Untuk ke sekian kali berganti tetangga, kebutuhan wajib bagi kami yang belum punya rumah.Mengontrak kamar sepetak di ibu kota tak semurah harga di kontrakan yang di pinggiran kota. 550 ribu perbulan dengan biaya listrik sendiri dan kamar mandi di luar untuk berjamaah. Jangan ditanya soal dapur, bisa tidur di tempat yang bersih sudah sangat-sangat bersyukur.
Kumandang adzan shubuh baru saja usai. Aku beranjak ke kamar mandi, dan kutemui plastik klip ukuran terkecil terapung diatas kloset. Sedikit curiga itu mematuki isi kepalaku. Ini yang pernah kulihat. Sebelumnya, ibu kos semalam mengungkapkan kegelisahanya tentang karakter penghuni baru dengan logat betawi nyablak kental, yang dicurigai mengkonsumsi barang haram. Kami yang tinggal disebelahnya percis merasakan ketidak nyamanan yang sangat. Dari tengah malam hingga pagi hari tetangga baru itu bertengkar, ada bunyi gaduh, kaki yang menjejak-jejak, tangis yang tersedu sedan, kata-kata kotor dan yang mengiris hati adalah suara tangis bocah yang pecah. "Ayah jahat mukulin mamah". Hati wanita yang tidak meleleh dengar kalimat tsb, terlebih aku sedang mengandung usia 4 minggu, anak pertama. Suamiku mengalihkan perhatian dengan menyetel musik secara kencang dan menutup jendela rapat-rapat. Namun, semakin lama nampaknya tidak ada perubahan. Sedang tetangga depan tidak nampak ada kegaduhan, ngakunya sendiri saat sekedar ngobrol iseng. Tapi, ditengah malam ada wanita datang, aku tidak melihat wanita itu, tapi sandal wanita itu ada di depan pintu. Hanya bertahan seminggu setelah mudik lebaran dan kedatangan tetangga kos baru, kami mengalah dan memilih pindah kos yang baru.
"Apapun, sebaiknya kita tidak ikut campur urusan mereka, kendati berniat baik melerai. Mereka orang sini, Betawi asli, takutnya wajah kita yang sudah dikenali bisa ikut tidak aman. Biarin aja, yang penting kita tidak mengganggu. Lihat saja tawuran yang hampir tiap Minggu terjadi" saran suami sebelum memutuskan pindah.
Kemudian, tempat yang baru dirasa cukup nyaman. Minimal lebih longgar meski sama di lantai 3. Tak lama berselang ada teriak dan tangis. Suara gaduh dari tubuh yang membanting lantai dan barang yang menggelinding. Ah, entah apa lagi. Aku sendiri, sementara suami sedang kerja. Tidak sekali saja, suara gedebag-gedebug sering terdengar dari balik pintu kamarnya. Ada suara, " Bodo" dari wanita secara berulang-ulang. Ada rengekan yang disusul sesenggukan.
Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Ibu hamil disarankan untuk tidak stress. "Assalamualayku......m", 3 kali sudah aku menguluk salam. Kemudian aku sebut nama penghuni kontrakan, baru lah dibukakan pintu. "Mba, suara wanita tidak boleh lebih keras dari lelaki, tolong saya sedang mengandung jadi ikut stress" sambil mengelus-elus perut. "iya mba" jawabnya singkat.
Sejak berstatus istri aku tidak lebih dari orang rumahan. Yang keluar rumah mencari makan terus kembali lagi. Setiap rumah tangga punya tangisnya masing-masing, aku pahami itu. Semestinya bisa menjaga hanya berdua saja yang tahu, tanpa ada orang yang tahu terlebih mengganggu tetangga. Entah yang keberapa kali tetangga yang mengomentari kegiatanku yang tak bepergian jauh, menghabiskan waktu di kamar. Biarlah, konon sunnahnya wanita berada di rumah. Lagi pula tidak jauh kegiatan di luar rumah adalah nongkrong bareng ibu-ibu di pinggir jalan.
emarin malam, kegaduhan itu datang lagi. Suara obrolan anak muda kekinian dan betawi nyablaknya. Ada ketawa-ketiwi tanpa dosa di tengah malam. Tetangga baru belum ada sebulan. Dari awal penampilan wanita muda itu terlalu seksi. Celana kurang bahan dan kaos tanpa lengan. Sebelum shubuh berkumandang baru tiba, kemudian sarapan di depan pintu sambil meniupkan asap rokok. Astaghfirullahal adziiim, aku membatin. Cobaan apa lagi, waktu itu anakku tertidur lelap. Sayangnya kemarin malam, anakku rewel, sering terbangun dan menangis. Ya, anakku sensitif mendengar suara gaduh jika tidur. Dengan kekuatan dan kesabaran emak-emak yang memuncak aku menegurnya. Kebetulan pintunya masih terbuka lebar, ada 3 wanita sedang merawat wajah berbusana minim disana, "Mba, tolong sih suaranya dikecilin, ada anak kecil". Setelah itu, pintu mereka ditutup dan tak terdengar lagi suara.
Beda lagi dengan ibu gembul berambut keriting yang tinggalnya di depan rumah. Hampir tiap keluar kontrakan sedang mengoceh. Seperti warta berita siaran langsung, tiap kali mengumpat. Berkata kotor tanpa arah. Hehe maklum, dia orang stress karena ditinggal suami selingkuh saat hamil. Kebencian terhadap suami dan selingkuhannya sering terucap tanpa kendali. Begitu juga bapa paruh baya berkepala plontos dan bercelana kolor, kaos oblong berteriak ala rock tiap pagi, siang dan sore. Wajar mereka tidak waras. Setiap hari aku berjumpa dengan mereka, tetapi tidak mengganggu.
Mungkin ini yang disebut selemah-lemahnya iman. Ketika melihat sebuah kemungkaran jika tidak menegurnya, paling tidak mendoakan untuk kebaikannya. Sudah hampir 4 bulan disini, semua warga kontrakan muslim, namun sayang tak kujumpai mereka menjemur mukena, sarung dan sajadah selama itu. Sebagai tetangga, kami berusaha untuk berbuat baik, menyapa seadanya dan tidak mengganggu. Tidak menggeser jemuran seenaknya, dan tidak menggunakan fasilitas umum untuk keperluan pribadi. Astaghfirullahal adziim, kami pun tak luput dari dosa. Sungguh, kami berdoa untuk dipupuk sabar dan dilindungi dari tetangga yang dzalim.
Satu-satunya alasan bertahan adalah kebersamaan kami seatap, ada aku, suami dan Mika buah hati. Lebih dari doa yang tercurah untuk menjaga kebersamaan kami. Semoga semakin cepat Allah memperkenankan kami bisa membangun rumah sendiri di kampung halaman, tanah kelahiran. Tempat kembali penuh kedamaian dan cinta kasih. Mengisi hari tua dekat dengan mbah kakung dan mbah putri anak-anak.
No comments:
Post a Comment