Menghamba di Tanah Haram
*Proses menghamba
Iman yang
mengantarkan kita pada satu keyakinan bahwa segala yang tercipta di muka
bumi adalah atas kehendak Allah SWT. Dan
jika Allah berkehendak, tidak ada yang dapat kita mencegahnya. Sedangkan amal
sholeh akan mengantarkan kita pada sikap diri yang selalu berorientasi kepada
perilaku terpuji dan moralitas terbaik dalam menyikapi berbagai dinamika
kehidupan. Iman akan menjadikan kita semakin yakin akan kekuasaan Allah dan
pada saat yang bersamaan kita mengakui kelemahan dan keidakberdayaan untuk
selanjutnya kita tumbuhkan sikap tawakkal. Pada saat yang bersamaan, amal
shaleh akan menjadikan kita sebagai pribadi yang selalu berpikir positif dan
berperilaku positif, sehingga tiada
sedetikpun waktu yang terbuang kecuali diisi dengan halhal positif. Iman dan
sholeh inilah yang sejatinya mampu mengantarkan kita sebagai makhluk yang mampu
mengubah percakapan ketakutan menjadi motivasi.
Suasana keberangkatan Cengkareng - Kuala Lumpur |
capture dari jendela pesawat |
Tidak dipungkiri
ketika sudah niat hingga menjelang keberangkatan menuju Tanah Haram masih
hantui ketakutan adanya balasan atau lebih kerasnya aku katakan siksa dunia
yang cepat ketika ada lontaran ungkapan baik atau buruk di tanah Suci.
Ketakutan saat menaiki pesawat, mengingat yang belum lama ini terjadi musibah
jatuh Pangkalan Bun dll. Jasad-jasad mereka ditemukan dalam keadaan yang tidak
untuk dan dalam keadaan membusuk, itu sangat mengerikan. Sesungguhnya ketakutan
itu cara diri yang dubutuhkan agar senantiasa muncul kesadaran dalam menjaga
diri dari kemungkinan keburukan. Namun akan sangat bahaya jika terus menerus
ketakutan itu tumbuh. Kita kan dikurung ketakutan, padahal banyak hal positif
yang kita lakukan. Dan pada akhirnya kita hanyalah makhluk kerdil; terkalahkan
oleh ketakutan.
Lalu mengapa harus
takut? Kematian itu pasti adanya dan tidak bisa ditolak kedatangannya. Maka
kita perlu menyiapkan diri untuk senantiasa berada dalam kebaikan moral agar
kapanpun menjemput, kita dalam keadaan iman yang penuh dan amal yang sholeh.
Sering kita mendengar dengan kata memantaskan diri. Nah, maksud yang tertera
adalah menyelimuti diri dengan iman dan amal yang sholeh. Disinilah seharusnya
kematian disikapi dengan peningkatan kualitas ibadah dan amal shaleh, bukan
untuk dipikirkan yang tak kunjung usai. Hal ini akan merusak tubuh dan
menghambat kita dalam mencipta kebaikan hidup. Selanjutnya kita serahkan kepada
Allah. Gabungan antara usaha dan kepasrahan saling berkaitan. Tiada kepasrahan
tanpa usaha, dan usaha potensial menjadi sia-sia jika tidak disertai
kepasrahan.
Ketakutan yang
tidak disikapi dengan iman dan amal sholeh sangat potensial melahirkan stress
yang menghambat langkah kita menuju kesempurnaan kehambaan yang sudah
dijanjikan surga bagi yang sukses meraihnya.Seperti halnya virus yang menyerang
tubuh, sesungguhnya sangat dibutuhkan dalam proses pembentukan imunitas. Begitu
pulalah, ketakutan adalah mekanisme kehidupan yang akan menguatkan imunitas
jiwa sehingga kita tumbuh menjadi sosok yang inovatif.
Inilah salah satu
diantara pelajaran ibadah umrah yang akan menjadikan ketenangan dan kebahagiaan
hidup, yaitu mengubah percakapan ketakutan menjadi motivasi. Tentu, butuh waktu
dan pembelajaran untuk merelisasikannya. Kita hanya perlu belajar bertahap demi
tahap mengolah sesuai kemampuan.
*Ketika menghamba
Nikmat mana lagi
yang aku dustakan, secuil dari limpahan rahmat yang telah dikaruniakan Allah.
