Saturday 7 September 2013

Fiksi Cerpen Religi

                                    Rezeki yang Tak Terduga-duga


            Roda kehidupan memang berputar dan akan terus berputar. Alasan cinta yang mengerumun selalu membuat kehangatan. Kesetiaan dan menerima apa adanya menjadi kunci kebersamaan dalam suka dan duka. Lara duka, sedih bahagia bersifat sementara. Apapun keadaan itu terbukti keseimbangan memaknai proses dinamika hidup. Menikmati itu jalan yang terbaik diantara tawakkal, doa dan ikhtiar.
                       
                                                            ***
            Seperti biasanya sedikit mentari mulai tergelincir ke barat, aku baru pulang dari sekolah. Hampir seminggu menu makan siang adalah lodeh kates atau pepaya. Menu pepaya yang dicacah panjang-panjang dengan bumbu tumis yang menggoda. Emak sudah tak mampu berbelanja lagi ke pasar. Sadar sekali kepahitan telah melingkari keluarga kami. Mau mengeluh juga bagaimana malah harusnya bersyukur masih bisa menelan bersuap-suap nasi. Bekal beras panen bulan ini masih bersisa hanya saja untuk jajan, ongkos dan uang saku untuk anak-anak masih kurang. Di kebun samping rumah Mbah yang terlihat hanya pepaya yang berbuah untuk dimakan. Ada juga daun singkong sebagai lalab, menunggu beberapa hari kemudian Emak memasak pakai santan.”Sesekali makan sayur berkuah” ujar beliau bijak.
Upah Bapa sebagai buruh tani belum dibayar, di kebunpun sedang tak bermusim buah.

            “Pa......Bapa.....” adik bungsuku memanggil dengan lirih.
            “Hmmm ….” saut Bapa yang sedang tiduran di atas rusbang.
            “Kata Bu guru, diminta beli buku LKS Rp.10000 paling lambat 3 hari dari sekarang”
            “Hmmm.....”  Bapa menyauti  dengan nada yang sama.
            “Pa, koq cuma hmmm hmmm aja” ade bungsu telihat kesal, bibirnya manyun.
            “Iya Nak, sabar pasti secepatnya Bapa kasih uangnya kalau ada” ucap Bapa sambil bangun dari pembaringannya.dan mengelus rambut hitam bocah kelas 1 SD itu.
           
            Kegelisahan terpancar dari raut muka emak dan bapa yang berusaha mereka sembunyikan. Komunikasi kecil mereka terdengar olehku. Ade-adeku yang masih duduk di SD menjadi prioritas, uang saku mereka sudah dipersiapkan. Mereka asik dibangku meja makan menikmati sarapan bermenu gorengan dan acap kali dengan gorengan saja. Tinggal Mba-Mbanya saja yang belum. Ongkos angkot dari rumah ke sekolah selama masih berbaju seragam. Menurutku tak ada uang jajanpun tak apa yang penting ada ongkos sampai sekolah toh bekal sarapan cukup menemani aktifitas sampai pulang nanti.

            Dari pintu depan terdengar ada seseorang yang mengetuk pintu dibarengi ulukan salam.   
            “Wa alaykumussalam” jawab Bapa sambil membukakan daun pintu.
            “Kalau tidak salah kamu itu...” Bapa mengais ingatan sambil menggaruk-garuk rambut berubanya yang tak gatal.
            ''Enggih Uwak, saya cucu almarhum, ini amplop ucapan terimakasih karena kemaren sudah membantu pemakaman almarhum”  dibarengi mengulurkan tangan.
            '' Ayo, masuk dulu, silahkan duduk” Bapa mempersilakan ramah.
            ''Maturnuwun Uwak, masih harus ke rumah yang lain, Assalamualaykum”
            ''Wa alaykumussalam” Bapa masih bengong dan terheran-heran memegang amplop putih yang beliau terima.
Subhanalloh wal hamdulillah. Syukur yang teramat dalam Bapa panjatkan atas berkat Allah SWT. Karena sepanjang umur Bapa membantu proses penggalian kubur siapapun tak pernah dibayar, baru kali ini terjadi. Membantu proses penggalian liang lahat merupakan bentuk saling membantu antar sesama tanpa pamrih oleh setiap warga dengan suka rela. Menurut Bapa memang menjadi kebutuhan manusia untuk saling membantu. Rezeki Allah SWT tak disangka-sangka sebagai makhluk ciptaanNya wajib untuk berikhtiar tanpa meninggalkan akan kehadirat Nya.       

