Thursday 21 November 2013

Cerpen lokalitas


                                                        Cinta Kanekes

            Malam belum terlalu larut, anak-anak masih rame menonton TV dirumah warga bukan Baduy. Seperti biasanya hingga halaman depan penuh anak kecil ada juga orang dewasa yang mengawasi mereka tiap malam hingga pukul 22.00. Rumah yang tak jauh dari perbatasan kampung baduy dengan warga biasa.Kalau saja peraturan ketua adat yang memperbolehkan suku baduy boleh ada listrik mungkin mereka juga mampu membeli dan bisa menikmatinya. Butuh hiburan itulah yang dirasakan anak Baduy ditiap harinya, selain kumpul bersama keluarga & teman. Tapi masih beruntung tak seketat Baduy dalam, ada beberapa yang bisa dilakukan Baduy luar layaknya masyarakat Banten biasa.
           
            Dasih adalah salah satu anak diantara mereka yang tak mau ketinggalan menonton TV . Dasih yang berkulit kuning bersih lagi manis dipanggil Teteh dari kejauhan,
Sih, geura atuh uwih...tos peuting Maklum saja jam menunjukan malam semakin larut membuat pekat bumi. Dasih tak bergeming dengan suara itu, asyik dengan sinetronnya.Tak disangka-sangka Joleha sang Teteh sudah berulang kali memanggilnya. Dengan rasa khawatirnya mencari-cari dintara kerumunan anak kecil.
           
            Brakk!!! “Oh hampura Teteh “, Rojali segera meminta maaf, seketika Rojali dan Joleha larut dalam pandangan pertama. Dalam hati mereka saling mengagumi. Jali yang perawakannya  tinggi besar lagi gagah dengan kulit kuning langsat berambut cepak hidung mancung menatap tajam Jo, begitu sebaliknya Jo sosok gadis bak pragawati yang dicat walk dengan kulit yang putih berseri rambut ombak dan berlesung pipi juga dagu yang tajam. Belum lagi wajahnya tanpa polesan sungguh ayu alami.Walaupun kelam hitam menyelimuti malam, ke_2 nya menatap dengan terang bercahaya rembulan sabit bertabur bintang. Tak seberapa sakit padahal pundak Jo tertabrak Jali, tapi Jali mengulang kembali minta maafnya dengan lembut. Senyum Jo tersimpul manis lagi menunduk malu mengiyakan bahwa ia telah memaafkan Jali. Entah mengapa jantung mereka saling berdetak kencang. Mungkinkah ini pertanda cinta?
           
            Belum sempat mereka berkenalan, Jo segera bergegas & kembali mencari Dasih. Jam menunjukan hampir tepat pukul 22.00, dengan tegas Dasih dibawa pulang untuk istirahat. Walaupun hari esok bukan untuk sekolah bagi warga Baduy luar ataupun dalam, tapi akses menuju rumah yang gelap karena tidak diperkenankan adat listrik masuk Baduy. Mereka kembali pulang ke peraduanya dengan penerang obor bambu. Kadang berpelit daun kelapa yang diikat panjang dan ujungnya dibakar. Namun kurang tahan lama. Jo masih asli keturunan Baduy luar yang dalam tiap hari sering berbusana baju berkancing depan warna biru navi dengan sarung khas Baduynya yang tak pernah lepas menyelimuti pinggang ke bawah.
           

            Begitu Jo sampai rumah, tak selang setelah bersihkan badan. Ia merebahkan badan dipembaringan tikar yang sederhana, matanya tak mau memeja. Jagad fikirnya dipenuhi wajah sosok pria yang menabraknya tadi. Jo gelisah dan penuh tanda tanya. Dasih mengagetkan hayalnya yang membumbung tinggi,
            “Kunaon Teteh, sakit? naha gelisah kitu?Dasih menanyakan keadaan, dengan malu Teteh menjawab
 “Teu nanaon, hayo atuh sare tos peuting”

Begitu pula ternyata Jali pun demikian. Alam bawah sadarnya  meyakinkan bahwa dialah sseorang yang akan mendampinginya kelak. Walaupun hati kecilnya sedikit mengelak karena hanya kecil kemungkinan dan penuh resiko. Banyak rintangan yang harus dihadang untuk mencapai titik satu cinta. Dalam hatinya kembali berucap apasih yang akan mengalahkan kekuatan cinta kalau sudah berbicara, sambil tersenyum. Matanya terus berbelalak padahal rasa ingin tidur setelah seharian beraktifitas. Dengan mimpi dan doa kuat Jali akan bertemu dengan permaisuri yang telah memasuki jiwanya yang selama ini dirindukan.
                                   
