Thursday 21 November 2013

Cerpen lokalitas


                                                        Cinta Kanekes

            Malam belum terlalu larut, anak-anak masih rame menonton TV dirumah warga bukan Baduy. Seperti biasanya hingga halaman depan penuh anak kecil ada juga orang dewasa yang mengawasi mereka tiap malam hingga pukul 22.00. Rumah yang tak jauh dari perbatasan kampung baduy dengan warga biasa.Kalau saja peraturan ketua adat yang memperbolehkan suku baduy boleh ada listrik mungkin mereka juga mampu membeli dan bisa menikmatinya. Butuh hiburan itulah yang dirasakan anak Baduy ditiap harinya, selain kumpul bersama keluarga & teman. Tapi masih beruntung tak seketat Baduy dalam, ada beberapa yang bisa dilakukan Baduy luar layaknya masyarakat Banten biasa.
           
            Dasih adalah salah satu anak diantara mereka yang tak mau ketinggalan menonton TV . Dasih yang berkulit kuning bersih lagi manis dipanggil Teteh dari kejauhan,
Sih, geura atuh uwih...tos peuting Maklum saja jam menunjukan malam semakin larut membuat pekat bumi. Dasih tak bergeming dengan suara itu, asyik dengan sinetronnya.Tak disangka-sangka Joleha sang Teteh sudah berulang kali memanggilnya. Dengan rasa khawatirnya mencari-cari dintara kerumunan anak kecil.
           
            Brakk!!! “Oh hampura Teteh “, Rojali segera meminta maaf, seketika Rojali dan Joleha larut dalam pandangan pertama. Dalam hati mereka saling mengagumi. Jali yang perawakannya  tinggi besar lagi gagah dengan kulit kuning langsat berambut cepak hidung mancung menatap tajam Jo, begitu sebaliknya Jo sosok gadis bak pragawati yang dicat walk dengan kulit yang putih berseri rambut ombak dan berlesung pipi juga dagu yang tajam. Belum lagi wajahnya tanpa polesan sungguh ayu alami.Walaupun kelam hitam menyelimuti malam, ke_2 nya menatap dengan terang bercahaya rembulan sabit bertabur bintang. Tak seberapa sakit padahal pundak Jo tertabrak Jali, tapi Jali mengulang kembali minta maafnya dengan lembut. Senyum Jo tersimpul manis lagi menunduk malu mengiyakan bahwa ia telah memaafkan Jali. Entah mengapa jantung mereka saling berdetak kencang. Mungkinkah ini pertanda cinta?
           
            Belum sempat mereka berkenalan, Jo segera bergegas & kembali mencari Dasih. Jam menunjukan hampir tepat pukul 22.00, dengan tegas Dasih dibawa pulang untuk istirahat. Walaupun hari esok bukan untuk sekolah bagi warga Baduy luar ataupun dalam, tapi akses menuju rumah yang gelap karena tidak diperkenankan adat listrik masuk Baduy. Mereka kembali pulang ke peraduanya dengan penerang obor bambu. Kadang berpelit daun kelapa yang diikat panjang dan ujungnya dibakar. Namun kurang tahan lama. Jo masih asli keturunan Baduy luar yang dalam tiap hari sering berbusana baju berkancing depan warna biru navi dengan sarung khas Baduynya yang tak pernah lepas menyelimuti pinggang ke bawah.
           

            Begitu Jo sampai rumah, tak selang setelah bersihkan badan. Ia merebahkan badan dipembaringan tikar yang sederhana, matanya tak mau memeja. Jagad fikirnya dipenuhi wajah sosok pria yang menabraknya tadi. Jo gelisah dan penuh tanda tanya. Dasih mengagetkan hayalnya yang membumbung tinggi,
            “Kunaon Teteh, sakit? naha gelisah kitu?Dasih menanyakan keadaan, dengan malu Teteh menjawab
 “Teu nanaon, hayo atuh sare tos peuting”

Begitu pula ternyata Jali pun demikian. Alam bawah sadarnya  meyakinkan bahwa dialah sseorang yang akan mendampinginya kelak. Walaupun hati kecilnya sedikit mengelak karena hanya kecil kemungkinan dan penuh resiko. Banyak rintangan yang harus dihadang untuk mencapai titik satu cinta. Dalam hatinya kembali berucap apasih yang akan mengalahkan kekuatan cinta kalau sudah berbicara, sambil tersenyum. Matanya terus berbelalak padahal rasa ingin tidur setelah seharian beraktifitas. Dengan mimpi dan doa kuat Jali akan bertemu dengan permaisuri yang telah memasuki jiwanya yang selama ini dirindukan.
                                   