            Sebagai makhluk sosial  Bapa tak lepas dari acara perkumpulan, termasuk  memenuhi undangan  walimatul hitan. Saat pulang anak-anak sudah terlelap tidur diatas ranjang kayunya. Padahal cangkingan makanan berat itu belum termakan dan masih sangat utuh tanpa tersentuh. Bulan sudah terbit, Emakku berinisiatif membawa cangkingan itu ke tetangga sebelah, yang belum lama menjadi piatu setelah kepergian ibundanya dipanggil Sang Kuasa. Yakin Emak biar pun kekurangan hidup untuk berbagi itu wajib dan tak harus berbentuk materi.
           
            Pagi terlampaui sudah, aku melihat kerutan dimuka bapa makin terukir jelas. Dalam diamnya menyernyitkan dahi seakan berpikir keras. Matanya nanar mengingat ucapan lirih anak bungsu dan kakaknya memelas meminta uang untuk membeli buku LKS (Lembar Kerja Siswa). Amplop itu tak mencukupi permintaan buah hati.
            Segelas nteh tubruk hitam tersanding diatas meja selalu menemani pagi Bapa.  Biasanya pisang goreng, gemblong atau gorengan tersedia. Singkong yang dipotong berbentuk balok dan digoreng tanpa balutan apapaun kini mendampingi gelas itu. Kami sering meyebutnya balok, cemilan ringan mengganjal perut.

                                                ****

            Masih disambut dengan lodeh kates, pastinya racikan bumbu tangan emak yang sedap. Sore belum terlalu petang, Tungku di Pawon emakpun abunya sudah dingin. Pertanda emak masak pagi hingga menjelang siang. Biasanya dulu tiap kali pulang sekolah emak sibuk memainkan wajan dan perangkatnya dengan lincah. Peyek khas emak berkelana hingga penjuru desa Adisana. Modal yang sedikit dan kebutuhan yang tak terbendung membuat emak sementara tak selincah dulu. Berteman pekarangan dibelakang rumah Mbah menanam benih-benih sayur dan tanaman lain yang bermanfaat.
           
            Senja baru saja garang menampakkan garang merahnya. Sementara itu para bocah asik berlarian kesana-kemari bermain. Suara guyon dan tapak kakinya jelas terdengar dari balik dinding rumah. Tiba-tiba terdengar suara yang tak asing didalam rumah menyapa kami. Ya, tumben sekali Mbah  mampir ke rumah. Sudah hampir 2 minggu ini beliau tak bertandang, hanya saja Mbah kakung yang kerap mengunjungi kami.
            ''Nak....pisangnya sudah ranum tuh di kebun belakang” suara Mbah meninggi.
            “Rupanya ada Mbah toh, koq ga lihat masuknya” ujar emak seraya menyulur tuk bersalaman dan cium tangan beliau dan disusul Bapa.
            “Iya Nak, tadi lewat pintu samping rumah, maaf ga salam” ucap Mbah dengan menyunggingkan bibirnya sambil membenarkan kain batiknya yang sedikit melorot.
            “Ada apa Mbah, mau nengok cucu nih?”
            “Itu lho Nak, pohon pisangnya dah siap ditebang, sayang nanti kalau sampai kebalap sama kalong” dengan semangat dan sumringah Mbah menjelaskan.

