Rezeki yang Tak Terduga-duga
Roda kehidupan
memang berputar dan akan terus berputar. Alasan cinta yang mengerumun selalu
membuat kehangatan. Kesetiaan dan menerima apa adanya menjadi kunci kebersamaan
dalam suka dan duka. Lara duka, sedih bahagia bersifat sementara. Apapun
keadaan itu terbukti keseimbangan memaknai proses dinamika hidup. Menikmati itu
jalan yang terbaik diantara tawakkal, doa dan ikhtiar.
***
Seperti biasanya
sedikit mentari mulai tergelincir ke barat, aku baru pulang dari sekolah.
Hampir seminggu menu makan siang adalah lodeh kates atau pepaya. Menu pepaya
yang dicacah panjang-panjang dengan bumbu tumis yang menggoda. Emak sudah tak
mampu berbelanja lagi ke pasar. Sadar sekali kepahitan telah melingkari
keluarga kami. Mau mengeluh juga bagaimana malah harusnya bersyukur masih bisa
menelan bersuap-suap nasi. Bekal beras panen bulan ini masih bersisa hanya saja
untuk jajan, ongkos dan uang saku untuk anak-anak masih kurang. Di kebun
samping rumah Mbah yang terlihat hanya pepaya yang berbuah untuk dimakan. Ada
juga daun singkong sebagai lalab, menunggu beberapa hari kemudian Emak memasak
pakai santan.”Sesekali makan sayur berkuah” ujar beliau bijak.
Upah Bapa sebagai buruh tani belum dibayar, di kebunpun sedang tak
bermusim buah.
“Pa......Bapa.....”
adik bungsuku memanggil dengan lirih.
“Hmmm ….” saut Bapa
yang sedang tiduran di atas rusbang.
“Kata Bu guru,
diminta beli buku LKS Rp.10000 paling lambat 3 hari dari sekarang”
“Hmmm.....” Bapa menyauti
dengan nada yang sama.
“Pa, koq cuma hmmm
hmmm aja” ade bungsu telihat kesal, bibirnya manyun.
“Iya Nak, sabar
pasti secepatnya Bapa kasih uangnya kalau ada” ucap Bapa sambil bangun dari
pembaringannya.dan mengelus rambut hitam bocah kelas 1 SD itu.
Kegelisahan
terpancar dari raut muka emak dan bapa yang berusaha mereka sembunyikan.
Komunikasi kecil mereka terdengar olehku. Ade-adeku yang masih duduk di SD
menjadi prioritas, uang saku mereka sudah dipersiapkan. Mereka asik dibangku
meja makan menikmati sarapan bermenu gorengan dan acap kali dengan gorengan
saja. Tinggal Mba-Mbanya saja yang belum. Ongkos angkot dari rumah ke sekolah
selama masih berbaju seragam. Menurutku tak ada uang jajanpun tak apa yang
penting ada ongkos sampai sekolah toh bekal sarapan cukup menemani aktifitas
sampai pulang nanti.
Dari pintu depan
terdengar ada seseorang yang mengetuk pintu dibarengi ulukan salam.
“Wa alaykumussalam”
jawab Bapa sambil membukakan daun pintu.
“Kalau tidak salah
kamu itu...” Bapa mengais ingatan sambil menggaruk-garuk rambut berubanya yang
tak gatal.
''Enggih Uwak, saya
cucu almarhum, ini amplop ucapan terimakasih karena kemaren sudah membantu
pemakaman almarhum” dibarengi
mengulurkan tangan.
'' Ayo, masuk dulu,
silahkan duduk” Bapa mempersilakan ramah.
''Maturnuwun Uwak,
masih harus ke rumah yang lain, Assalamualaykum”
''Wa
alaykumussalam” Bapa masih bengong dan terheran-heran memegang amplop putih
yang beliau terima.
Subhanalloh wal hamdulillah. Syukur yang
teramat dalam Bapa panjatkan atas berkat Allah SWT. Karena sepanjang umur Bapa
membantu proses penggalian kubur siapapun tak pernah dibayar, baru kali ini
terjadi. Membantu proses penggalian liang lahat merupakan bentuk saling
membantu antar sesama tanpa pamrih oleh setiap warga dengan suka rela. Menurut
Bapa memang menjadi kebutuhan manusia untuk saling membantu. Rezeki Allah SWT
tak disangka-sangka sebagai makhluk ciptaanNya wajib untuk berikhtiar tanpa
meninggalkan akan kehadirat Nya.