                        @@@@

            Mentari telah menyingsing, hari mulai beranjak siang, rasa penasaran yang kuat Jali menekadkan diri naik ke Kanekes. Sebuah desa kecil berpenghuni Baduy luar terdapat makhluk cantik yang ditemuainya semalem. Langkah pasti dengan tegas memelan saat menginjakkan di kampung itu, meneliti satu demi satu, memejamkan mata,“Tuhan,,,,temukan aku dengan makhluk cantik Mu itu......”. Tak selang lama, walaupun sedikit naik turun jalan berkelok. Kebetulan yang tepat matanyatertuju sosok Jo sedang menenun didepan rumahnya. Tampak khusyuk dengan kerjaanya itu. Aurat anggun masih terpncar kuat walaupun terlihat repot dan sedikit keringat didahinya, puji Jali dalam hati. Jali mencari seribu akal agar Jo bisa melihat keberadaannya agar dapat direspon. Awalnya Jali hanya berdesis,
“Ssst ..!! ssst ..!! ssst ..!!”
Namun sayang Jo masih tetap asyik dengan kesibukannya. Hmmm dengan segera cari akal lain. Jali melihat bongkahan tanah keras, dengan was was ia lempar menuju sasaran sambil menunggu orang disekitar lengang. Plukk!!! tanah kecil sampai tepat sasaran, Jo kaget dan mencari cari asal muasal itu tanah itu, Jali segera melambaikn tangan walaupun sedikit takut, sudah diduga gayung bersambut, Joleha pun melambaikan tangannya dan senyum yang mendekik.
”Engke peuting ketemu nya nonton TV,,,,?”pinta Jali dengan bahasa bibir dan atikulasi yang jelas.

                                    @@@@@

           
 Jali dan Jo berdandan rapi. Dasih yang sudah terlebih dahulu standby depan TV warga, maklum Baduy luar belum mengenyam bangku sekolah Hanya saja ada paket membaca sudah digalakkan pemerintah. Hingga mereka tak buta huruf. Hiburan gratis disela – sela waktu istirahat setelah siang waktu bermain. Malam belum terlalu larut Jo pamit ke orang tua  untuk menjemput Dasih lebih gasik. Akhirnya yang diinginkan datang juga  Jo dan Jali bertemu, setelah Jali menunggu lama ditepian bahu jalan. Terlihat sudah Jo, segera Jali mendekat dan memperkenalkan diri masing-masing. Hingga mereka sibuk dengan gelak tawa dan keasikan ngobrol. Tak sadar ternyata anak-anak satu persatu meninggalkan tontonan, seakan Joleha diingatkan untuk Dasih dan dirinya segera pulang. Dengan tergesa-gesa  ia pamit untuk mencari Dasih, tak lupa juga Jali segera meminta nomor telpon genggamnya dan berharap akan terus bersamanya kelak.
           