Tidak ada tujuan lain selain ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah. Saat talbiyah itu dilafadzkan berulang-ulang
“ Labbaikallohumma labbaik, labbaikallohu labbaik”, bergetar jiwa ini, air mata
ini sangat murah meluruh, mengisak sendiri. Kerinduan yang selama ini
dinanti-nanti kini terobati. Namun kini rindu kembali, merintih harap akan
kembali. Memenuhi panggilannya, lalu sanggup mengelilingi kubus hitam yang terlihat
sederhana tapi begitu agung dan kharismatik. Sebanyak tujuh putaran
memutarinya. Ini merupakan rukun dari ibadah umrah tersebut. Berputar akan
membentuk sudut 360 derajat. Dan seluruh alam ini pun ikut berputar membentuk
360 derajat. Bumi dan bukan mengitari matahari selama satu tahun. Demikian juga
halnya planet-planet lain di angkasa.
dibalik hijir Ismail usai thawaf wada |
Ketika memasuki
dalam dan aku ikut berthawaf, maka kita akan merasakan sesak dan sedikit
tersendat melakukan thawaf. Menyapa dengan “Bismillahi Allahu akbar”sambil mengangkat
tangan kanan (isti'lam) dan mengecup telapak itu. Dimulai dari garis coklat
tanda batas putaran thawaf yang letaknya searah hajar aswad atau melihat lampu
hijau yang ada di atas .Namun meski sulit dan berdesakan bahkan tersikut, kita
tidak akan membalas sikutan atau menyakiti orang, bahkan kita tetap konsentrasi
mengelilingi ka'bah hingga usai. Menerus mengumandangkan doa ditiap sisi,
merayu, menyanjung dan merengek pinta dihadapan pemilik kebesaran Nya.
Sekelompok jamaah
umrah lain datang berpegangan erat satu dengan lain menerjang kelompok kami
yang tidak saling bergandengan erat Aku
mulai terpisah dengan rombongan yang lain sejak putaran ke-3, sebab sejak
menapaki mataf (sepanjang jalan menuju tempat thowaf) seorang ibu berusia 72
tahun memintaku untuk menuntunnya..
Untunglah ada sepasang suami istri ibu Muslimah dan Bapak Ismail yang
lekat bergandengan didepan kami dan setia menunggu kami. Meski perlahan jalan
meniti lingkaran ka'bah hingga berakhir. Usai thawaf, kami menuju belakang
hijir Ismail kemudian menunaikan sholat sunnah. Alhamdulillah kami bertemu
rombongan kembali, namun mereka sudah akan berjalan menuju Sai. Dua lelaki yang
masih bertetangga itu rupanya mau menemani kami yaitu Kang Imin dan Pak Andi.
aku dan ibu Mastuah usai tahallul disamping bukit Marwa |
Menuju tempat Sai,
kami membaca “innashofa walmarwata min sya'aairillah ...” berjalan bolak balik
dari bukit Safa ke bukit Marwa sebanyak 7 kali yang mana setiap satu arah
dihitung satu kali. Ibadah sa'i mengenang atau napak tilas perjuangan ibu
Hajar, istri nabi Ibrahim mencari air untuk menghidupi putranya, Ismail.
Sebelum akhirnya Allah menganugerahi ibu Hajar sumur zam-zam.
Safa dan Marwa
berada tepat di sisi timur Masjidil Haram dan sudah berada di luar area masjid.
Tepatnya bukit Safa berlokasi 130 meter sebelah timur laut ka'bah, sedangkan
bukit marwah berjarak kurang lebih 300 meter sebelah timur ka'bah. Panjang
lintasan antara Safa dan Marwa kurang 450 meter, jadi panjang total kurang lebih 3.15 km dengan
kondisi menanjak ketika menaiki bukit Safa dan Marwah. Mendekati bukit Safa
terdapat gundukan tinggi batu setinggi sekitar 3 meter, yang sudah dilapisi
marmer. Sisa baru cadas asli masih dibiarkan untuk menandai bahwa benar disini
pernah ada bukit Safa, bukan rekayasa manusia. Di sepanjang lintasan Safa Marwa
terdapat ada dua lampu. Ketika kita mencapai lampu hijau pertama kita
disunnahkan berlari kecil hingga lampu berikutnya. Setelah itu boleh berjalan
kembali.
Setiap sisi Safa
Marwah terdapat kran-kran air zam-zam yang siap membantu jamaah menyiram
tenggorokan yang kering. Gelas plastik putih sudah disediakan yang dijaga oleh
petugas kebersihan. Nah, disinilah letak perjuangan ibu tua ini melangkah
semakin terseok—seok. Aku berusaha keras menyemanangatinya. Sempat beliau
menawar pada lintasan yang kedua untuk membiarkan istirahat sendiri, sementara
beliau berdzikir dan bertilawah. Kujelaskan kembali salah satu rukun umrah itu
Sai dan harus melintasinya 7 kali tanpa bisa ditawar. Beberapa menit kami
singgah di air zam-zam sambil terus mengulum doa dan melangitkan semangat.
Genggamannya semakin erat dan getaranya semakin terasa bertumpu pada lenganku
yang kecil, terlebih ketika menaiki di
kedua bukit itu.