Sebagai makhluk
sosial Bapa tak lepas dari acara
perkumpulan, termasuk memenuhi
undangan walimatul hitan. Saat pulang
anak-anak sudah terlelap tidur diatas ranjang kayunya. Padahal cangkingan
makanan berat itu belum termakan dan masih sangat utuh tanpa tersentuh. Bulan
sudah terbit, Emakku berinisiatif membawa cangkingan itu ke tetangga sebelah,
yang belum lama menjadi piatu setelah kepergian ibundanya dipanggil Sang Kuasa.
Yakin Emak biar pun kekurangan hidup untuk berbagi itu wajib dan tak harus
berbentuk materi.
Pagi terlampaui
sudah, aku melihat kerutan dimuka bapa makin terukir jelas. Dalam diamnya
menyernyitkan dahi seakan berpikir keras. Matanya nanar mengingat ucapan lirih
anak bungsu dan kakaknya memelas meminta uang untuk membeli buku LKS (Lembar
Kerja Siswa). Amplop itu tak mencukupi permintaan buah hati.
Segelas nteh tubruk
hitam tersanding diatas meja selalu menemani pagi Bapa. Biasanya pisang goreng, gemblong atau
gorengan tersedia. Singkong yang dipotong berbentuk balok dan digoreng tanpa
balutan apapaun kini mendampingi gelas itu. Kami sering meyebutnya balok,
cemilan ringan mengganjal perut.
****
Masih disambut
dengan lodeh kates, pastinya racikan bumbu tangan emak yang sedap. Sore belum
terlalu petang, Tungku di Pawon emakpun abunya sudah dingin. Pertanda emak
masak pagi hingga menjelang siang. Biasanya dulu tiap kali pulang sekolah emak
sibuk memainkan wajan dan perangkatnya dengan lincah. Peyek khas emak berkelana
hingga penjuru desa Adisana. Modal yang sedikit dan kebutuhan yang tak
terbendung membuat emak sementara tak selincah dulu. Berteman pekarangan
dibelakang rumah Mbah menanam benih-benih sayur dan tanaman lain yang
bermanfaat.
Senja baru saja
garang menampakkan garang merahnya. Sementara itu para bocah asik berlarian
kesana-kemari bermain. Suara guyon dan tapak kakinya jelas terdengar dari balik
dinding rumah. Tiba-tiba terdengar suara yang tak asing didalam rumah menyapa
kami. Ya, tumben sekali Mbah mampir ke
rumah. Sudah hampir 2 minggu ini beliau tak bertandang, hanya saja Mbah kakung
yang kerap mengunjungi kami.
''Nak....pisangnya
sudah ranum tuh di kebun belakang” suara Mbah meninggi.
“Rupanya ada Mbah
toh, koq ga lihat masuknya” ujar emak seraya menyulur tuk bersalaman dan cium
tangan beliau dan disusul Bapa.
“Iya Nak, tadi
lewat pintu samping rumah, maaf ga salam” ucap Mbah dengan menyunggingkan
bibirnya sambil membenarkan kain batiknya yang sedikit melorot.
“Ada apa Mbah, mau
nengok cucu nih?”
“Itu lho Nak, pohon
pisangnya dah siap ditebang, sayang nanti kalau sampai kebalap sama kalong”
dengan semangat dan sumringah Mbah menjelaskan.
Girang bukan
kepalang rasanya mendengar kabar tsb. Bapa segera mengambil pisau dan diantar
sendiri oleh Mbah putri karena Bapa tak melihat keberadaan pohon pisang itu.
Kembali tak disangka-sangka, padahal kebun itu sering Bapa kunjungi, namun luput
dari penglihatannya. Belum sampai dirumah, setandan pisang dengan 12 sisir itu
sudah ditawar tetangga dengan harga yang lumayan. Limapuluh ribu lebih dari
cukup untuk memenuhi permintaan buah hati dan sisanya untuk kebutuhan makan.
Hingga besok Bapa mendapat bayaran membantu mencangkul di sawah uwak Haji.
Sungguh benar ini
rezeki yang tak terduga-duga yang tak pernah diketahui melalui banyak jalan.
Sungguh janji Allah tak pernah ingkar, terealisasi dari ayatnya “min haitsu
laa yahtasib”. Maha luas Allah SWT dengan segala karuniaNya yang telah
memberi kenikmatan yang tak terhingga. Tak pernah meninggalkan hambanya yang
selalu memanjatkan doa dalam setiap ibadah dan dzikirnya.