Nabawi Sendiri
Usai menikmati
makan siang di hotel Wassel Golden, aku manaiki lift ke lantai 8 menuju
kamarku. Kurebahkan punggung diatas kasur berselimut warna coklat, sambil
memejamkan mata. Tak lama dering telepon berbunyi. Kutengok nomornya, ya, nomor
seorang pengelola travel yang sekarang aku naungi. Aku pikir dia akan
menanyakan ibunya, sebab dalam rombongan ada ibu kandung yang ikut serta. Dia
menanyakan kabarku, padahal sejak 5 hari keberadaanku di Tanah Susi tak ada
seorang keluargaku pun yang menelpon, begitu pula pesan SMS. Kalau bukan aku
yang mengirim SMS dahulu Kuceritakan peristiwa ini setelah sampai di rumah,
ternyata mereka khawatir jika menelponku akan mengganggu kekhusyuan ibadah.
saya bersama teman-teman saat pertama menapaki Nabawi |
Ini debut kepergian
terjauhku selama ini. Soal selama ini aku sering bepergian tanpa pamit, ihwal
biasa. Sejak melepas seragam abu-abu aku sudah merantau sendiri, tentu masih
dalam negeri. Namun, berbeda dengan kepergian kali ini, sebuah perjalanan suci
dari niatan kecil yang memakan perjuangan besar. Perlahan aku mengumpulkan uang
gajian selama setahun, aku menahan diri dari godaan belanja, jalan-jalan,
membeli baju dll. Ah, ini mungkin hal kecil, berbeda bagi seorang wanita
apalagi masih sendiri yang berpenghasilan terkadang itu sesuatu yang tak gampang.
Suasana di depan hotel yang saya tempati |
Tetiba rasa rindu
dan cemburu merangkul erat jiwaku. Aku seorang diri ke Tanah Suci dengan tak
seorangpun saudara dekat. Wajah-wajah mereka baru aku jumpai di bandara.
Kesempatan mengikuti manasik saat itu tak aku ikuti, sebab aku pulang kampung
untuk berpamitan dengan orangtuaku. Ibu-ibu paruh baya bahkan ada banyak usia
nenek-nenek yang meminta bantuanku untuk mengatur ulang telepon genggamnya,
agar bisa disesuaikan dengan satelit di Tanah Haram. Keluarga mereka
mengkhawatirkan keadaan mereka. Sementara aku? Menderas air mata membulir
dipipi.
Sebelum pintu-pintu masjid Nabawi ditutup menjelang adzan
Asar, aku membangun diri untuk tetap kuat meski sendiri. Kusapu raut mukaku
dengan air wudhu agar lebih tenang.
Tidak berbeda dengan Masjidil Haram satu jam sebelum adzan berkumandang
jamaah sudah memenuhi ruang sudut-sudut masjid. Wal hasil jika telat
pintu-pintu akan dijaga ketat oleh polisi berabaya dan bercadar hitam. Lantas,
jika sudah tak menampung jamaah lagi, aku memasrahkan diri untuk berjamaah
dihalaman masjid yang berpayung-payung putih raksasa itu.
Sepanjang hotel
menuju Nabawi aku sendiri melangkahkan kaki. Tak seorang teman aku hampiri
untuk sekedar menemani. Berkerudung mukena, gamis dan berkaos kaki sudah syah
menutup aurat untuk melaksanakan sholat. Sudah menjadi ciri khas orang
Indonesia yang sangat mudah dikenali ketika menuju masjid terbalut mukena
putih. Aku masih meneteskan air mata sepanjang 100 meter, hotel menuju masjid
Nabawi. Tak aku hiraukan penjual yang menggelar daganganya. di tepi-tepi jalan
banyak.
Ketika memasuki
gerbang 7 masjid, aku banyak menjumpai jamaah umrah asal India yang terlihat
duduk dihalaman, satu kakinya dilipat dan satu kaki yang lain dilingkari lengan
sambil memilin kalung dengan alunan dzikir. Mereka berpakaian lusuh dengan kain
sari yang panjang. Penutup kepala seperti pasmina tapi lebih lebar lagi,
warnanya senada dengan celana dan baju. Sayangnya mereka berkerudung tanpa
dikaitkan peniti. Kebanyakan dari mereka hanya menyelempangkan menyilang kearah
sebaliknya. Menurut cerita ibu Diah, selaku muthowwif (pemandu), beliau
menceritakan banyak warga India yang tidak mempunyai hotel. Mereka menginap
diemperan masjid dengan bekal seadanya. Mereka beribadah tidak banyak dibantu
kemudahan oleh negaranya. Ketika pulang dari sholat, mereka mengantri mengambil
air zam-zam dalam galon 5 liter. Lalu mereka menyungginya di atas kepala sampai
ke tempat berkumpul.
Nikmat mana lagi
yang aku dustakan, padahal aku lebih beruntung dari mereka. Aku bisa tidur dikasur
yang empuk dengan ruangan berpendingin, makan dengan menu yang enak dari
katering. Kembali bibir ini mewek melihat pemandangan yang berhasil menyita
perhatianku. Sambil aku terus menapakkan kaki hingga pintu masjid. Setibanya
disana, sengaja kupilih shaf yang ada dibelakang berkarpet merah. Ku ambil Al
qur'an diatas rak yang berada dekat dengan pilar-pilar masjid.
Seorang ibu
berkulit hitam legam berjubah hitam sedang menyusui buah hatinya mengusik rasa
ingin tahu ku. Ibu tiga anak yang datang ke Madinah bersama orang tuanya.