            Girang bukan kepalang rasanya mendengar kabar tsb. Bapa segera mengambil pisau dan diantar sendiri oleh Mbah putri karena Bapa tak melihat keberadaan pohon pisang itu. Kembali tak disangka-sangka, padahal kebun itu sering Bapa kunjungi, namun luput dari penglihatannya. Belum sampai dirumah, setandan pisang dengan 12 sisir itu sudah ditawar tetangga dengan harga yang lumayan. Limapuluh ribu lebih dari cukup untuk memenuhi permintaan buah hati dan sisanya untuk kebutuhan makan. Hingga besok Bapa mendapat bayaran membantu mencangkul di sawah uwak Haji.

            Sungguh benar ini rezeki yang tak terduga-duga yang tak pernah diketahui melalui banyak jalan. Sungguh janji Allah tak pernah ingkar, terealisasi dari ayatnya “min haitsu laa yahtasib”. Maha luas Allah SWT dengan segala karuniaNya yang telah memberi kenikmatan yang tak terhingga. Tak pernah meninggalkan hambanya yang selalu memanjatkan doa dalam setiap ibadah dan dzikirnya.





                                   
           

Jalan-Jalan ke Pulau Tidung


                                                Reuni di Pulau Tidung

            Jarum jam pendek lurus angka 5 sedangkan jarum panjang lurus diangka 3. Pagi masih ranum, mata yang enggan berbelalak dipaksa melek, jari tangannya mengucek-ucek untuk menegaskan pandangannya yang samar. Nyawa belum sepenuhnya kumpul. Ragil terperanjat dengan jarum jam tsb.
            “Hak, Hak bangun, bangun!”
            “Hmmm aku shift malam koq” dengan nada sangau, mata terpejam Haki menyauti.
            “Ayo berangkat, kita sudah telat ditunggu teman-teman”
Dengan badan sedikit melunglai mereka bangkit dan bergegas. Di awali dengan aktifitas megambil air wudhu dan menunaikan sholat shubuh. Mereka berkemas, tak lupa rangsel hitam mereka gendong dan menemui kami yang telah menanti. Dalam hati ragil masih digelayuti seribu tanya, ternyata mindset Haki sudah terbentuk ritual jam kerja.

            Sedikit mundur dari jadwal, pukul 05.50 angkot trayek Senen-Kampung Melayu kami sewa untuk mengantar kami sampai Muara Angke. Tepatnya pelabuhan lama Angke. Sayang perjalanan tersendat sepanjang pertigaan SMK Penabur Muara Angke sampai pelabuhan padat merayap. Dengan semangat mengejar kapal, kami turun menapaki jejak-jejak niaga para nelayan. Mangkok-mangkok raksasa bertumpukan, jalan yang becek dan berbau amis kami lalui hingga mengular menaiki kapal Zhavir kami tunggangi. Sekitar pukul 08.00 WIB kami berangkat.




            Sambutan senyum ramah pemandu menyapa kami. Pukul 11.00 tiba di dermaga pelabuhan Pulau Tidung, satu dari gugusan pulau di kepulauan Seribu. Kmi diantar menuju homestay untuk istirahat. Di depan rumah sudah terparkir 10 sepeda. Tempat tinggal yang sangat homey dengan fasilitas AC yang sudah dingin hingga dinginya menusuk tulang. 2 kamar tidur yang rapi, satu kasur di ruang tengah tepatnya dekat TV dan makan siang yang sudah siap santap. Beranda berkursi kerajinan dari ban menjadi tempat favorit kami untuk ngobrol dan canda tawa.

            Lepas sholat dhuhur, kami ber 8, Ragil, Angga, Dollah, Imang, Puji, Haki, Heti dan aku beruntun menuju Jembatan Cinta, dipandu oleh Mas Diki. Tempat dimana kami menikmati panorama laut biru tanpa ombak. Sayang sekali aku tak bisa menggowes sepeda. Sementara mereka menggowes menuju pulau Tidung paling timur, aku hanya bisa membonceng motor bersama Imang. Iri sekali rasanya tidak bisa menikmati gowesan sepeda itu. Ditemani pemandangan ilalang dan pasir putih yang lembut mewarnai perjalanan kami.