                                    @@@@

            Hubungan mereka sudah sejauh layaknya sepasang sejoli yang punya komitmen yang ingin melanjutkan ke jenjang mahligai rumah tangga. Mulai dari hari berganti minggu, bersalin hingga bulan. Walau tahu bakal banyak aral melintas dalam menuju perjalann suci itu.. Awal langkah Jali mengenalkan Jo dikeluarganya, Jo diajaknya ke rumah bertemu ibu. Sebelumnya Jali telah bercerita kalo dia telah menemukan tambatan hatinya dan ingin berlabuh pada sosok wanita itu dan dia adalah Joleha warga Kanekes. Tapi Kanekes dimata ibu sangat kurang tak berpendidikan, tak jelas agamanya yang menganut Sunda mimitan (Animisme & dinamisme). Maklumlah bentuk kekhawatiran seorang ibu yang merawatnya hingga dewasa. Berbeda dengan Bapanya Jali yang pendiam, Bapa lebih menyerahkan keputusan sama anak, “kalo anak seneng Bapa juga seneng, tapi alangkah baiknya kalo menikah dengan seagama”. Ujar Bapa.
Hingga saat Jo dirumah ibu mendiamkannya dengan pergi menuju kamar dan membanting pintu
 Dasar kanenes!!
Brakkkkk, 
Bapa menemani diam tanpa bicara disampingnya. Jali sudah berupaya keras merayu ibu agar keras kepalanya luntur, tapi keras hati Ibu tak mempedulikanya. Padahal dalam hati ibu menangis, ingin merelakanya besama orang lain tapi hati belum ikhlas. Begitu pula dengan Jo dengan tangan dinginnya yang mengepal menahan air mata agar tak sampai jatuh dipipi. Mungkin kalo bukan dirumah ia akan teriak sekencang mungkin. Jali mengerti akan keadaan ini, dua orang yang paling dia sayang saling tolak menolak. Melihat muka Jo yang memucat pasi akhirnya Jali membawa Jo pulang dengan pamit ke Ibu yang tak bersuara dan mengurung dalam kamar dan Bapa hanya berkata
 Sabar ya Nak...” sambil mengulur tangan menyalami, Jo pun cium tangannya, dan Jali mengelus-elus  punggung Jo yang hanya diam seribu kata.
           
            Menuju rumah Jo, Jo masih bungkam. Semakin lengang mendekati kediamannya dengan suasana asri. Sekitarnya saja pepohonan tinggi nan rimbun dengan jalan setapak tanah. Banyak terdengar suara jangkrik dan jenis serangga yang mengeluarkan bunyi bersaut-sautan. Jali masih memegang erat tangan Jo. Membiarkannya membisu. Tiba-tiba Jo memeluk erat Jali dengan tangisan yang mengisak-isak. Air matanya menderas membanjiri pipi putihnya.
“A akan tetap dalam pendirian A, A akan menikahi Neng  apapun rintangannya” tutur Jali sambil berbisik ditelinga Jo yang masih meluapkan tangisan yang tak terbendung lagi. Jo melepaskan pelukan itu dengan pelan dan
“Tinggalkan  Neng sendiri dulu, biar Neng tenang ”, ucap Jo, dan Jali memegang erat kedua tangannya “ A berharap semua akan terjadi sesuai impian kita”.
           
                                    @@@@@

            Jo masih saja diam. Sebenarnya orang tua sudah tahu akan itu, sayang mereka juga mengiyakan untuk tak mempersatukan mereka juga. Rembulan cahaya malam bersinar benderang, terangnya tak dihiraukan Namun demikian sepenuhnya tergantung keputusan Jo sendiri. Keluarga Jo masih mengikuti hukum adat, yaitu menikah sesama suku. Jo bukanlah keluarga kaya, yang harus mempersiapkan banyak seeng (dandang), padi sebagai mahar. Jo tak lagi menjemput Dasih nonton TV, Jo mengurung diri dalam kamar. Saat siang pun lebih senang menenun di dalam rumah tak seperti biasanya. Di depan teras bersama angin yang berhembu semilir. Kalau tidak membantu ibu memasak selebihnya habis waktu di leuit (rumah lumbung padi) menumbuk gabah hingga menjadi beras.Untuk mencharge hp saja menyuruh Dasih untuk minta setrum ke warga, dengan tarif Rp.2000 hingga penuh. Antara batin dan pikirnya masih bertengkar. Hatinya kukuh untuk tetap menyatukan janji suci mereka.
           
            Dalam diamnya selama ini Jo benar-benar mendapat pencerahan yang arif, dengan  pelan ia menyusun kata dengan sms
 “A, datanglah ke rumah.., Neng tunggu”
Saat itu dalam benaknya telah lama membandingkan antara keyakinan yang diyakini dari turun temurun  dengan agama Islam. Yang Jali anut setelah sekian lama berhubungan dengan Jali melihatnya sholat, Suara adzan yang kerap terdengar dari masjid terdekat dan bacaan alquran sebelum adzan tiba. Kini  menjadi pusat perhatian dan membuat hati Jo tenang dan damai. Terkadang hingga merinding saat mendengarkannya yang entah tahu kenapa. Kedamaian dan keindahanya lebih masuk logika. Jo melihat dengan sholat hidup lebih teratur, saat pagi mengingatkan untuk bangun, olahraga kecil yang menyehatkan dan hal yang lain yang tak bisa diungkapkan.
                       
