Saturday 18 April 2015

Menghamba di Tanah Haram (umrah part IV)


                                                            Menghamba di Tanah Haram
*Proses menghamba

            Iman yang mengantarkan kita pada satu keyakinan bahwa segala yang tercipta di muka bumi  adalah atas kehendak Allah SWT. Dan jika Allah berkehendak, tidak ada yang dapat kita mencegahnya. Sedangkan amal sholeh akan mengantarkan kita pada sikap diri yang selalu berorientasi kepada perilaku terpuji dan moralitas terbaik dalam menyikapi berbagai dinamika kehidupan. Iman akan menjadikan kita semakin yakin akan kekuasaan Allah dan pada saat yang bersamaan kita mengakui kelemahan dan keidakberdayaan untuk selanjutnya kita tumbuhkan sikap tawakkal. Pada saat yang bersamaan, amal shaleh akan menjadikan kita sebagai pribadi yang selalu berpikir positif dan berperilaku positif,  sehingga tiada sedetikpun waktu yang terbuang kecuali diisi dengan halhal positif. Iman dan sholeh inilah yang sejatinya mampu mengantarkan kita sebagai makhluk yang mampu mengubah percakapan ketakutan menjadi motivasi.

Suasana keberangkatan Cengkareng - Kuala Lumpur

capture dari jendela pesawat
            Tidak dipungkiri ketika sudah niat hingga menjelang keberangkatan menuju Tanah Haram masih hantui ketakutan adanya balasan atau lebih kerasnya aku katakan siksa dunia yang cepat ketika ada lontaran ungkapan baik atau buruk di tanah Suci. Ketakutan saat menaiki pesawat, mengingat yang belum lama ini terjadi musibah jatuh Pangkalan Bun dll. Jasad-jasad mereka ditemukan dalam keadaan yang tidak untuk dan dalam keadaan membusuk, itu sangat mengerikan. Sesungguhnya ketakutan itu cara diri yang dubutuhkan agar senantiasa muncul kesadaran dalam menjaga diri dari kemungkinan keburukan. Namun akan sangat bahaya jika terus menerus ketakutan itu tumbuh. Kita kan dikurung ketakutan, padahal banyak hal positif yang kita lakukan. Dan pada akhirnya kita hanyalah makhluk kerdil; terkalahkan oleh ketakutan. 
           
            Lalu mengapa harus takut? Kematian itu pasti adanya dan tidak bisa ditolak kedatangannya. Maka kita perlu menyiapkan diri untuk senantiasa berada dalam kebaikan moral agar kapanpun menjemput, kita dalam keadaan iman yang penuh dan amal yang sholeh. Sering kita mendengar dengan kata memantaskan diri. Nah, maksud yang tertera adalah menyelimuti diri dengan iman dan amal yang sholeh. Disinilah seharusnya kematian disikapi dengan peningkatan kualitas ibadah dan amal shaleh, bukan untuk dipikirkan yang tak kunjung usai. Hal ini akan merusak tubuh dan menghambat kita dalam mencipta kebaikan hidup. Selanjutnya kita serahkan kepada Allah. Gabungan antara usaha dan kepasrahan saling berkaitan. Tiada kepasrahan tanpa usaha, dan usaha potensial menjadi sia-sia jika tidak disertai kepasrahan.

            Ketakutan yang tidak disikapi dengan iman dan amal sholeh sangat potensial melahirkan stress yang menghambat langkah kita menuju kesempurnaan kehambaan yang sudah dijanjikan surga bagi yang sukses meraihnya.Seperti halnya virus yang menyerang tubuh, sesungguhnya sangat dibutuhkan dalam proses pembentukan imunitas. Begitu pulalah, ketakutan adalah mekanisme kehidupan yang akan menguatkan imunitas jiwa sehingga kita tumbuh menjadi sosok yang inovatif.
           
            Inilah salah satu diantara pelajaran ibadah umrah yang akan menjadikan ketenangan dan kebahagiaan hidup, yaitu mengubah percakapan ketakutan menjadi motivasi. Tentu, butuh waktu dan pembelajaran untuk merelisasikannya. Kita hanya perlu belajar bertahap demi tahap mengolah sesuai kemampuan.