Mereka berasal dari Sudan, negara miskin
yang terletak di timur laut Afrika sanggup menunaikan ibadah. Tetiba dua anak
laki-lakinya mendekat meminta minum dan mereka saling berebut. Ah, anak kecil
dari satu tegukan air itu tumpah membasahi karpet. Tak sampai disitu mereka
berlarian keluar mulut pintu. Tinggallah aku dan gadis kecil yang belum genap
setahun bersamaku. Aku menjaganya sampai ibu itu kembali membawa kedua buah
hatinya.
Hal yang aku patut
syukuri yaitu sendiri tak selalu merepotkan orang lain. Melihat ibu mengurus
ketiga buah hatinya dengan payah mengingatkanku akan pentingnya lagi-lagi
bersyukur. Ibu itu memang tak pernah kesepian, selalu dikelilingi celotehan
anak-anak yang lucu. Mengurus mereka menyita banyak perhatian dan menguras
kesabaran ekstra. Terlebih dari fisik putra sulungnya mengidap sindrom down dan
diusia yang lebih dari 3 tahun keterlambatan bicara. Tak lama, ibu beserta
keluarga yang lain berkumpul dalam satu shof., meraka bahu-membahu mengurus tiga
bocah dengan kelakuan kekanakkannya. Aku seperti tertampar keras oleh keadaan
yang ditunjukan Allah tanpa skenario yang aku ketahui sebelumnya. Aku kembali
meleleh, mataku terus berkaca-kaca. Tak sanggup membendung teguran cantik ini.
QS. Ibrahim ayat 1-3
aku lantunkan secara sir. Sosok ibu berbaju serba putih mendekatiku dengan membawa kursi portable yang ia jinjing
. Ia mencolek lenganku dengan isyarat ia akan tidur dan meminta dibangunkan
bila adzan berkumandang. Tepat muadzin menyeru mengajak panggilan sholat. Aku
segera membangunkan, saat badannya mulai beringsut menempel dengan karpet. Ku
ajak ia sholat qobliyah 2 rakaat.
Usai sholat, ibu
berhidung bangir berkulit putih itu menatapku dengan penuh tanya. Ia memintaku
menyeka sisa tangisan yang ada dipipi. Ia bercerita dengan isyarat tangan tanpa
suara sedikitpun. Ya, ia tuna wicara dan tuna rungu. Mengajakku untuk terus
berdoa kepada Allah SWT dan tidak bersedih. Dari gerak-gerak bibirnya mengucap kata “Allah
Allah Allah” sambil menengadahkan tangan. Seketika
airmataku tumpah, menangis tersedu sedan lalu memeluk tubuh ibu yang berbadan
subur itu. Ia mengusap-usap punggungku dengan lembut. Aku terlarut haru dan
bahagia dengan nasihat halus tanpa menggurui itu.
Sebuah cincin
pernikahan ia tunjukan kemudian kedua jari telunjuknya dikaitkan, ia bermaksud menanyakan statusku. Aku
melambaikan tangan dan menunjukan jemari tanpa cincin menyemat dijari manisku
lalu menunjukkan satu jari telunjuk tegak. Ya, aku masih sendiri dan belum
menikah. Tangan lembutnya kembali mengelus pundakku, gerak tubuhnya mendoakanku
mendapat segera mendapatkan pasangan, mempunyai keturunan dan kembali ke Tanah
Suci bersamanya. “Aaamiin aamiin” sambil aku merebahkan kepala dipundaknya. Ia
juga mengusap linangan airmata yang susah untuk dibendung. Ia mengisyaratkan
sendiri ke Tanah Suci. Setelah anak-anaknya menikah mereka pergi meninggalkan
rumah.Kini bergantian, aku yang mengelus-elus pundaknya.
Betapa malunya aku,
diingatkan Allah dengan cara yang begitu elok, tanpa menyakiti siapapun dan
merugikan orang lain. Sungguh benar aku terlarut dalam kesedihan yang fana,
tanpa melihat sekitar yang lebih menderita dari diri ini. Tak apa tubuh ini
ceking, tapi dengan izin Allah banyak ibu yang mempercayakanku untuk
menggenggam tanganya bersamaku. Menuntun dan mengantarnya hingga sampai tujuan.
Sampai aku tak ragu, untuk memeluk, mengelus dan menggandengnya seperti ibuku
sendiri.
Sholat asar berlalu
dengan indah, disusul sholat jenazah berjamaah. Sebelumnya aku harus
mengaba-aba sholat apa yang dikerjakan. Usai berdoa dan berdzikir aku
meninggalkan masjid Nabawi menuju hotel. Perpisahan yang memberatkan hati,
namun apa daya tidak ada pertemuan dan perpisahan tanpa
kehendak sang Kholiq. Sebelum aku kenakan kembali sandal yang aku titipkan
di rak dekat mulut pintu, aku menoleh. Aku terperanjat sosok ibu berbaju putih
itu tak terlihat dari edaran pandangan mata. Mestinya ia masih terlihat, sebab
jarak shaf sholat dengan pintu tidak terpaut jarak jauh. Lagi pula aku kenakan
kacamata minus yang bertengger dihidung ku yang mungil. Maha Besar Allah dengan
segala kekuasaanya yang menyadarkan arti bersyukur dan tidak berpikir sempit.
1 comment:
Terimakasih sudah mengunjungi blog saya
Post a Comment