                        @@@@

            Mentari telah menyingsing, hari mulai beranjak siang, rasa penasaran yang kuat Jali menekadkan diri naik ke Kanekes. Sebuah desa kecil berpenghuni Baduy luar terdapat makhluk cantik yang ditemuainya semalem. Langkah pasti dengan tegas memelan saat menginjakkan di kampung itu, meneliti satu demi satu, memejamkan mata,“Tuhan,,,,temukan aku dengan makhluk cantik Mu itu......”. Tak selang lama, walaupun sedikit naik turun jalan berkelok. Kebetulan yang tepat matanyatertuju sosok Jo sedang menenun didepan rumahnya. Tampak khusyuk dengan kerjaanya itu. Aurat anggun masih terpncar kuat walaupun terlihat repot dan sedikit keringat didahinya, puji Jali dalam hati. Jali mencari seribu akal agar Jo bisa melihat keberadaannya agar dapat direspon. Awalnya Jali hanya berdesis,
“Ssst ..!! ssst ..!! ssst ..!!”
Namun sayang Jo masih tetap asyik dengan kesibukannya. Hmmm dengan segera cari akal lain. Jali melihat bongkahan tanah keras, dengan was was ia lempar menuju sasaran sambil menunggu orang disekitar lengang. Plukk!!! tanah kecil sampai tepat sasaran, Jo kaget dan mencari cari asal muasal itu tanah itu, Jali segera melambaikn tangan walaupun sedikit takut, sudah diduga gayung bersambut, Joleha pun melambaikan tangannya dan senyum yang mendekik.
”Engke peuting ketemu nya nonton TV,,,,?”pinta Jali dengan bahasa bibir dan atikulasi yang jelas.

                                    @@@@@

           
 Jali dan Jo berdandan rapi. Dasih yang sudah terlebih dahulu standby depan TV warga, maklum Baduy luar belum mengenyam bangku sekolah Hanya saja ada paket membaca sudah digalakkan pemerintah. Hingga mereka tak buta huruf. Hiburan gratis disela – sela waktu istirahat setelah siang waktu bermain. Malam belum terlalu larut Jo pamit ke orang tua  untuk menjemput Dasih lebih gasik. Akhirnya yang diinginkan datang juga  Jo dan Jali bertemu, setelah Jali menunggu lama ditepian bahu jalan. Terlihat sudah Jo, segera Jali mendekat dan memperkenalkan diri masing-masing. Hingga mereka sibuk dengan gelak tawa dan keasikan ngobrol. Tak sadar ternyata anak-anak satu persatu meninggalkan tontonan, seakan Joleha diingatkan untuk Dasih dan dirinya segera pulang. Dengan tergesa-gesa  ia pamit untuk mencari Dasih, tak lupa juga Jali segera meminta nomor telpon genggamnya dan berharap akan terus bersamanya kelak.
           
                                    @@@@

            Hubungan mereka sudah sejauh layaknya sepasang sejoli yang punya komitmen yang ingin melanjutkan ke jenjang mahligai rumah tangga. Mulai dari hari berganti minggu, bersalin hingga bulan. Walau tahu bakal banyak aral melintas dalam menuju perjalann suci itu.. Awal langkah Jali mengenalkan Jo dikeluarganya, Jo diajaknya ke rumah bertemu ibu. Sebelumnya Jali telah bercerita kalo dia telah menemukan tambatan hatinya dan ingin berlabuh pada sosok wanita itu dan dia adalah Joleha warga Kanekes. Tapi Kanekes dimata ibu sangat kurang tak berpendidikan, tak jelas agamanya yang menganut Sunda mimitan (Animisme & dinamisme). Maklumlah bentuk kekhawatiran seorang ibu yang merawatnya hingga dewasa. Berbeda dengan Bapanya Jali yang pendiam, Bapa lebih menyerahkan keputusan sama anak, “kalo anak seneng Bapa juga seneng, tapi alangkah baiknya kalo menikah dengan seagama”. Ujar Bapa.
Hingga saat Jo dirumah ibu mendiamkannya dengan pergi menuju kamar dan membanting pintu
 Dasar kanenes!!
Brakkkkk, 
Bapa menemani diam tanpa bicara disampingnya. Jali sudah berupaya keras merayu ibu agar keras kepalanya luntur, tapi keras hati Ibu tak mempedulikanya. Padahal dalam hati ibu menangis, ingin merelakanya besama orang lain tapi hati belum ikhlas. Begitu pula dengan Jo dengan tangan dinginnya yang mengepal menahan air mata agar tak sampai jatuh dipipi. Mungkin kalo bukan dirumah ia akan teriak sekencang mungkin. Jali mengerti akan keadaan ini, dua orang yang paling dia sayang saling tolak menolak. Melihat muka Jo yang memucat pasi akhirnya Jali membawa Jo pulang dengan pamit ke Ibu yang tak bersuara dan mengurung dalam kamar dan Bapa hanya berkata
 Sabar ya Nak...” sambil mengulur tangan menyalami, Jo pun cium tangannya, dan Jali mengelus-elus  punggung Jo yang hanya diam seribu kata.
           