*Ketika menghamba

            Nikmat mana lagi yang aku dustakan, secuil dari limpahan rahmat yang telah dikaruniakan Allah. Tidak ada tujuan lain selain ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah.  Saat talbiyah itu dilafadzkan berulang-ulang “ Labbaikallohumma labbaik, labbaikallohu labbaik”, bergetar jiwa ini, air mata ini sangat murah meluruh, mengisak sendiri. Kerinduan yang selama ini dinanti-nanti kini terobati. Namun kini rindu kembali, merintih harap akan kembali. Memenuhi panggilannya, lalu sanggup mengelilingi kubus hitam yang terlihat sederhana tapi begitu agung dan kharismatik. Sebanyak tujuh putaran memutarinya. Ini merupakan rukun dari ibadah umrah tersebut. Berputar akan membentuk sudut 360 derajat. Dan seluruh alam ini pun ikut berputar membentuk 360 derajat. Bumi dan bukan mengitari matahari selama satu tahun. Demikian juga halnya planet-planet lain di angkasa.

dibalik hijir Ismail usai thawaf wada
            Ketika memasuki dalam dan aku ikut berthawaf, maka kita akan merasakan sesak dan sedikit tersendat melakukan thawaf. Menyapa dengan “Bismillahi Allahu akbar”sambil mengangkat tangan kanan (isti'lam) dan mengecup telapak itu. Dimulai dari garis coklat tanda batas putaran thawaf yang letaknya searah hajar aswad atau melihat lampu hijau yang ada di atas .Namun meski sulit dan berdesakan bahkan tersikut, kita tidak akan membalas sikutan atau menyakiti orang, bahkan kita tetap konsentrasi mengelilingi ka'bah hingga usai. Menerus mengumandangkan doa ditiap sisi, merayu, menyanjung dan merengek pinta dihadapan pemilik kebesaran Nya.

            Sekelompok jamaah umrah lain datang berpegangan erat satu dengan lain menerjang kelompok kami yang tidak saling bergandengan erat  Aku mulai terpisah dengan rombongan yang lain sejak putaran ke-3, sebab sejak menapaki mataf (sepanjang jalan menuju tempat thowaf) seorang ibu berusia 72 tahun memintaku untuk menuntunnya..  Untunglah ada sepasang suami istri ibu Muslimah dan Bapak Ismail yang lekat bergandengan didepan kami dan setia menunggu kami. Meski perlahan jalan meniti lingkaran ka'bah hingga berakhir. Usai thawaf, kami menuju belakang hijir Ismail kemudian menunaikan sholat sunnah. Alhamdulillah kami bertemu rombongan kembali, namun mereka sudah akan berjalan menuju Sai. Dua lelaki yang masih bertetangga itu rupanya mau menemani kami yaitu Kang Imin dan Pak Andi. 
aku dan ibu Mastuah usai tahallul disamping bukit Marwa

            Menuju tempat Sai, kami membaca “innashofa walmarwata min sya'aairillah ...” berjalan bolak balik dari bukit Safa ke bukit Marwa sebanyak 7 kali yang mana setiap satu arah dihitung satu kali. Ibadah sa'i mengenang atau napak tilas perjuangan ibu Hajar, istri nabi Ibrahim mencari air untuk menghidupi putranya, Ismail. Sebelum akhirnya Allah menganugerahi ibu Hajar sumur zam-zam.

            Safa dan Marwa berada tepat di sisi timur Masjidil Haram dan sudah berada di luar area masjid. Tepatnya bukit Safa berlokasi 130 meter sebelah timur laut ka'bah, sedangkan bukit marwah berjarak kurang lebih 300 meter sebelah timur ka'bah. Panjang lintasan antara Safa dan Marwa kurang 450 meter, jadi  panjang total kurang lebih 3.15 km dengan kondisi menanjak ketika menaiki bukit Safa dan Marwah. Mendekati bukit Safa terdapat gundukan tinggi batu setinggi sekitar 3 meter, yang sudah dilapisi marmer. Sisa baru cadas asli masih dibiarkan untuk menandai bahwa benar disini pernah ada bukit Safa, bukan rekayasa manusia. Di sepanjang lintasan Safa Marwa terdapat ada dua lampu. Ketika kita mencapai lampu hijau pertama kita disunnahkan berlari kecil hingga lampu berikutnya. Setelah itu boleh berjalan kembali.

            Setiap sisi Safa Marwah terdapat kran-kran air zam-zam yang siap membantu jamaah menyiram tenggorokan yang kering. Gelas plastik putih sudah disediakan yang dijaga oleh petugas kebersihan. Nah, disinilah letak perjuangan ibu tua ini melangkah semakin terseok—seok. Aku berusaha keras menyemanangatinya. Sempat beliau menawar pada lintasan yang kedua untuk membiarkan istirahat sendiri, sementara beliau berdzikir dan bertilawah. Kujelaskan kembali salah satu rukun umrah itu Sai dan harus melintasinya 7 kali tanpa bisa ditawar. Beberapa menit kami singgah di air zam-zam sambil terus mengulum doa dan melangitkan semangat. Genggamannya semakin erat dan getaranya semakin terasa bertumpu pada lenganku yang kecil,  terlebih ketika menaiki di kedua bukit itu.

