Saturday 18 April 2015

Nabawi Sendiri (umrah part VI)



                                                            Nabawi Sendiri

            Usai menikmati makan siang di hotel Wassel Golden, aku manaiki lift ke lantai 8 menuju kamarku. Kurebahkan punggung diatas kasur berselimut warna coklat, sambil memejamkan mata. Tak lama dering telepon berbunyi. Kutengok nomornya, ya, nomor seorang pengelola travel yang sekarang aku naungi. Aku pikir dia akan menanyakan ibunya, sebab dalam rombongan ada ibu kandung yang ikut serta. Dia menanyakan kabarku, padahal sejak 5 hari keberadaanku di Tanah Susi tak ada seorang keluargaku pun yang menelpon, begitu pula pesan SMS. Kalau bukan aku yang mengirim SMS dahulu Kuceritakan peristiwa ini setelah sampai di rumah, ternyata mereka khawatir jika menelponku akan mengganggu kekhusyuan ibadah. 

saya bersama teman-teman saat pertama menapaki Nabawi
           
            Ini debut kepergian terjauhku selama ini. Soal selama ini aku sering bepergian tanpa pamit, ihwal biasa. Sejak melepas seragam abu-abu aku sudah merantau sendiri, tentu masih dalam negeri. Namun, berbeda dengan kepergian kali ini, sebuah perjalanan suci dari niatan kecil yang memakan perjuangan besar. Perlahan aku mengumpulkan uang gajian selama setahun, aku menahan diri dari godaan belanja, jalan-jalan, membeli baju dll. Ah, ini mungkin hal kecil, berbeda bagi seorang wanita apalagi masih sendiri yang berpenghasilan terkadang itu sesuatu yang tak gampang.

Suasana di depan hotel yang saya tempati

            Tetiba rasa rindu dan cemburu merangkul erat jiwaku. Aku seorang diri ke Tanah Suci dengan tak seorangpun saudara dekat. Wajah-wajah mereka baru aku jumpai di bandara. Kesempatan mengikuti manasik saat itu tak aku ikuti, sebab aku pulang kampung untuk berpamitan dengan orangtuaku. Ibu-ibu paruh baya bahkan ada banyak usia nenek-nenek yang meminta bantuanku untuk mengatur ulang telepon genggamnya, agar bisa disesuaikan dengan satelit di Tanah Haram. Keluarga mereka mengkhawatirkan keadaan mereka. Sementara aku? Menderas air mata membulir dipipi. 

            Sebelum pintu-pintu masjid Nabawi ditutup menjelang adzan Asar, aku membangun diri untuk tetap kuat meski sendiri. Kusapu raut mukaku dengan air wudhu agar lebih tenang.  Tidak berbeda dengan Masjidil Haram satu jam sebelum adzan berkumandang jamaah sudah memenuhi ruang sudut-sudut masjid. Wal hasil jika telat pintu-pintu akan dijaga ketat oleh polisi berabaya dan bercadar hitam. Lantas, jika sudah tak menampung jamaah lagi, aku memasrahkan diri untuk berjamaah dihalaman masjid yang berpayung-payung putih raksasa itu.


di halaman masjid Nabawi

            Sepanjang hotel menuju Nabawi aku sendiri melangkahkan kaki. Tak seorang teman aku hampiri untuk sekedar menemani. Berkerudung mukena, gamis dan berkaos kaki sudah syah menutup aurat untuk melaksanakan sholat. Sudah menjadi ciri khas orang Indonesia yang sangat mudah dikenali ketika menuju masjid terbalut mukena putih. Aku masih meneteskan air mata sepanjang 100 meter, hotel menuju masjid Nabawi. Tak aku hiraukan penjual yang menggelar daganganya. di tepi-tepi jalan banyak.
                                   
            Ketika memasuki gerbang 7 masjid, aku banyak menjumpai jamaah umrah asal India yang terlihat duduk dihalaman, satu kakinya dilipat dan satu kaki yang lain dilingkari lengan sambil memilin kalung dengan alunan dzikir. Mereka berpakaian lusuh dengan kain sari yang panjang. Penutup kepala seperti pasmina tapi lebih lebar lagi, warnanya senada dengan celana dan baju. Sayangnya mereka berkerudung tanpa dikaitkan peniti. Kebanyakan dari mereka hanya menyelempangkan menyilang kearah sebaliknya. Menurut cerita ibu Diah, selaku muthowwif (pemandu), beliau menceritakan banyak warga India yang tidak mempunyai hotel. Mereka menginap diemperan masjid dengan bekal seadanya. Mereka beribadah tidak banyak dibantu kemudahan oleh negaranya. Ketika pulang dari sholat, mereka mengantri mengambil air zam-zam dalam galon 5 liter. Lalu mereka menyungginya di atas kepala sampai ke tempat berkumpul.

            Nikmat mana lagi yang aku dustakan, padahal aku lebih beruntung dari mereka. Aku bisa tidur dikasur yang empuk dengan ruangan berpendingin, makan dengan menu yang enak dari katering. Kembali bibir ini mewek melihat pemandangan yang berhasil menyita perhatianku. Sambil aku terus menapakkan kaki hingga pintu masjid. Setibanya disana, sengaja kupilih shaf yang ada dibelakang berkarpet merah. Ku ambil Al qur'an diatas rak yang berada dekat dengan pilar-pilar masjid.