           
            Karet panjang warna merah dan orange menyolok mata  menarik perhatian kami. Ya banana boot, kami akan bermain dengan laut. Jaket safety kami kenakan. Kami dibagi menjadi 2 kelompok. Dengan ditarik speed boat kami mengelilingi laut, diawali menuju terowongan di bawah  jembatan cinta, dan terus menjauh. Pemandangan yang maha luas dengan air laut yang bening. Kelok-kelok dan ayunan banana boot membuat jantung berdebar-debar. Brak! Kami dijatuhkan, banana bootpun terguling, begitupun kami. Sampai tertelan asin air laut. Mengagetkan dan seru. Untunglah di laut yang dangkal, hingga tak perlu waktu lama berenang ketepian. Sepertinya adrenalin kami belum puas untuk menjajal wahana yang lain, kami memilih water sofa. Pelampung besar dengan 5 cekungan itu kami duduki kemudian ditarik dengan speed boat. Sensasi pantulan dari gelombang air membuat kami terayun-ayun di tambah tarikan memutar setengah  lingkaran membuat tak henti-hentinya teriak dan semakin erat memegang tali.

           
            Hore! Senang rasanya dekat sekali dengan Jembatan Cinta. Masih kuyup badan ini, kami meniti jembatan cinta hingga jalan buntu. Jembatan yang diawali dengan bentuk melengkung seperti setengah lingkaran itu menjadi magnet para wisatawan. Dimana mempunyai mitos. Yang  pertama, jika ingin mendapatkan cinta maka berloncat dari ketinggian 10 meter ini, maka akan menemukan belahan jiwanya dan akan langgeng. Mitos kedua yaitu jika melewati degan berpegangan tangan bersama kekasih, niscaya hubungan akan awet dan berlanjut ke jenjang  pernikahan. Beragam mitos yang beredar membuat penasaran para wisatawan. Jembatan ini membentang dari arah barat ke timur yang menghubungkan Pulau Tidung Besar ke Pulau Tidung Kecil, dengan panjang sekitar 800 meter berdiri di atas cekungan laut (goba). Menurut guide, jembatan ini dibangun tahun 2005 silam dengan kontruksi kayu-kayu dan drum besar. Kini bersalin dengan bangunan permanen sejak 2012 dan tambahan bangunan 2 gazebo di tepi jembatan. Sepanjang Jembatan Cinta menjadi area konservasi terumbu karang. Kamipun tak lepas dari sorot kamera untuk mengabadikan momen kebersamaan itu.


            Setelah menikmati permainan laut, kami kembali ke penginapan dan bersih-besih badan. Selang lama,  Mas Diki mengajak kami ke Tidung paling barat, dimana kami akan  menikmati sunset. Kami kembali menggowes sepeda. Salah satu alat transportasi selain sepeda motor dan bemo (becak motor). Kendaraan bemo sendiri merupakan motor yang dimodifikasi, bagian depan motor dirakit becak. Jadi, penumpang ada yang di dalam becak ada juga yang membonceng. Aku kembali gigit jari karena tak bisa menggowes. Semilir angin menari ditengah keriuhan bersepeda, menyelusuri tepi pantai yang dipagari tumbuhan, pohon kelapa dan magrove. Sinar keemasan menjari-jari menuju peraduan. Pantulan kilaunya menembus dihamparan laut.