                                    @@@@

            Sore sebelum senja tiba Jali datang memberanikan diri datang ke rumah, ternyata Jo sudah menunggu bareng keluarga, keputusan Jo atas dasar penuh hati terdalamnya dan keluargapun mengikutinya karena kebahagiaan Jo kebahagiaan mereka juga. Kebijakan orang tua Jo membuat yakin akan langkahnya.Dengan sanksi sosial yang berat yaitu di keluarkan dari Baduy luar. Kedatangan Jali disambut hangat. Jali mengutarakan maksud dan tujuannya walaupun keluarga tahu akan hal tsb. Tiba Giliran Jo membuka keinginananya untuk masuk Islam dan mengajak Jali membawa ke ulama  untuk menyaksikan syahadatnya. Dengan senyum, lebar Jali bernafas lega
 Alhamdulillah.....Subhanalloh nanti saya konfirmasi ke pak Ustad di Masjid segera” Jawab Jali tegas. Setelah ketegangan mencair mereka mulai ngobrol dengan hangat, dibarengi canda tawa kecil.
           
            Senja mulai memerah diufuk, Jali semangat pulang membawa kabar bahagia walaupun sedikit was was, takut akan  tidak diterima Jo dikeluarga besarnya. Adzan berkumandang seruan untuk menunaikan sholat. Sebelum makan malam Jali berbicara dengan keluarganya untuk mebicarakan hal serius. Jo membuka pambicaraan dengan pelan
 “Maafkan aku Ibu, bukannya aku tak patuh akan nasehat ibu, untuk kali ini beri aku kepercayaan apa yang aku pilih untuk hidup aku tanpa mengurangi rasa hornat dan sayang aku ke ibu, Jali sayang ibu Bapa, harapan Ibu bapak untuk mendapat menantu seiman sudah ada, alhamdulillah Jo insya Alloh muallaf, bukan karena Jali tapi karena hatinya dan akupun tak memaksanya untuk menjadi makmumku. Bapa tersenyum, “syukurlah....”Ucapnya. Ibu hanya diam, tak lama setelah itu dengan pelan “Terserahlah!!” penutup pembicaraanya dan meninggalkan pergi.

Rencana tlah tertata rapi cinta dan asa Jo & Jali akan terwujud dalam ikatan suci. Tepat dibulan Februari mereka menikah dimeja KUA Luwih Damar.





Saturday 7 September 2013

Fiksi Cerpen Religi

                                    Rezeki yang Tak Terduga-duga


            Roda kehidupan memang berputar dan akan terus berputar. Alasan cinta yang mengerumun selalu membuat kehangatan. Kesetiaan dan menerima apa adanya menjadi kunci kebersamaan dalam suka dan duka. Lara duka, sedih bahagia bersifat sementara. Apapun keadaan itu terbukti keseimbangan memaknai proses dinamika hidup. Menikmati itu jalan yang terbaik diantara tawakkal, doa dan ikhtiar.
                       
                                                            ***
            Seperti biasanya sedikit mentari mulai tergelincir ke barat, aku baru pulang dari sekolah. Hampir seminggu menu makan siang adalah lodeh kates atau pepaya. Menu pepaya yang dicacah panjang-panjang dengan bumbu tumis yang menggoda. Emak sudah tak mampu berbelanja lagi ke pasar. Sadar sekali kepahitan telah melingkari keluarga kami. Mau mengeluh juga bagaimana malah harusnya bersyukur masih bisa menelan bersuap-suap nasi. Bekal beras panen bulan ini masih bersisa hanya saja untuk jajan, ongkos dan uang saku untuk anak-anak masih kurang. Di kebun samping rumah Mbah yang terlihat hanya pepaya yang berbuah untuk dimakan. Ada juga daun singkong sebagai lalab, menunggu beberapa hari kemudian Emak memasak pakai santan.”Sesekali makan sayur berkuah” ujar beliau bijak.
Upah Bapa sebagai buruh tani belum dibayar, di kebunpun sedang tak bermusim buah.

