Cinta Kanekes
Malam belum terlalu
larut, anak-anak masih rame menonton TV dirumah warga bukan Baduy. Seperti biasanya
hingga halaman depan penuh anak kecil ada juga orang dewasa yang mengawasi
mereka tiap malam hingga pukul 22.00. Rumah yang tak jauh dari perbatasan
kampung baduy dengan warga biasa.Kalau saja peraturan ketua adat yang
memperbolehkan suku baduy boleh ada listrik mungkin mereka juga mampu membeli
dan bisa menikmatinya. Butuh hiburan itulah yang dirasakan anak Baduy ditiap harinya, selain kumpul bersama
keluarga & teman. Tapi masih beruntung tak seketat Baduy dalam, ada
beberapa yang bisa dilakukan Baduy luar layaknya masyarakat Banten biasa.
Dasih adalah salah
satu anak diantara mereka yang tak mau ketinggalan menonton TV . Dasih yang
berkulit kuning bersih lagi manis dipanggil Teteh dari kejauhan,
“Sih, geura atuh uwih...tos peuting “ Maklum saja jam menunjukan malam
semakin larut membuat pekat bumi. Dasih tak bergeming dengan suara itu, asyik
dengan sinetronnya.Tak disangka-sangka Joleha sang Teteh sudah berulang kali memanggilnya. Dengan rasa khawatirnya mencari-cari dintara kerumunan
anak kecil.
Brakk!!! “Oh
hampura Teteh “, Rojali segera meminta maaf, seketika Rojali dan Joleha
larut dalam pandangan pertama. Dalam hati mereka saling mengagumi. Jali yang
perawakannya tinggi besar lagi gagah
dengan kulit kuning langsat berambut cepak hidung mancung menatap tajam Jo,
begitu sebaliknya Jo sosok gadis bak pragawati yang dicat walk dengan
kulit yang putih berseri rambut ombak dan berlesung pipi juga dagu yang tajam. Belum lagi wajahnya tanpa polesan sungguh ayu alami.Walaupun kelam hitam
menyelimuti malam, ke_2 nya menatap dengan terang bercahaya rembulan sabit
bertabur bintang. Tak seberapa sakit padahal pundak Jo tertabrak Jali, tapi
Jali mengulang kembali minta maafnya dengan lembut. Senyum Jo tersimpul manis
lagi menunduk malu mengiyakan bahwa ia telah memaafkan Jali. Entah mengapa
jantung mereka saling berdetak kencang. Mungkinkah ini pertanda cinta?
Belum sempat mereka
berkenalan, Jo segera bergegas & kembali mencari Dasih. Jam menunjukan
hampir tepat pukul 22.00, dengan tegas Dasih dibawa pulang untuk istirahat.
Walaupun hari esok bukan untuk sekolah bagi warga Baduy luar ataupun dalam,
tapi akses menuju rumah yang gelap karena tidak diperkenankan adat listrik masuk Baduy.
Mereka kembali pulang ke peraduanya dengan penerang obor bambu. Kadang berpelit daun
kelapa yang diikat panjang dan
ujungnya dibakar. Namun kurang tahan lama. Jo masih
asli keturunan Baduy luar yang dalam tiap hari sering berbusana baju berkancing
depan warna biru navi dengan sarung khas Baduynya yang tak pernah lepas
menyelimuti pinggang ke bawah.
Begitu Jo sampai
rumah, tak selang setelah bersihkan badan. Ia
merebahkan badan dipembaringan tikar yang sederhana, matanya tak mau memeja. Jagad fikirnya dipenuhi wajah sosok pria yang menabraknya tadi. Jo gelisah dan penuh tanda tanya.
Dasih mengagetkan hayalnya yang membumbung tinggi,
“Kunaon
Teteh, sakit? naha gelisah kitu?”Dasih menanyakan keadaan,
dengan malu Teteh menjawab
“Teu nanaon,
hayo atuh sare tos peuting”
Begitu pula ternyata Jali pun demikian. Alam bawah sadarnya meyakinkan bahwa dialah sseorang yang akan
mendampinginya kelak. Walaupun hati kecilnya sedikit mengelak karena hanya
kecil kemungkinan dan penuh resiko.
Banyak rintangan
yang harus dihadang untuk mencapai titik satu cinta. Dalam hatinya kembali
berucap apasih yang akan mengalahkan kekuatan cinta kalau sudah berbicara,
sambil tersenyum. Matanya terus berbelalak padahal rasa ingin tidur setelah
seharian beraktifitas. Dengan mimpi dan
doa kuat Jali akan bertemu dengan permaisuri yang telah
memasuki jiwanya yang selama ini dirindukan.
@@@@
Mentari telah
menyingsing, hari mulai beranjak siang, rasa penasaran yang kuat Jali
menekadkan diri naik ke Kanekes.
Sebuah desa kecil
berpenghuni Baduy luar terdapat makhluk cantik yang ditemuainya semalem.