           
            Lebih dari sewindu semanjak pelepasan abu-abu putih akhirnya bertemu kembali atas inisiatif Haki. Ragil sebagai pemimpin rombongan, secara ini yang ke-2 kalinya Ragil menginjakkan kaki di Pulau Tidung. Ragil pulalah yang “pesta bujang” karena tak lama lagi akan melepas masa lajang. Sosok cowok metropolis yang dulu kurus kering. Bukan generasi muda yang lebih berorientasi budaya barat tetapi makna kebersamaan dan melepas kepenatan rutinitas pekerjaan sehari-hari. Senang rasanya melihat teman-temanku yang dewasa, mandiri, mapan dan berkepribadian. Dollah kelahiran Abu Dabi yang baru mudik masih dengan gaya kocaknya, Angga dan rokok yang tak pernah lepas, Imang dengan gaya punknya, Haki yang masih suka telmi, Puji yang merindukan kehadiran belahan jiwa dan aku kini berkacamata minus. Di bawah gemerlap galaksi bintang yang bertaburan menerangi malam, kami menikmati barbeque ikan laut dan cumi bakar, dipadukan dengan  sambal kecap yang mantab buatan Mas Diki
           
            Pagi ini kami diajak menuju Pulau Payung dengan kapal kecil yang kami charter. Setelah sarapan pagi di Beranda dengan nasi kota bermenu nasi goreng dan telur ceplok. Sekitar 20 menit dari Pulau Tidung. Pengaruh intensitas cahaya yang dominan membentuk pigmen alga yang berwarna hijau yang subur. Warna kehijauan laut merata dipermukaan laut. Ternyata Pulau Payung memang menjadi tujuan wisata bawah laut, khususnya untuk snorkeling. Dengan alat snorkle, google, fin dan pelampung kami kenakan. Waktu terbaik yaitu jam 8 pagi dan 4 sore untuk snorkeling ria. Cuaca cerah dikarenakan cahaya matahari dapat menembus lautan. Sehingga kami dapat lebih jelas melihat biota bawah laut. Bisa merasakan sensasi menyentuh biota laut, mengejar ikan dan berusaha menyentuhnya menjadi acara yang mengasyikkan. Ikan yang tak hentinya berlenggok, menikmati terumbu karang yang beraneka ragam  sangat memajakan  mata. 







            Siang 30 Juni pukul 11.30 kami siap meninggalkan penginapan, setelah selesai beres-beres hingga rapi. Kapal feri 2 tingkat telah menanti, sekitar 3 jam perjalanan kami tempuh menuju Muara Angke. Dengan rogoh kocek Rp.320.000, 00 paket 2 hari satu malam kami sangat merasa puas. Sebelum melanjutkan ke perjalanan selanjutnya kami mampir sholat dhuhur dekat pom bensin. Angkot menuju mall kami naiki, berhenti di halte bus way. Bus trans Jakarta itu mengantar kami sampai Senen dan sayonara. Selamat berjumpa lagi sobat, persahabatan kita tak mengenal kasta dan akan terus menjalin silaturrohmi. Selamat menempuh hidup baru dan akan segera mendapatkan pendamping hidup kita.



                                                                                                            Serang, Penulis Afida Amrina

Baduy Eksplorer


                                    Peradaban yang Ramah Lingkungan

Stasiun Walantaka meraup memoar
langkah awal menyempurnakan cerita
dimana aku, melebur alam, cinta dan peradaban
menempuh genap atas keganjilan
dari separo perjalanan kemarin yang tak rampung

betapa alam menyatu dalam jiwanya
menampik modernisasi globalisasi
kearifan karakter dengan pondasi kejujuran
pancang mata, bibir dan telinga
keep open mind, keep open source

           
            Mentari belum nampak dari balik awan, aku bergegas menggendong rangsel hitamku menuju stasiun Walantaka. Sengaja aku tak ikut kumpul bareng teman-teman di stasiun Serang. Karena stasiun Walantaka lebih dekat dari Perumahan Puri Citra. Stasiun yang memperkenalkanku mencumbui ular besi dan mendekatkan jantung hatiku untuk berlabuh. Namun sayang, sampai saat ini cinta itu masih diperjuangkan. Menanti  lebih baik dari pada terlewatkan, kata itu menghiburku yang menanti sendiri. Aku datang lebih awal 20 menit. Tepat pukul 07.05 WIB kereta menyala-nyala datang, di sambut si keriting Wayang menyapaku seru  “Teteh Ida....”  Senang rasanya bertemu mereka. Kereta melaju mengantarkan kami hingga stasiun rangkas.