            “Pa......Bapa.....” adik bungsuku memanggil dengan lirih.
            “Hmmm ….” saut Bapa yang sedang tiduran di atas rusbang.
            “Kata Bu guru, diminta beli buku LKS Rp.10000 paling lambat 3 hari dari sekarang”
            “Hmmm.....”  Bapa menyauti  dengan nada yang sama.
            “Pa, koq cuma hmmm hmmm aja” ade bungsu telihat kesal, bibirnya manyun.
            “Iya Nak, sabar pasti secepatnya Bapa kasih uangnya kalau ada” ucap Bapa sambil bangun dari pembaringannya.dan mengelus rambut hitam bocah kelas 1 SD itu.
           
            Kegelisahan terpancar dari raut muka emak dan bapa yang berusaha mereka sembunyikan. Komunikasi kecil mereka terdengar olehku. Ade-adeku yang masih duduk di SD menjadi prioritas, uang saku mereka sudah dipersiapkan. Mereka asik dibangku meja makan menikmati sarapan bermenu gorengan dan acap kali dengan gorengan saja. Tinggal Mba-Mbanya saja yang belum. Ongkos angkot dari rumah ke sekolah selama masih berbaju seragam. Menurutku tak ada uang jajanpun tak apa yang penting ada ongkos sampai sekolah toh bekal sarapan cukup menemani aktifitas sampai pulang nanti.

            Dari pintu depan terdengar ada seseorang yang mengetuk pintu dibarengi ulukan salam.   
            “Wa alaykumussalam” jawab Bapa sambil membukakan daun pintu.
            “Kalau tidak salah kamu itu...” Bapa mengais ingatan sambil menggaruk-garuk rambut berubanya yang tak gatal.
            ''Enggih Uwak, saya cucu almarhum, ini amplop ucapan terimakasih karena kemaren sudah membantu pemakaman almarhum”  dibarengi mengulurkan tangan.
            '' Ayo, masuk dulu, silahkan duduk” Bapa mempersilakan ramah.
            ''Maturnuwun Uwak, masih harus ke rumah yang lain, Assalamualaykum”
            ''Wa alaykumussalam” Bapa masih bengong dan terheran-heran memegang amplop putih yang beliau terima.
Subhanalloh wal hamdulillah. Syukur yang teramat dalam Bapa panjatkan atas berkat Allah SWT. Karena sepanjang umur Bapa membantu proses penggalian kubur siapapun tak pernah dibayar, baru kali ini terjadi. Membantu proses penggalian liang lahat merupakan bentuk saling membantu antar sesama tanpa pamrih oleh setiap warga dengan suka rela. Menurut Bapa memang menjadi kebutuhan manusia untuk saling membantu. Rezeki Allah SWT tak disangka-sangka sebagai makhluk ciptaanNya wajib untuk berikhtiar tanpa meninggalkan akan kehadirat Nya.       

            Sebagai makhluk sosial  Bapa tak lepas dari acara perkumpulan, termasuk  memenuhi undangan  walimatul hitan. Saat pulang anak-anak sudah terlelap tidur diatas ranjang kayunya. Padahal cangkingan makanan berat itu belum termakan dan masih sangat utuh tanpa tersentuh. Bulan sudah terbit, Emakku berinisiatif membawa cangkingan itu ke tetangga sebelah, yang belum lama menjadi piatu setelah kepergian ibundanya dipanggil Sang Kuasa. Yakin Emak biar pun kekurangan hidup untuk berbagi itu wajib dan tak harus berbentuk materi.
           
            Pagi terlampaui sudah, aku melihat kerutan dimuka bapa makin terukir jelas. Dalam diamnya menyernyitkan dahi seakan berpikir keras. Matanya nanar mengingat ucapan lirih anak bungsu dan kakaknya memelas meminta uang untuk membeli buku LKS (Lembar Kerja Siswa). Amplop itu tak mencukupi permintaan buah hati.
            Segelas nteh tubruk hitam tersanding diatas meja selalu menemani pagi Bapa.  Biasanya pisang goreng, gemblong atau gorengan tersedia. Singkong yang dipotong berbentuk balok dan digoreng tanpa balutan apapaun kini mendampingi gelas itu. Kami sering meyebutnya balok, cemilan ringan mengganjal perut.

