalan kuamati memang lebih banyak daun kering yang gugur dibanding sampah kemasan produk makanan. Sungguh terlalu jika masih membuang sampah sembarangan, karena dibanyak sudut taman terdapat tempat-tempat sampah.
Sebelum aku mengelilingi taman, kami duduk bercengkrama di atas kursi taman yang sama dengan kursi yang dipasang di sekitar Senayan. Kedekatan dari dulu membuat kami tak canggung untuk menceritakan tanpa basa-basi. Dibungkus dengan canda dan suasana yang nyaman membuat rasa semakin bahagia. Tanpa kusanaka saat beranjak menuju saung, dia menyatakan cinta. Jleb! Ah mindsetku sudah berteman sedari dulu, untuk menjadi lebih hal yang tak mudah buatku. Maafkan aku kawan. Tapi menyayangmu menjadi wajib bagiku. Episode sahabat kita menjadi skenario terindah.
>> Menggugurkan Kebutuhan Di Istiqlal
Walau tak mendengar adzan berkumandang, menengok jam selalu saja mengingatkan. Akan menjadi sedikit berat jika dijadikan kewajiban. Aku menyebutnya kebutuhan, supaya lebih terasa ringan. Dari Taman Suropati hingga Istiqlal tak memakan waktu yang lama. Menunaikan sholat dhuhur kami tunaikan sebagai umat muslim atas panggilan Nya. Bukan sekali ini saja aku menapakkan kaki di masjid agung ini. Sudah menjadi tradisi ketika memasuki masjid raya kebanggaan bangsa Indonesia yang memuat sekitar 200.000 jamaah. Biasanya terdapat penjual yang menjajakan kresek. Tujuannnya tak lain untuk mengamankan sandal atau sepatu para jamaah kenakan. Dengan harga Rp. 1000 satu kresek dihargai. Meskipun di dalam masjid di sediakan fasilitas beserta petugas untuk mengamankan alas kaki mereka.
Sebagai masjid yang
terbesar di Asia tenggara dan berhadapan dengan gereja katedral. Sebuah komplek
masjid yang berdiri di atas lahan 12 hektar. Bangunan masjidnya sendiri seluas
7 hektar, dengan luas lantai 72.000 meter persegi, dan luas atap 21.000 meter
persegi, dengan lebar kubah 45 meter. Pembangunan masjid ini diprakarsai oleh
presiden RI yang pertama, yaitu Ir. Soekarno. Sebagai tanda dimulainya
pembangunan masjid Istiqlal pada tanggal 24 Agustus 1951. Adapun sang arsitek
seorang Kristen Protestan, yakni Frederich Silaban.
Nama Masjid Istiqlal
merupakan masjid negara Indonesia, yaitu masjid yang mewakili umat muslim
Indonesia. Karena menyandang status terhormat ini, maka patus menjadi masjid
kebanggaan sekaligus menggambarkan semangat perjuangan dalam meraih
kemerdekaan. Masjid ini dibangun atas dasar wujud syukur bangsa Indonesia yang
mayoritas mayoritas bergama Islam, atas berkat dan rahmat Alloh SWT yang telah
menganugerahkan nikmat kemerdekaan, terbebas dari cengkraman penjajah. Karena
itulah masjid ini dinamakan “Istiqlal” yang dalam bahasa Arab berarti merdeka.
Jangan kaget jika di
dalam masjid terdapat satpam. Dengan mengenakan seragam layaknya biasa, mereka
bertugas mengatur jamaah. Satpam wanita berhijab dengan baju yang tidak
dimasukan dicelana, melainkan menutup bagian belakang, tak lupa mereka
mengenakan selempang dengan visual tugasnya.
>>Menanti Sore Di Monumen Perjuangan
Pasca kebakaran bangunan tua,lagi-lagi peninggalan zaman Belanda. Kini penghuni pasar blok B Senen, melanjutkan rutinitas niaganya tumpah ruah di jalanan. Karena belum diberi lahan dagang mereka menggunakan satu arah jalan sepanjang puluhan meter sepanjang bangunan lama tsb dipenuhi pedangan daging, perabot, obat dll. Termasuk dimulut masjid Jami Alhidayah Senen. Bau got menyengat ditambah lalat yang bertebaran genit, menjadi pemandangan menjijikan tepat dimuka masjid. Suara para pedagang yang berceloteh, semakin tak membuat nyaman untuk beribadah. Andai saja para pedangang memikirkan berkah, tidak melulu memikirkan keuntungan dan melanjutkan hidup, maka mereka meninggalkan madhorot berjualan di dekat masjid. Lebih-lebih fasilitas umum digunakan untuk kepentingan pribadi.
Tak sampai lama, usai
sholat. Kami menuju monumen perjuangan letaknya di dekat pintu keluar dari
stasiun. Tak jauh dari Masjid sebelum pertigaan jalan. Monumen yang diresmikan
pada tahun 1981 diresmikan oleh A. Munir, Walikota jakarta pada saat itu. Hiruk
pikuk kendaraan knalpot berlalu lalang, debu jalanan mewarnai patung sejarah
itu. Monumen ini adalah koraborasi beberapa pematung dan pelukis. Pesan
dimonumen ini adalah menggambarkan era revolusi fisik, dimana monumen ini
menggambarkan semua unsur masyarakat dalam mempertahankan kemerdekaan. Ada
pemuda yang berjuang, ada gadis palang merah dan bahkan anak-anak. Penegasan
ini ada pada tulisan di bagian depan monumen “Tekad Merdeka”. Begitu pula kalimat
heroik yang tergores dibawah kaki patung “Tuhan, jika aku gugur dan kau
takdirkan aku hidup sekali lagi, aku akan korbankan jiwaku untuk nusa dan
bangsa”.
Berada dibelakang
patung yang gagah itu, kami menikmati pahatan cerita masa perjuangan dari masa
perjuangan Soekarno Hatta hingga Soeharto beserta Ibu Tien yang menggenggam
padi. Meniti cerita yang disampaikan dengan detail melalui relief yang
mengingatkan pada sejarah. Sambil menikmati layang-layang putus diangkasa, kami
tak henti-hentinya menatap ke atas. Arah angin yang tak menentu sebelum hujan,
gelang geliut layang-layang tak tertebak.
Sesekali mengingat masa kecilnya dengan suka cita yang mengejar
layang-layang putus milik orang lain. Lagi-lagi dentum sirine kereta yang
sangat menggnggu. Mesti sudah terbiasa, mungkin jika diganti dengan musik yang
lebih ringan dan menceriakan akan lebih enak. Seperti bunyi sirine ambulan yang
terpotong-potong sesering itu membuat sakit kepala juga. Entah siapa yang
mempelopori bunyi sirine kereta seperti itu, jika saja diganti dengan lagu
dangdut, atau apa yang lebih indah mungkin tak sepening itu, gerutu kami.
No comments:
Post a Comment