Langkah pasti dengan tegas memelan saat menginjakkan di kampung itu, meneliti
satu demi satu, memejamkan mata,“Tuhan,,,,temukan aku dengan makhluk cantik Mu
itu......”. Tak selang lama, walaupun sedikit naik turun jalan berkelok. Kebetulan
yang tepat
matanyatertuju sosok Jo sedang menenun didepan rumahnya. Tampak khusyuk dengan kerjaanya itu. Aurat
anggun masih terpncar kuat walaupun terlihat repot dan sedikit keringat didahinya, puji Jali dalam hati.
Jali mencari seribu akal agar Jo bisa melihat keberadaannya agar dapat direspon. Awalnya Jali hanya
berdesis,
“Ssst ..!! ssst ..!! ssst ..!!”
Namun sayang Jo masih
tetap asyik dengan kesibukannya. Hmmm dengan segera cari akal lain. Jali melihat bongkahan
tanah keras, dengan was was ia lempar menuju sasaran sambil menunggu orang
disekitar lengang. Plukk!!! tanah kecil sampai tepat sasaran, Jo kaget dan
mencari cari asal muasal itu tanah itu, Jali segera melambaikn tangan walaupun
sedikit takut, sudah diduga gayung bersambut, Joleha pun melambaikan tangannya dan senyum yang mendekik.
”Engke peuting ketemu nya nonton
TV,,,,?”pinta Jali dengan bahasa
bibir dan atikulasi yang jelas.
@@@@@
Jali dan Jo berdandan rapi.
Dasih yang sudah terlebih dahulu standby
depan TV warga, maklum Baduy luar belum mengenyam bangku sekolah Hanya saja ada paket membaca sudah digalakkan
pemerintah. Hingga mereka tak buta huruf. Hiburan gratis disela – sela waktu istirahat
setelah siang waktu bermain. Malam belum terlalu larut Jo pamit ke orang
tua untuk menjemput Dasih lebih gasik.
Akhirnya yang diinginkan datang juga Jo dan Jali bertemu, setelah
Jali menunggu lama ditepian bahu jalan. Terlihat sudah Jo, segera Jali mendekat dan memperkenalkan diri
masing-masing. Hingga mereka sibuk dengan gelak tawa dan keasikan ngobrol. Tak sadar ternyata anak-anak satu
persatu meninggalkan tontonan, seakan Joleha diingatkan untuk Dasih dan dirinya
segera pulang. Dengan tergesa-gesa ia
pamit untuk mencari Dasih, tak lupa juga Jali segera meminta nomor telpon
genggamnya dan berharap akan terus bersamanya kelak.
@@@@
Hubungan mereka
sudah sejauh layaknya sepasang sejoli yang punya komitmen yang ingin
melanjutkan ke jenjang mahligai rumah tangga. Mulai dari hari berganti minggu, bersalin hingga
bulan. Walau tahu bakal banyak aral melintas dalam menuju perjalann suci itu..
Awal langkah Jali mengenalkan Jo dikeluarganya, Jo diajaknya ke rumah bertemu
ibu. Sebelumnya Jali telah bercerita kalo dia telah menemukan tambatan hatinya
dan ingin berlabuh pada sosok wanita itu dan dia adalah Joleha warga Kanekes.
Tapi Kanekes
dimata ibu sangat kurang tak berpendidikan, tak jelas agamanya yang menganut Sunda
mimitan (Animisme & dinamisme). Maklumlah bentuk kekhawatiran seorang
ibu yang merawatnya hingga dewasa. Berbeda dengan Bapanya Jali yang pendiam,
Bapa lebih menyerahkan keputusan sama anak, “kalo anak seneng Bapa juga seneng,
tapi alangkah baiknya kalo menikah dengan seagama”. Ujar Bapa.
Hingga saat Jo dirumah ibu mendiamkannya dengan pergi menuju kamar dan membanting pintu
“Dasar kanenes!!”
Brakkkkk,
Bapa menemani diam tanpa bicara disampingnya. Jali sudah berupaya keras merayu
ibu agar keras kepalanya luntur, tapi keras hati Ibu tak mempedulikanya. Padahal dalam
hati ibu menangis, ingin merelakanya besama orang lain tapi hati belum ikhlas.
Begitu pula dengan Jo dengan tangan dinginnya yang mengepal menahan air mata
agar tak sampai jatuh dipipi. Mungkin kalo bukan dirumah
ia akan teriak sekencang mungkin. Jali mengerti akan keadaan ini, dua orang
yang paling dia sayang saling tolak menolak. Melihat muka Jo yang memucat pasi
akhirnya Jali membawa Jo pulang dengan pamit ke Ibu yang tak bersuara dan
mengurung dalam kamar dan Bapa hanya berkata
“ Sabar ya Nak...” sambil mengulur
tangan menyalami, Jo pun cium tangannya, dan Jali mengelus-elus punggung Jo yang hanya diam seribu kata.
Menuju rumah Jo, Jo
masih bungkam. Semakin lengang mendekati kediamannya dengan suasana asri. Sekitarnya saja pepohonan tinggi nan rimbun dengan jalan setapak tanah. Banyak terdengar suara jangkrik dan jenis
serangga yang mengeluarkan bunyi bersaut-sautan. Jali masih memegang erat
tangan Jo. Membiarkannya membisu. Tiba-tiba Jo memeluk erat Jali dengan tangisan yang
mengisak-isak. Air matanya menderas membanjiri pipi putihnya.