                                                ****

            Masih disambut dengan lodeh kates, pastinya racikan bumbu tangan emak yang sedap. Sore belum terlalu petang, Tungku di Pawon emakpun abunya sudah dingin. Pertanda emak masak pagi hingga menjelang siang. Biasanya dulu tiap kali pulang sekolah emak sibuk memainkan wajan dan perangkatnya dengan lincah. Peyek khas emak berkelana hingga penjuru desa Adisana. Modal yang sedikit dan kebutuhan yang tak terbendung membuat emak sementara tak selincah dulu. Berteman pekarangan dibelakang rumah Mbah menanam benih-benih sayur dan tanaman lain yang bermanfaat.
           
            Senja baru saja garang menampakkan garang merahnya. Sementara itu para bocah asik berlarian kesana-kemari bermain. Suara guyon dan tapak kakinya jelas terdengar dari balik dinding rumah. Tiba-tiba terdengar suara yang tak asing didalam rumah menyapa kami. Ya, tumben sekali Mbah  mampir ke rumah. Sudah hampir 2 minggu ini beliau tak bertandang, hanya saja Mbah kakung yang kerap mengunjungi kami.
            ''Nak....pisangnya sudah ranum tuh di kebun belakang” suara Mbah meninggi.
            “Rupanya ada Mbah toh, koq ga lihat masuknya” ujar emak seraya menyulur tuk bersalaman dan cium tangan beliau dan disusul Bapa.
            “Iya Nak, tadi lewat pintu samping rumah, maaf ga salam” ucap Mbah dengan menyunggingkan bibirnya sambil membenarkan kain batiknya yang sedikit melorot.
            “Ada apa Mbah, mau nengok cucu nih?”
            “Itu lho Nak, pohon pisangnya dah siap ditebang, sayang nanti kalau sampai kebalap sama kalong” dengan semangat dan sumringah Mbah menjelaskan.

            Girang bukan kepalang rasanya mendengar kabar tsb. Bapa segera mengambil pisau dan diantar sendiri oleh Mbah putri karena Bapa tak melihat keberadaan pohon pisang itu. Kembali tak disangka-sangka, padahal kebun itu sering Bapa kunjungi, namun luput dari penglihatannya. Belum sampai dirumah, setandan pisang dengan 12 sisir itu sudah ditawar tetangga dengan harga yang lumayan. Limapuluh ribu lebih dari cukup untuk memenuhi permintaan buah hati dan sisanya untuk kebutuhan makan. Hingga besok Bapa mendapat bayaran membantu mencangkul di sawah uwak Haji.

            Sungguh benar ini rezeki yang tak terduga-duga yang tak pernah diketahui melalui banyak jalan. Sungguh janji Allah tak pernah ingkar, terealisasi dari ayatnya “min haitsu laa yahtasib”. Maha luas Allah SWT dengan segala karuniaNya yang telah memberi kenikmatan yang tak terhingga. Tak pernah meninggalkan hambanya yang selalu memanjatkan doa dalam setiap ibadah dan dzikirnya.





                                   
           

Jalan-Jalan ke Pulau Tidung


                                                Reuni di Pulau Tidung

            Jarum jam pendek lurus angka 5 sedangkan jarum panjang lurus diangka 3. Pagi masih ranum, mata yang enggan berbelalak dipaksa melek, jari tangannya mengucek-ucek untuk menegaskan pandangannya yang samar. Nyawa belum sepenuhnya kumpul. Ragil terperanjat dengan jarum jam tsb.
            “Hak, Hak bangun, bangun!”
            “Hmmm aku shift malam koq” dengan nada sangau, mata terpejam Haki menyauti.
            “Ayo berangkat, kita sudah telat ditunggu teman-teman”
Dengan badan sedikit melunglai mereka bangkit dan bergegas. Di awali dengan aktifitas megambil air wudhu dan menunaikan sholat shubuh. Mereka berkemas, tak lupa rangsel hitam mereka gendong dan menemui kami yang telah menanti. Dalam hati ragil masih digelayuti seribu tanya, ternyata mindset Haki sudah terbentuk ritual jam kerja.