            Kaki  beliau semakin susah diajak melangkah. Ibu berbadan tambun itu mengalami kaki kram. Beruntung dijalur cepat yang dilintasi banyak pengguna kursi roda, kami  bertemu pak Abdul Hakim selaku muthawwif yang mahir berbahasa Arab sedang mendorong ibunya. Dengan bantuannya beliau mampu menawar sewa kursi roda yang tadinya 80 riyal menjadi 50 riyal dengan didorong sendiri.
                       
            Setelah selesai Sai kami melakukan tahalul di bukit Marwah dekat dengan Qureish Gate. Syarat tahallul akan syah jika dipotong oleh jamaah lain yang sudah tahallul sebelumnya. Tak satupun dari kami yang membawa gunting, Kami meminta tolong jamaah Arab yang kebetulan
melakukan hal yang seperti kami. Ujung rambut yang aku kuncir dipotongnya dari balik bergo. Dan gugurlah semua larangan-larangan selama ihram.
                       
*Pasca menghamba malah semakin menghamba

            Sepulang dari umrah ada kepuasan tersendiri, aku memang gemar bepergian. Tapi kepergian kali ini banyak menoreh goresan yang telah membangunkan hatiku yang tertidur, kepala batuku yang sedikit melunak dan menghangat jiwaku yang dingin. Hati rasa lebih tenang, rasa capek yang lantaran bepergian, tidak sebanding dengan kesenangan yang diperoleh  setelah pulang umrah. Tidak ada kata yang lebih pantas diucap selain “Alhamdulillah” Ketenangan disini adalah sebuah perasaan kegembiraan yang luar biasa menumpahkan rindu bertemu dengan Kekasih.

            Sisa flu ,batuk dan bibir pecah-pecah hasil penyesuaian cuaca yang dibarengi aktifitas yang padat sedikit menyiksa namun terasa nikmat. Demam yang dirasa usai umrah badal tidak mengurangi semangat untuk melanjutkan ibadah. Yakinku demam itu membantuku melunturkan dosa, sebagaiman dalam hadits dijelaskan “Jangan engkau mengecam penyakit demam. Karena penyakit itu menghapus dosa-dosa manusia seperti proses pembakaran menghilangkan noda pada besi” (HR Muslim) Hampir 3 tahun aku tidak mengalami flu hebat usai vaksin influensa.  Inilah kiranya ujian dalam beribadah. Namun semangatku mengalahkan rasa sakit itu hingga kembali ke tanah air.
                                               
            Harga 17.5 juta sebagai biaya tak bisa menyeimbangi kebahagiaan yang tak terkira. Transit di Kuala Lumpur saat berangkat dan pulang transit di Abu Dhabi menjadi pengalaman baru menginjakkan kaki di negeri orang. Kebersamaan yang indah saat bergerombol berjalan kaki dari hotel ke masjidil Haram, kami menyusuri ruang demi ruang diantara ratusan pilar untuk mendapatkan shaf. Kami lalui dengan suka cita ketika mengejar hotel hanya untuk mendapatkan toilet. Menyusuri pertokoan dan hilir mudik jamaah yang beraneka ragam dengan cerita yang berbeda-beda disetiap perjalanan. 
Suasana menuju masjid dari hotel
           
            Tidak bau apapun kecuali wangi khas masjidil Haram yang masih terasa harumnya.  Semakin aku cium semakin menambah kerinduan. Lalu kebiasan bibir ini yang selalu dihiasi dzikir terus melantun memuji dan meminta untuk datang kembali menjadi tamuNya. Sebagaiman dalam Al Qur an: “ Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan berdzikir (mengingat) Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram (QS. Ar Ra'du:28)
           
           
pose di halaman Masjidil Haram
            Terus memperbaiki diri dari dan terus mengingatkan diri untuk tidak malas beribadah, tidak pelit dalam beramal sholeh dan selalu berusaha lapang dalam setiap urusan, serta membiasakn diri untuk berkhusnudzan, bersabar dalam menghadapi perkara. Apa yang dilakukan saat umrah sebagai warning agar aku selalu setia di jalanNya. Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dengan menuntun kami dengan hati yang istiqomah iman, Islam dan Taqwa. Aaamiin

            Setiap perjalanan membuka mata mata hati. Gambaran disetiap adegan semua hal yang bergerak mengetuk hati, jiwa dan pikiran untuk menjadi pribadi yang bijak. Menyikapi perbedaan dengan indah. Sebuah perjalan adalah guru yang tak berbicara dan sanggup melahirkan buku dengan tulisan yang tak berkesudahan.






1 comment:

Zidny Travel said...

Subhanallah, terimakasih atas tulisan pengalamannya yang begitu berharga