“A akan tetap dalam pendirian A, A akan menikahi
Neng apapun rintangannya” tutur Jali
sambil berbisik ditelinga Jo yang masih meluapkan tangisan yang tak terbendung
lagi. Jo melepaskan pelukan itu dengan pelan dan
“Tinggalkan
Neng sendiri dulu, biar Neng tenang ”, ucap Jo, dan Jali memegang erat
kedua
tangannya “ A berharap semua akan terjadi sesuai impian kita”.
@@@@@
Jo masih saja diam. Sebenarnya orang tua
sudah tahu
akan itu, sayang mereka juga mengiyakan untuk tak mempersatukan mereka juga. Rembulan cahaya malam
bersinar benderang, terangnya tak dihiraukan Namun demikian
sepenuhnya tergantung keputusan Jo sendiri. Keluarga Jo masih mengikuti hukum
adat, yaitu menikah sesama suku. Jo bukanlah keluarga kaya, yang harus
mempersiapkan banyak seeng (dandang), padi sebagai mahar. Jo tak lagi menjemput Dasih
nonton TV, Jo mengurung diri dalam kamar. Saat siang pun lebih senang menenun
di dalam rumah tak seperti biasanya. Di depan teras
bersama angin yang berhembu semilir. Kalau tidak membantu ibu memasak selebihnya habis
waktu di leuit (rumah lumbung padi) menumbuk gabah hingga menjadi beras.Untuk mencharge
hp saja menyuruh Dasih untuk minta setrum ke warga, dengan tarif Rp.2000 hingga
penuh. Antara
batin dan pikirnya masih bertengkar. Hatinya kukuh untuk tetap menyatukan janji
suci mereka.
Dalam diamnya
selama ini Jo benar-benar mendapat pencerahan yang arif, dengan pelan ia menyusun kata dengan sms
“A, datanglah ke rumah..,
Neng tunggu”
Saat itu dalam benaknya telah lama membandingkan antara keyakinan
yang diyakini dari turun temurun dengan
agama Islam. Yang Jali anut setelah sekian
lama berhubungan dengan Jali melihatnya sholat, Suara adzan yang kerap terdengar dari masjid terdekat dan bacaan alquran
sebelum adzan tiba. Kini menjadi
pusat perhatian dan membuat hati Jo tenang dan damai. Terkadang
hingga merinding saat mendengarkannya yang entah tahu kenapa.
Kedamaian dan keindahanya lebih masuk logika. Jo melihat dengan sholat hidup
lebih teratur, saat pagi mengingatkan untuk bangun, olahraga kecil yang
menyehatkan dan hal yang lain yang tak bisa diungkapkan.
@@@@
Sore sebelum senja
tiba Jali datang memberanikan diri datang ke rumah, ternyata Jo sudah menunggu bareng
keluarga, keputusan Jo atas dasar penuh hati terdalamnya dan keluargapun
mengikutinya karena kebahagiaan Jo kebahagiaan mereka juga. Kebijakan orang tua
Jo membuat yakin akan langkahnya.Dengan
sanksi sosial yang berat yaitu di keluarkan dari Baduy luar. Kedatangan Jali disambut hangat. Jali mengutarakan maksud dan tujuannya walaupun
keluarga tahu akan hal tsb. Tiba Giliran Jo membuka keinginananya untuk masuk
Islam dan mengajak Jali membawa ke ulama
untuk menyaksikan syahadatnya. Dengan senyum, lebar Jali bernafas lega
“Alhamdulillah.....Subhanalloh nanti saya
konfirmasi ke pak Ustad di Masjid segera” Jawab Jali tegas. Setelah ketegangan mencair mereka
mulai ngobrol dengan hangat, dibarengi canda tawa kecil.
Senja mulai memerah
diufuk, Jali semangat pulang membawa kabar bahagia walaupun sedikit was was,
takut akan tidak diterima Jo dikeluarga
besarnya. Adzan berkumandang seruan untuk menunaikan sholat. Sebelum makan
malam Jali berbicara dengan keluarganya untuk mebicarakan hal serius. Jo
membuka pambicaraan dengan pelan
“Maafkan aku
Ibu, bukannya
aku tak patuh akan nasehat ibu, untuk kali ini beri aku kepercayaan apa yang
aku pilih untuk hidup aku tanpa mengurangi rasa hornat dan sayang aku ke ibu,
Jali sayang ibu Bapa, harapan Ibu bapak untuk mendapat menantu seiman sudah
ada, alhamdulillah Jo insya Alloh muallaf, bukan karena Jali tapi karena
hatinya dan akupun tak memaksanya untuk menjadi makmumku. Bapa tersenyum,
“syukurlah....”Ucapnya. Ibu hanya diam, tak lama setelah itu dengan pelan “Terserahlah!!” penutup
pembicaraanya dan meninggalkan pergi.
Rencana tlah tertata rapi cinta dan asa Jo & Jali
akan terwujud dalam ikatan suci. Tepat dibulan Februari mereka menikah dimeja
KUA Luwih
Damar.