            Sedikit mundur dari jadwal, pukul 05.50 angkot trayek Senen-Kampung Melayu kami sewa untuk mengantar kami sampai Muara Angke. Tepatnya pelabuhan lama Angke. Sayang perjalanan tersendat sepanjang pertigaan SMK Penabur Muara Angke sampai pelabuhan padat merayap. Dengan semangat mengejar kapal, kami turun menapaki jejak-jejak niaga para nelayan. Mangkok-mangkok raksasa bertumpukan, jalan yang becek dan berbau amis kami lalui hingga mengular menaiki kapal Zhavir kami tunggangi. Sekitar pukul 08.00 WIB kami berangkat.




            Sambutan senyum ramah pemandu menyapa kami. Pukul 11.00 tiba di dermaga pelabuhan Pulau Tidung, satu dari gugusan pulau di kepulauan Seribu. Kmi diantar menuju homestay untuk istirahat. Di depan rumah sudah terparkir 10 sepeda. Tempat tinggal yang sangat homey dengan fasilitas AC yang sudah dingin hingga dinginya menusuk tulang. 2 kamar tidur yang rapi, satu kasur di ruang tengah tepatnya dekat TV dan makan siang yang sudah siap santap. Beranda berkursi kerajinan dari ban menjadi tempat favorit kami untuk ngobrol dan canda tawa.

            Lepas sholat dhuhur, kami ber 8, Ragil, Angga, Dollah, Imang, Puji, Haki, Heti dan aku beruntun menuju Jembatan Cinta, dipandu oleh Mas Diki. Tempat dimana kami menikmati panorama laut biru tanpa ombak. Sayang sekali aku tak bisa menggowes sepeda. Sementara mereka menggowes menuju pulau Tidung paling timur, aku hanya bisa membonceng motor bersama Imang. Iri sekali rasanya tidak bisa menikmati gowesan sepeda itu. Ditemani pemandangan ilalang dan pasir putih yang lembut mewarnai perjalanan kami.


           
            Karet panjang warna merah dan orange menyolok mata  menarik perhatian kami. Ya banana boot, kami akan bermain dengan laut. Jaket safety kami kenakan. Kami dibagi menjadi 2 kelompok. Dengan ditarik speed boat kami mengelilingi laut, diawali menuju terowongan di bawah  jembatan cinta, dan terus menjauh. Pemandangan yang maha luas dengan air laut yang bening. Kelok-kelok dan ayunan banana boot membuat jantung berdebar-debar. Brak! Kami dijatuhkan, banana bootpun terguling, begitupun kami. Sampai tertelan asin air laut. Mengagetkan dan seru. Untunglah di laut yang dangkal, hingga tak perlu waktu lama berenang ketepian. Sepertinya adrenalin kami belum puas untuk menjajal wahana yang lain, kami memilih water sofa. Pelampung besar dengan 5 cekungan itu kami duduki kemudian ditarik dengan speed boat. Sensasi pantulan dari gelombang air membuat kami terayun-ayun di tambah tarikan memutar setengah  lingkaran membuat tak henti-hentinya teriak dan semakin erat memegang tali.

           
            Hore! Senang rasanya dekat sekali dengan Jembatan Cinta. Masih kuyup badan ini, kami meniti jembatan cinta hingga jalan buntu. Jembatan yang diawali dengan bentuk melengkung seperti setengah lingkaran itu menjadi magnet para wisatawan. Dimana mempunyai mitos. Yang  pertama, jika ingin mendapatkan cinta maka berloncat dari ketinggian 10 meter ini, maka akan menemukan belahan jiwanya dan akan langgeng. Mitos kedua yaitu jika melewati degan berpegangan tangan bersama kekasih, niscaya hubungan akan awet dan berlanjut ke jenjang  pernikahan. Beragam mitos yang beredar membuat penasaran para wisatawan. Jembatan ini membentang dari arah barat ke timur yang menghubungkan Pulau Tidung Besar ke Pulau Tidung Kecil, dengan panjang sekitar 800 meter berdiri di atas cekungan laut (goba). Menurut guide, jembatan ini dibangun tahun 2005 silam dengan kontruksi kayu-kayu dan drum besar. Kini bersalin dengan bangunan permanen sejak 2012 dan tambahan bangunan 2 gazebo di tepi jembatan. Sepanjang Jembatan Cinta menjadi area konservasi terumbu karang. Kamipun tak lepas dari sorot kamera untuk mengabadikan momen kebersamaan itu.