Kaki beliau semakin susah diajak melangkah. Ibu
berbadan tambun itu mengalami kaki kram. Beruntung dijalur cepat yang dilintasi
banyak pengguna kursi roda, kami bertemu
pak Abdul Hakim selaku muthawwif yang mahir berbahasa Arab sedang mendorong
ibunya. Dengan bantuannya beliau mampu menawar sewa kursi roda yang tadinya 80
riyal menjadi 50 riyal dengan didorong sendiri.
Setelah selesai Sai
kami melakukan tahalul di bukit Marwah dekat dengan Qureish Gate. Syarat
tahallul akan syah jika dipotong oleh jamaah lain yang sudah tahallul
sebelumnya. Tak satupun dari kami yang membawa gunting, Kami meminta tolong
jamaah Arab yang kebetulan
melakukan hal yang seperti kami. Ujung rambut yang aku kuncir
dipotongnya dari balik bergo. Dan gugurlah semua larangan-larangan selama
ihram.
*Pasca menghamba malah
semakin menghamba
Sepulang dari umrah
ada kepuasan tersendiri, aku memang gemar bepergian. Tapi kepergian kali ini
banyak menoreh goresan yang telah membangunkan hatiku yang tertidur, kepala
batuku yang sedikit melunak dan menghangat jiwaku yang dingin. Hati rasa lebih
tenang, rasa capek yang lantaran bepergian, tidak sebanding dengan kesenangan
yang diperoleh setelah pulang umrah.
Tidak ada kata yang lebih pantas diucap selain “Alhamdulillah” Ketenangan
disini adalah sebuah perasaan kegembiraan yang luar biasa menumpahkan rindu
bertemu dengan Kekasih.
Sisa flu ,batuk dan
bibir pecah-pecah hasil penyesuaian cuaca yang dibarengi aktifitas yang padat
sedikit menyiksa namun terasa nikmat. Demam yang dirasa usai umrah badal tidak
mengurangi semangat untuk melanjutkan ibadah. Yakinku demam itu membantuku
melunturkan dosa, sebagaiman dalam hadits dijelaskan “Jangan engkau mengecam
penyakit demam. Karena penyakit itu menghapus dosa-dosa manusia seperti proses
pembakaran menghilangkan noda pada besi” (HR Muslim) Hampir 3 tahun aku tidak
mengalami flu hebat usai vaksin influensa.
Inilah kiranya ujian dalam beribadah. Namun semangatku mengalahkan rasa
sakit itu hingga kembali ke tanah air.
Harga 17.5 juta
sebagai biaya tak bisa menyeimbangi kebahagiaan yang tak terkira. Transit di
Kuala Lumpur saat berangkat dan pulang transit di Abu Dhabi menjadi pengalaman
baru menginjakkan kaki di negeri orang. Kebersamaan yang indah saat bergerombol
berjalan kaki dari hotel ke masjidil Haram, kami menyusuri ruang demi ruang
diantara ratusan pilar untuk mendapatkan shaf. Kami lalui dengan suka cita
ketika mengejar hotel hanya untuk mendapatkan toilet. Menyusuri pertokoan dan
hilir mudik jamaah yang beraneka ragam dengan cerita yang berbeda-beda disetiap
perjalanan.
Suasana menuju masjid dari hotel |
Tidak bau apapun
kecuali wangi khas masjidil Haram yang masih terasa harumnya. Semakin aku cium semakin menambah kerinduan.
Lalu kebiasan bibir ini yang selalu dihiasi dzikir terus melantun memuji dan
meminta untuk datang kembali menjadi tamuNya. Sebagaiman dalam Al Qur an: “
Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan berdzikir (mengingat)
Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram (QS. Ar
Ra'du:28)
Terus memperbaiki
diri dari dan terus mengingatkan diri untuk tidak malas beribadah, tidak pelit
dalam beramal sholeh dan selalu berusaha lapang dalam setiap urusan, serta membiasakn
diri untuk berkhusnudzan, bersabar dalam menghadapi perkara. Apa yang dilakukan
saat umrah sebagai warning agar aku selalu setia di jalanNya. Semoga Allah
senantiasa mencurahkan rahmat dengan menuntun kami dengan hati yang istiqomah
iman, Islam dan Taqwa. Aaamiin
Setiap perjalanan
membuka mata mata hati. Gambaran disetiap adegan semua hal yang bergerak
mengetuk hati, jiwa dan pikiran untuk menjadi pribadi yang bijak. Menyikapi
perbedaan dengan indah. Sebuah perjalan adalah guru yang tak berbicara dan
sanggup melahirkan buku dengan tulisan yang tak berkesudahan.
1 comment:
Subhanallah, terimakasih atas tulisan pengalamannya yang begitu berharga
Post a Comment