            Dari stasiun Rangkas, angkot merah mengantar kami ke terminal Aweh menuju Ciboleger. Aku termasuk kelompok 2 yang dipimpin oleh Hilman Sutedja. Mobil elf satu-satunya kendaraan menuju Ciboleger, yang hanya ada tiap satu jam sekali. Bunyi mesinnya  menderu-deru tiap kali tanjakan yang bertubi-tubi, belum termasuk liuk-liuk jalan dan jalan turunan. Ya, Baduy jadi tujuan utama kami. 
           
            Suku Baduy adalah satu dari sekian suku yang ada di Indonesia. Suku yang tidak mau di campuri dengan dunia luar dan modern. Masyarakat Baduy sendiri suka menyebut dirinya Urang Kanekes. Namun para peneliti dan sebagian besar masyarakat Indonesia menamakan suku ini Baduy karena daerahnya diapit oleh 2 gunung Baduy atau bisa juga diadaptasi dari masyarakat Badawi yang pada zaman dahulu memiliki gaya hidup mirip orang Kanekes.




            Hujan mengguyur Baduy Luar, terpaksa perjalanan dipending menanti reda. Sekitar pukul 10.30 WIB perjalanan dimulai. Walaupun aku kelompok 2 tapi langkah cepat  kakiku bisa menyusul kelompok pertama, sampai di tujuan utamapun kami (Erna, Asep, Doli, Salin, Yulian, Antonio, Imang, Nurul dan si cilik nan tanggung Daffa) orang-orang yang pertama menginjakkan kaki di Baduy Dalam. Sedikit egois memang tidak mengutamakan kebersamaan team, yang konon salah satu dari kami banyak sekali mengalami kendala. 


            Semua sistem menggunakan kehidupan tradisional. Baduy dalam sendiri terdiri dari 3 wilayah utama yaitu Cikeusik, Citawarna & Cibeo. Cibeo inilah tujuan kami, tepatnya rumah Kang Juli  (calon ayah yang kini istrinya hamil tua usia 8 bulan). Mereka menggunakan dialek sunda. Salah satu ciri khas bahasa sunda dialek kanekes adalah menggunakan kata kami untuk menyebut saya dan kata ganti dia untuk menyebut kamu atau anda.

            Desa Kanekes dipimpin oleh seorang kepala desa yang disebut jaro. Seluruh masyarakat Baduy dipimpin oleh seorang pemimpin adat tertinggi yang disebut Pu'un. Jabatan Pu'un tidak dibatasi oleh waktu, sehingga jabatan ini ditempati oleh orang yang dianggap memiliki kharisma yang tinggi sebagai pemimpin serta harus memiliki kemampuan untuk bertahan selama mungkin dalam jabatan tsb.
           
            Tanjakan cinta merupakan tanjakan momok yang paling terjal dari sekian banyak tanjakan. Dikatakan tanjakan cinta karena diharapkan ketika terengah-engah menapaki tanjakan ada seseorang yang kuat (laki-laki) dapat menopang yang lemah (perempuan) dengan mengulurkan tangan cintanya. Bersyukur sekali aku dapat melampauinya dengan mudah. Tongkat kayuku cukup membantuku menopang tubuhku yang ceking, ditambah kekuatan doa yang tak berujung.
           
            Dari perjalanan kami banyak menemui jembatan bambu yang membelah sungai-sungai di Baduy. Jembatan ini bangun tanpa menggunakan paku. Memerlukan banyak bambu yang diikat simpul dengan ijuk sambung menyambung. Dengan ketinggian dan panjang jembatan mencapai belasan meter. Strukturnya yang melengkung dibuat demikian supaya lentur ketika menahan beban yang lewat di atasnya. Menurut pak Samsan guide  kami, untuk ukuran jembatan kecil seperti di belakang Cibeo bisa dibangun 2 jembatan dalam sehari yang dikerjakan dengan  gotong royong.