            Menuju rumah Jo, Jo masih bungkam. Semakin lengang mendekati kediamannya dengan suasana asri. Sekitarnya saja pepohonan tinggi nan rimbun dengan jalan setapak tanah. Banyak terdengar suara jangkrik dan jenis serangga yang mengeluarkan bunyi bersaut-sautan. Jali masih memegang erat tangan Jo. Membiarkannya membisu. Tiba-tiba Jo memeluk erat Jali dengan tangisan yang mengisak-isak. Air matanya menderas membanjiri pipi putihnya.
“A akan tetap dalam pendirian A, A akan menikahi Neng  apapun rintangannya” tutur Jali sambil berbisik ditelinga Jo yang masih meluapkan tangisan yang tak terbendung lagi. Jo melepaskan pelukan itu dengan pelan dan
“Tinggalkan  Neng sendiri dulu, biar Neng tenang ”, ucap Jo, dan Jali memegang erat kedua tangannya “ A berharap semua akan terjadi sesuai impian kita”.
           
                                    @@@@@

            Jo masih saja diam. Sebenarnya orang tua sudah tahu akan itu, sayang mereka juga mengiyakan untuk tak mempersatukan mereka juga. Rembulan cahaya malam bersinar benderang, terangnya tak dihiraukan Namun demikian sepenuhnya tergantung keputusan Jo sendiri. Keluarga Jo masih mengikuti hukum adat, yaitu menikah sesama suku. Jo bukanlah keluarga kaya, yang harus mempersiapkan banyak seeng (dandang), padi sebagai mahar. Jo tak lagi menjemput Dasih nonton TV, Jo mengurung diri dalam kamar. Saat siang pun lebih senang menenun di dalam rumah tak seperti biasanya. Di depan teras bersama angin yang berhembu semilir. Kalau tidak membantu ibu memasak selebihnya habis waktu di leuit (rumah lumbung padi) menumbuk gabah hingga menjadi beras.Untuk mencharge hp saja menyuruh Dasih untuk minta setrum ke warga, dengan tarif Rp.2000 hingga penuh. Antara batin dan pikirnya masih bertengkar. Hatinya kukuh untuk tetap menyatukan janji suci mereka.
           
            Dalam diamnya selama ini Jo benar-benar mendapat pencerahan yang arif, dengan  pelan ia menyusun kata dengan sms
 “A, datanglah ke rumah.., Neng tunggu”
Saat itu dalam benaknya telah lama membandingkan antara keyakinan yang diyakini dari turun temurun  dengan agama Islam. Yang Jali anut setelah sekian lama berhubungan dengan Jali melihatnya sholat, Suara adzan yang kerap terdengar dari masjid terdekat dan bacaan alquran sebelum adzan tiba. Kini  menjadi pusat perhatian dan membuat hati Jo tenang dan damai. Terkadang hingga merinding saat mendengarkannya yang entah tahu kenapa. Kedamaian dan keindahanya lebih masuk logika. Jo melihat dengan sholat hidup lebih teratur, saat pagi mengingatkan untuk bangun, olahraga kecil yang menyehatkan dan hal yang lain yang tak bisa diungkapkan.
                       
                                    @@@@

            Sore sebelum senja tiba Jali datang memberanikan diri datang ke rumah, ternyata Jo sudah menunggu bareng keluarga, keputusan Jo atas dasar penuh hati terdalamnya dan keluargapun mengikutinya karena kebahagiaan Jo kebahagiaan mereka juga. Kebijakan orang tua Jo membuat yakin akan langkahnya.Dengan sanksi sosial yang berat yaitu di keluarkan dari Baduy luar. Kedatangan Jali disambut hangat. Jali mengutarakan maksud dan tujuannya walaupun keluarga tahu akan hal tsb. Tiba Giliran Jo membuka keinginananya untuk masuk Islam dan mengajak Jali membawa ke ulama  untuk menyaksikan syahadatnya. Dengan senyum, lebar Jali bernafas lega
 Alhamdulillah.....Subhanalloh nanti saya konfirmasi ke pak Ustad di Masjid segera” Jawab Jali tegas. Setelah ketegangan mencair mereka mulai ngobrol dengan hangat, dibarengi canda tawa kecil.
           
            Senja mulai memerah diufuk, Jali semangat pulang membawa kabar bahagia walaupun sedikit was was, takut akan  tidak diterima Jo dikeluarga besarnya. Adzan berkumandang seruan untuk menunaikan sholat. Sebelum makan malam Jali berbicara dengan keluarganya untuk mebicarakan hal serius. Jo membuka pambicaraan dengan pelan
 “Maafkan aku Ibu, bukannya aku tak patuh akan nasehat ibu, untuk kali ini beri aku kepercayaan apa yang aku pilih untuk hidup aku tanpa mengurangi rasa hornat dan sayang aku ke ibu, Jali sayang ibu Bapa, harapan Ibu bapak untuk mendapat menantu seiman sudah ada, alhamdulillah Jo insya Alloh muallaf, bukan karena Jali tapi karena hatinya dan akupun tak memaksanya untuk menjadi makmumku. Bapa tersenyum, “syukurlah....”Ucapnya. Ibu hanya diam, tak lama setelah itu dengan pelan “Terserahlah!!” penutup pembicaraanya dan meninggalkan pergi.

Rencana tlah tertata rapi cinta dan asa Jo & Jali akan terwujud dalam ikatan suci. Tepat dibulan Februari mereka menikah dimeja KUA Luwih Damar.