            Seorang ibu berkulit hitam legam berjubah hitam sedang menyusui buah hatinya mengusik rasa ingin tahu ku. Ibu tiga anak yang datang ke Madinah bersama orang tuanya. Mereka berasal dari Sudan,  negara miskin yang terletak di timur laut Afrika sanggup menunaikan ibadah. Tetiba dua anak laki-lakinya mendekat meminta minum dan mereka saling berebut. Ah, anak kecil dari satu tegukan air itu tumpah membasahi karpet. Tak sampai disitu mereka berlarian keluar mulut pintu. Tinggallah aku dan gadis kecil yang belum genap setahun bersamaku. Aku menjaganya sampai ibu itu kembali membawa kedua buah hatinya.

            Hal yang aku patut syukuri yaitu sendiri tak selalu merepotkan orang lain. Melihat ibu mengurus ketiga buah hatinya dengan payah mengingatkanku akan pentingnya lagi-lagi bersyukur. Ibu itu memang tak pernah kesepian, selalu dikelilingi celotehan anak-anak yang lucu. Mengurus mereka menyita banyak perhatian dan menguras kesabaran ekstra. Terlebih dari fisik putra sulungnya mengidap sindrom down dan diusia yang lebih dari 3 tahun keterlambatan bicara. Tak lama, ibu beserta keluarga yang lain berkumpul dalam satu shof., meraka bahu-membahu mengurus tiga bocah dengan kelakuan kekanakkannya. Aku seperti tertampar keras oleh keadaan yang ditunjukan Allah tanpa skenario yang aku ketahui sebelumnya. Aku kembali meleleh, mataku terus berkaca-kaca. Tak sanggup membendung teguran cantik ini.

            QS. Ibrahim ayat 1-3 aku lantunkan secara sir. Sosok ibu berbaju serba putih mendekatiku  dengan membawa kursi portable yang ia jinjing . Ia mencolek lenganku dengan isyarat ia akan tidur dan meminta dibangunkan bila adzan berkumandang. Tepat muadzin menyeru mengajak panggilan sholat. Aku segera membangunkan, saat badannya mulai beringsut menempel dengan karpet. Ku ajak ia sholat qobliyah 2 rakaat.

            Usai sholat, ibu berhidung bangir berkulit putih itu menatapku dengan penuh tanya. Ia memintaku menyeka sisa tangisan yang ada dipipi. Ia bercerita dengan isyarat tangan tanpa suara sedikitpun. Ya, ia tuna wicara dan tuna rungu. Mengajakku untuk terus berdoa kepada Allah SWT dan tidak bersedih. Dari gerak-gerak bibirnya mengucap kata “Allah Allah Allah” sambil menengadahkan tangan. Seketika airmataku tumpah, menangis tersedu sedan lalu memeluk tubuh ibu yang berbadan subur itu. Ia mengusap-usap punggungku dengan lembut. Aku terlarut haru dan bahagia dengan nasihat halus tanpa menggurui itu.

            Sebuah cincin pernikahan ia tunjukan kemudian kedua jari telunjuknya dikaitkan,  ia bermaksud menanyakan statusku. Aku melambaikan tangan dan menunjukan jemari tanpa cincin menyemat dijari manisku lalu menunjukkan satu jari telunjuk tegak. Ya, aku masih sendiri dan belum menikah. Tangan lembutnya kembali mengelus pundakku, gerak tubuhnya mendoakanku mendapat segera mendapatkan pasangan, mempunyai keturunan dan kembali ke Tanah Suci bersamanya. “Aaamiin aamiin” sambil aku merebahkan kepala dipundaknya. Ia juga mengusap linangan airmata yang susah untuk dibendung. Ia mengisyaratkan sendiri ke Tanah Suci. Setelah anak-anaknya menikah mereka pergi meninggalkan rumah.Kini bergantian, aku yang mengelus-elus pundaknya.


masih di halaman masjid nabawi

            Betapa malunya aku, diingatkan Allah dengan cara yang begitu elok, tanpa menyakiti siapapun dan merugikan orang lain. Sungguh benar aku terlarut dalam kesedihan yang fana, tanpa melihat sekitar yang lebih menderita dari diri ini. Tak apa tubuh ini ceking, tapi dengan izin Allah banyak ibu yang mempercayakanku untuk menggenggam tanganya bersamaku. Menuntun dan mengantarnya hingga sampai tujuan. Sampai aku tak ragu, untuk memeluk, mengelus dan menggandengnya seperti ibuku sendiri.

            Sholat asar berlalu dengan indah, disusul sholat jenazah berjamaah. Sebelumnya aku harus mengaba-aba sholat apa yang dikerjakan. Usai berdoa dan berdzikir aku meninggalkan masjid Nabawi menuju hotel. Perpisahan yang memberatkan hati, namun apa daya tidak ada pertemuan dan perpisahan  tanpa  kehendak sang Kholiq. Sebelum aku kenakan kembali sandal yang aku titipkan di rak dekat mulut pintu, aku menoleh. Aku terperanjat sosok ibu berbaju putih itu tak terlihat dari edaran pandangan mata. Mestinya ia masih terlihat, sebab jarak shaf sholat dengan pintu tidak terpaut jarak jauh. Lagi pula aku kenakan kacamata minus yang bertengger dihidung ku yang mungil. Maha Besar Allah dengan segala kekuasaanya yang menyadarkan arti bersyukur dan tidak berpikir sempit.


1 comment:

Afidatun nasihah said...

Terimakasih sudah mengunjungi blog saya