            Rasanya seperti dalam film kolosal, biasanya kalau bertamu disajikan kue, lain untuk ini. Kami disajikan gula aren sebagai camilan. Bumbung-bumbung sebagai gelas disajikan bersama botol kaca coklat yang gendut berisi air minum. Kamipun menuang sendiri. Ada juga berjejer diatas tampi dan tertata rapi yang di cangkolkan. dirak  duri-duri buatan dari bambu. Dengan pelita berbahan bakar minyak goreng berwadah batok bersumbu tali. Tidak terlalu terang, tetapi cahayanya lumayan menerangi dibalik rumah bilik beratap susunan daun kelapa bertumpuk hitam  ijuk. Kami menghabiskan malam dengan makan malam, tanya jawab dan melepas lelah. Di atas potongan-potongan bambu yang dipupuh hingga pipih dan melebar atau yang disebut talupuh. Lucunya lagi kami ditawari air untuk wudhu didalam bumbung tinggi berlubang 2 kanan kiri. Air dan wadahnya lebih berat wadahnya karena tidak memakai ember lebih berat lagi kebanyakan yang membawa dari sungai itu para ambu.

            Ada satu lagi jembatan yang sangat unik dan luar biasa yaitu jembatan akar, yang panjangnya sekitar 25 m di atas sungai Cihujung. Jembatan ini kami temui menuju kembali ke Ciboleger, yakni dengan memanfaatkna akar dua pohon karet yang besar dikedua sisi sungai yang saling dililit/dipilin membentuk anyaman berbentuk jembatan, sehingga dapat digunakan orang untuk menyeberangi sungai. Di bawah sungai itu, kami manfaatkan untuk istirahat. Menikmati sejuk air beserta deras aliran air diantara tebing cadas dan bebatuan raksasa. Sungguh suatu karya yang hebat yang tidak dijumpai di kota-kota besar. Ini adalah karya di dunia nyata tidak sekedar fiksi seperti jembatan akar yang terlihat di film Avatar.



            Perjalanan yang kami tempuh sekitar 27 km, memang rute yang berbeda. 12 km keberangkatan dan 15 km perjalanan pulang. Sepanjang perjalanan banyak dijumpai  pohon bambu  di perkampungan Baduy, tidak lain hal ini berperan membantu bumi menghadapi pemanasan global, karena penanaman bambu seluas satu juta are akan mengurangi hingga 4.8 juta ton emisi CO2 pertahun.

            Satu dari sekian contoh Jembatan bambu pada kampung Gajeboh yaitu memanfaatkan rangkaian bambu besar dan panjang. Merupakan karya besar yang benar-benar indah dipandang mata dengan kontruksi yang ramah lingkungan. Begitu banyak kearifan budaya lokal dari salah satunya kita belajar untuk menghargai lingkungan dan alam sekitar.
           
            Minggu sore, 26 Mei 2013 ketika matahari mulai menggelincir ke barat kami pulang dengan berkendara truk. Kami dibagi 2 truk. Kebersamaan yang tak pernah terlupakan, decak kagum peradaban yang melebur alam. Canda tawa mengisi kotak sempit itu, aku hanya sebagai pendengar. Liaty, Erna, Doli dan Fidya asik bersaut-sautan puisi tentang awak Baduy. Tak kalah hebohnya Sarah dan Doli menjadi bahan candaan atas peristiwa dramatis mereka. Minggu siang Doli bak hero menyelamatkan Sarah yang hampir terjatuh di jurang jalan setelah jembatan akar. Namun hp Doli juga terjatuh. Doli panik dan lebih memprioritaskan hpnya kemudian Sarah tertolong dengan susah payah. Adzan magrib dan Isya kami melewatinya di jalan. Matahari benar-benar lenyap dari peraduanya kini berganti kelam malam. Sambil menunggu jalanan yang tersendat akibat perbaikan jalan, kami terlelap dikotak itu. Hingga  tiba dan sayonara di Rumah Dunia.