            Setelah menikmati permainan laut, kami kembali ke penginapan dan bersih-besih badan. Selang lama,  Mas Diki mengajak kami ke Tidung paling barat, dimana kami akan  menikmati sunset. Kami kembali menggowes sepeda. Salah satu alat transportasi selain sepeda motor dan bemo (becak motor). Kendaraan bemo sendiri merupakan motor yang dimodifikasi, bagian depan motor dirakit becak. Jadi, penumpang ada yang di dalam becak ada juga yang membonceng. Aku kembali gigit jari karena tak bisa menggowes. Semilir angin menari ditengah keriuhan bersepeda, menyelusuri tepi pantai yang dipagari tumbuhan, pohon kelapa dan magrove. Sinar keemasan menjari-jari menuju peraduan. Pantulan kilaunya menembus dihamparan laut.


           
            Lebih dari sewindu semanjak pelepasan abu-abu putih akhirnya bertemu kembali atas inisiatif Haki. Ragil sebagai pemimpin rombongan, secara ini yang ke-2 kalinya Ragil menginjakkan kaki di Pulau Tidung. Ragil pulalah yang “pesta bujang” karena tak lama lagi akan melepas masa lajang. Sosok cowok metropolis yang dulu kurus kering. Bukan generasi muda yang lebih berorientasi budaya barat tetapi makna kebersamaan dan melepas kepenatan rutinitas pekerjaan sehari-hari. Senang rasanya melihat teman-temanku yang dewasa, mandiri, mapan dan berkepribadian. Dollah kelahiran Abu Dabi yang baru mudik masih dengan gaya kocaknya, Angga dan rokok yang tak pernah lepas, Imang dengan gaya punknya, Haki yang masih suka telmi, Puji yang merindukan kehadiran belahan jiwa dan aku kini berkacamata minus. Di bawah gemerlap galaksi bintang yang bertaburan menerangi malam, kami menikmati barbeque ikan laut dan cumi bakar, dipadukan dengan  sambal kecap yang mantab buatan Mas Diki
           
            Pagi ini kami diajak menuju Pulau Payung dengan kapal kecil yang kami charter. Setelah sarapan pagi di Beranda dengan nasi kota bermenu nasi goreng dan telur ceplok. Sekitar 20 menit dari Pulau Tidung. Pengaruh intensitas cahaya yang dominan membentuk pigmen alga yang berwarna hijau yang subur. Warna kehijauan laut merata dipermukaan laut. Ternyata Pulau Payung memang menjadi tujuan wisata bawah laut, khususnya untuk snorkeling. Dengan alat snorkle, google, fin dan pelampung kami kenakan. Waktu terbaik yaitu jam 8 pagi dan 4 sore untuk snorkeling ria. Cuaca cerah dikarenakan cahaya matahari dapat menembus lautan. Sehingga kami dapat lebih jelas melihat biota bawah laut. Bisa merasakan sensasi menyentuh biota laut, mengejar ikan dan berusaha menyentuhnya menjadi acara yang mengasyikkan. Ikan yang tak hentinya berlenggok, menikmati terumbu karang yang beraneka ragam  sangat memajakan  mata. 







            Siang 30 Juni pukul 11.30 kami siap meninggalkan penginapan, setelah selesai beres-beres hingga rapi. Kapal feri 2 tingkat telah menanti, sekitar 3 jam perjalanan kami tempuh menuju Muara Angke. Dengan rogoh kocek Rp.320.000, 00 paket 2 hari satu malam kami sangat merasa puas. Sebelum melanjutkan ke perjalanan selanjutnya kami mampir sholat dhuhur dekat pom bensin. Angkot menuju mall kami naiki, berhenti di halte bus way. Bus trans Jakarta itu mengantar kami sampai Senen dan sayonara. Selamat berjumpa lagi sobat, persahabatan kita tak mengenal kasta dan akan terus menjalin silaturrohmi. Selamat menempuh hidup baru dan akan segera mendapatkan pendamping hidup kita.



                                                                                                            Serang, Penulis Afida Amrina