200 Ribu yang
Berharga
Amplop putih sudah kuterima dari
bendahara kantor yang sudah menyimpan uang tabungan. Sisa uang yang sudah aku
belikan bahan kain untuk membuat gamis. Sejumlah 2 lembar warna merah dengan
gambar proklamator Indonesia. Sedari awal sudah kurencanakan
pengeluaran-pengeluaran dengan rinci. Niatnya uang itu akan aku belikan bergo. Dengan
penghasilan 2,5 juta perbulan dan harus berbagi –bagi kasih. Tabungan umrah
sejuta, mengirim orang tua, membayar kebutuhan yang tak terduga dan membeli keperluan
sehari-hari dan termasuk makan, kalau bisa cukup buat jalan-jalan. Aku takut
kebobolan kalau sampai kantong bocor. Tidak boleh lebih besar pasang dari pada
tiang, tekadku.
Berbarengan dengan bulan Ramadan,
sambil aku menyiapkan busana lebaran pula. Aku mengajak keponakanku ke Mall Of
Serang. Usianya menginjak 8 tahun sudah berhasil puasa hingga magrib tiba
selama sepekan. Sebagai hadiah aku memperkenalkan Time Zone, area bermain yang
belum dijamah sebelumnya. Sesekali ibunya memperkenalkan Zona 2000 area bermain
yang ada di Mall Serang, lebih terkenal dengan Ramayana Serang. Sebuah kaos jersey
bola tim Brazil permintaan yang harus aku penuhi. Kuambil amplop putih dan
dompet di dalam tas hitam, sebelum aku titipkan tas tersebut pada penjaga
penitipan barang di depan swalayan. Kupegang erat dompet hitam dan aku masukan
amplop kedalam saku celana yang berbarengan dengan hp.
Mataku berselasar mencari jersey,
keponakanku sudah menyebut nama Neymar pemain bola idolanya. Langkahku terus
berjalan menyusuri lorong-lorong rak. Bola mataku menggelinding tepat disusunan
kaos putih bertulis Ozil dibagian punggung. Usia anak senang bermain kotor, membuatku
enggan membeli. Aku menggandengnya kembali menyusuri rak-rak lain. Tangan
sebelahku sibuk memencet hp mengirimkan pesan ke tetangga yang merekomendasikan
membeli kaos bola disini. Tanpa aku
sadari usai memasukan kembali hp ke saku celana ada sesuatu yang hilang.
Kantongku tak berpenghuni lagi, sudah tak terhitung lorong yang sudah dilewati. Innalillahi wainna ilaihi roojiun aku
kembali menyusuri lorong-lorong rak. Hingga lelah, kutanyakan kepada pramuniaga
yang berjaga. Dengan rinci kuceritakan rentetan peristiwanya, sayangnya dia tak
bisa menolong. Satu-satunya jalan menenangkan diri dengan cara mengikhlaskannya. Berpositif thingking
pasti akan ada pengganti yang lebih usai teguran ini. Memasang senyum manis dan
mengajak pulang keponakanku. Bergo hanyalah bergo, ada kesempatan lain dan
rizki yang lain menanti.
****
Dua bulan kemudian kembali
terkumpul 200 ribu yang sudah tersimpan
dalam rekening. Seperti cambuk peristiwa yang lalu, mengajarku untuk lebih
berhati-hati. Tak ada saudarapun yang mengetahui musibahku waktu itu. Biar saja
ini bagian konsekwensi yang aku tanggung. Mentok-mentok juga mereka akan
menasehatiku yang sabar dan hati-hati cari uang ga gampang pergi pagi pulang
sore. Ah semua sudah ketebak. Mesti mereka melakukan tersebut sebagai tanda
peduli.
Assalamualaykum Mba maaf, tadi sore Hp emak hilang waktu jalan-jalan ke
Kali Gua. Mungkin jatuh dijalan waktu di atas motor. Aku sudah cari tapi ga
nemu. Maaf Mba...
Dering SMS yang aku terima di sore
yang mendung cukup menghentak jantung.
Mengingat tak sekali ini peristiwa kehilangan bersama adik lelaki bungsu.
Waalaykumussalam, coba Nang cari uang sendiri, pasti akan tahu
bagaimana perjuangannya. Meminta maaf memang mudah tapi mengulang kecerobohan
yang sama itu juga kesalahan
Aku membalas pesan dengan nada ketus.
Tanggal dikalender sudah menunjukan diatas angka 20, pertanda tanggal tua dalam
istilah karyawan yang menerima gaji ditanggal muda. Aku sudah menjalani hidup
dengan penuh kesederhanaan, wajar jika menginginkan sesuatu berjalan membumi
perlahan dan disiplin ketat tidak tergoda dengan hal-hal tersier. Mementingkan
kebutuhan primer terlebih dahulu sudah jadi barang wajib.
Kurebahkan raga yang tipis ini
diatas kasur lantai yang sudah tak montok lagi. Pikiranku melayang jauh tak
bisa menghubungi orangtua yang hanya tinggal berdua dirumah lugunya. Tak
terbalas pesan maaf diatas layar hp nokianya yang jadul. Biar menjadi pelajaran
berharga.
Keesokan harinya nomor baru
menelponku berulang-ulang, meski sudah diangkat suaraku tak terdengar. Suara
yang sangat tak asing ditelingaku. Beliaulah orang tuaku. Sangat jelas aku mendengar kedua
orang tua ribut tak tahu bagaimana memencet keypad layar hp sederhana Samsung.
Ganti aku yang menelpon, namun sayang lagi-lagi emak mematikan telpon.
Sampai ceruk hati ini tak tega
membiarkan tanpa komunikasi dengan buah hatinya. Simpanan uang aku ambil dan menambahi
perbekalan uang makan di akhir minggu. Usai menunaikan magrib, langkahku menuju gerai hp yang tak jauh dari pabrik.
Sengaja gunting, lakban sudah kusiapkan di dalam tas. Kertas kado sudah kubeli
sebelum sampai gerai. Tak sampai lama menawar Hp yang sama percis, hanya beda
warna itu aku bungkus dan kukirim via
JNE.
****
Sebenarnya tidak harus bermerek
untuk membeli bergo. Harga dipasar
dengan merk yang tidak ternama di layar media sosial kisaran 30 – 40 ribu untuk
ukurang sedang (M atau L). Bercermin dengan tubuhku yang ceking aku terbiasa
menggunakan ukuran S atau M, tentunya bergo yang masih menjulur lebar dan
menutupi dada sesuai syariah Islam. Lagipula keseharianku berbusana kasual,
celana hitam dasar, kemeja atau kaos sepaha dengan memakai kerudung persegi empat
dengan warna senada. Nyatanya entah hanya aku ataupun yang lainpun merasakan,
ketika memiliki barang atau benda dengan harga yang bermerek atau mahal
biasanya akan lebih dijaga atau dirawat. Tidak dipungkiri untuk kualitas dan
model mempengaruhi penampilan. Percaya atau tidak ketika mengenakannya lebih
percaya diri dan nyaman. Apapun merek atau brand fashion yang ada dipasaran
kembali kepada kenyamanan pemakai, baiknya memang yang tidak hanya membungkus
tubuh, melainkan menutup tubuh.
Selanjutnya aku lebih santai, tak
ngoyo untuk cepat-cepat membelikan bergo. Rizki manusia sudah ditentukan
jalannya, tanpa menyampingkan ikhtiar, berdoa dan tawakkal. Biar Allah yang mengganti dengan bentuk kebaikan yang lain. Aaamiiin
No comments:
Post a Comment