Thursday 7 April 2016

Menguras dan Mengurus Andon di KUA


Mengurus Andon di KUA

Merencanakan menikah tentu dilanjutkan dengan proses mengurus persyaratan di kantor pemerintah. Menjadi warga yang baik sudah seharusnya mengikuti prosuder yang ada. Aku sendiri terlahir dan besar di daerah ngapak, Bumiayu. Seiring kebutuhan mencari pekerjaan saat itu disesuaikan dengan tempat tinggal. Yah, sekarang KTP, KK, Paspor menjadi warga Kota Serang, tepatnya Perumahan Puri Citra, kampung Pipitan.

Sekedar berbagi pengalaman saja, Senin 04/04 aku mengurus surat numpang nikah. Sebagai salah satu syarat yang diajukan ke Kantor Urusan Agama (KUA) agar bisa menikah di tempat yang diinginkan kedua mempelai. Rencana nikah di akhir April akan diselenggarakan.

Mengurus berkas persyaratan nikah itu gampang-gampang susah. Menjadi sedikit rumit tidak lain demi kenyamanan kita sebagai warga negara yang taat hukum dan nantinya akan terlindungi atas ikatan hukum itu. Hikmah salah satunya tidak menggampangkan urusan nikah, tidak cukup menikah syah secara agama saja. Melainkan syah secara hukum adat, negara dan agama itu sendiri. Begitu pula soal :maaf cerai. Yah, menikah berbicara surat dan kawin bicara menyalurkan urat hehe

Berikut berkas yang harus disiapkan untuk mengurus surat numpang nikah.
a. Fotocopy KTP
b. Fotocopy KK
c. surat pengantar RT & RW
d. Ijazah pendidikan terakhir
e. Bawa foto 2×3 2 lembar, 3 x 4 2 lembar (warna merah untuk tahun kelahiran ganjil dan biru untuk genap)
f. Bawa juga Fotocopy KTP orang tua (buat jaga-jaga daripada bolak balik)


Sesampainya di kelurahan yang sepi pengunjung, aku ditemani kakak ipar disambut ibu berseragam dan seorang bapak. Obrolan panjang itu menggelar banyak cerita dan diujung obrolan perempuan itu mengingatkan kami tentang (biaya) administrasi yang berbeda. Sebab, pada umumnya yang mengurus surat numpang nikah ( andon) pihak mempelai laki-laki, jadi harganya berbeda, menurutnya.

Aku dibawa masuk sambil mencocokkan data yang ada dengan pertanyaan seputar identitas itu. Petugas kelurahan itu mengetik berkas berikut:
>>Surat N1 ini berisi surat keterangan untuk nikah
>>Surat N2 ini berisi surat keterangan asal-usul
>>Surat N4 ini berisi surat keterangan tentang orang tua

Tidak menguras waktu lama, jarak mengetik berkas dan mencetak menjadi lembaran kertas. Yang menjadi mahal adalah tanda tangan lurah tidak bisa digantikan goresannya. Tidak ada yang berwenang, kecuali ya beliau dengan kesibukannya apel dan rapat.

Dengan kebijakan petugas kelurahan kami disarankan pulang dahulu. Lurah biasanya kembali sebelum dhuhur tiba. Kemudian kami bertukar nomor telpon untuk memudahkan komunikasi. Dan benar, beberapa menit sebelum adzan berkumandang panggilan dari petugas kelurahan.

Saat ditemui di meja tugas, nyatanya bukan fisik Bu Lurah. Melainkan sekdes (carik) yang berteman segelas kopi dan putung-putung rokok didalam asbak diruangan berpendingin. Kembali kami diingatkan tentang biaya administrasi dengan uraian yang panjang lebar. 450 ribu tarif yang dikenakan untuk surat andon. Jujur, itu membuat tertegun kaget bukan kepalang. Secara isi dompet hanya 200 ribu. Kakak iparku mencoba menawar, dengan keberatan yang sangat hanya bisa turun 50 ribu.

Begini penjelasannya carik yang berseragam itu, "petugas kelurahan tidak ada dan bukan PNS. Mereka yang bekerja posisinya hanya diperbantukan dan tidak ada gaji dari pemerintah. Beberapa tahun lalu ada, meski 3 bulan  sekali tapi lancar. Tetapi, dengan kepemimpinan yang sekarang dan UU desa belum membuat petugas kelurahan sejahtera. Posisi disini kelurahan bukan desa, jadi kita tidak termasuk dari dana desa itu. Iya saja, untuk membuat KK, KTP petugas bisa saja dibolehkan menandatangi berkas untuk diajukan untuk proses selanjutnya. Tapi, urusan nikah menjadi catatan penting dan tidak boleh sembarangan untuk bertanda tangan"

Blitz itu menyala saat memotret carik yang masih ngalor ngidul bercerita beserta pecahan uang ratusan ribu itu. Kami memendam geram masing-masing. Ada banyak pertanyaan dan hujatan yang ingin dilontarkan. Namun tertahan dan muka garang dan gelisah tak bisa disembunyikan. Sementara carik menerus menatapku curiga dan menerangkan panjang lebar. Dan Kakak Ipar ku mencoba menengahi dan menyikapinya dengan bijak.

Menurut keterangannya, "200 ribu itu sebagai pengganti upah transport, upah ngetik, tinta pena, kertas dan toner printer. Itu pun ia tak menelan sendiri, nanti akan dibagi ke petugas yang lain. Sedang 200 ribu sisa untuk petugas KUA, soalnya, nanti dari petugas Kasos KUA yang mengawal kami dari sini"  cukup mengembangkan sebaris senyum pertanda kami pun sepakat.

Sesampainya di KUA, berkas sudah lebih dahulu diserahkan ke petugas tata usaha oleh kasos yang mengawal tadi. Sambil menunggu berkas itu diproses, aku menanti proses wawancara perihal nikah dengan gaya santai. Dari tata usaha dilanjutkan berkas dilimpahkan ke penghulu. Beliau seorang yang bergelar haji, sambil menyeruput kopi, sesekali menyantap sepotong kue yang dicelup kekopi itu. Lelagi yang diingatkan soal biaya administrasi. Aku memanggil kasos itu, dan bisik ringan empat mata cukup mewakili.

Menyikapi peristiwa hari itu aku menarik perhatian yang cukup mengelus dada. Di ruang kantor depan sudah tertempel banner himbauan tidak memberi sumbangan berbentuk apapun terhadap petugas, kecuali yang diatur undang-undang. Ini tidak membahas soal ikhlas atau tidak ikhlas memberi. Memandang dari jauh soal perhatian pemerintah terhadap pelayanan masyarakat. Jika mereka benar tidak digaji hingga dengan cara memungut upah dari warga kecil itu hal yang memprihatinkan. Sementara pejabat tinggi dengan gaji dan tunjangan banyak menghidupi hidupnya bermegahan. Dari situlah korupsi itu terbentuk dan membudaya. Harusnya kesejahteraan bukan saja dilibatkan para petinggi tapi didalamnya termasuk pamong, pelayan masyarakat.

Masih ingat penuturan carik dan pengalaman pribadi waktu membuat KK. Membuat KK dan Ktp akan lebih cepat bila diserahkan kepada petugas, dengan syarat ada biaya yang ditentukan. Sementara mereka yang datang sendiri biasanya dibuat acuh tak acuh oleh petugas, baik dari kecamatan atau dinas kependudukan. Maka dari itu, banyak orang kembali ke petugas untuk mengurus urusan berkas kependudukan dan menyerahkan uang terimakasih.

Ini menjadi pekerjaan besar pemerintah yang menjaring para kepala daerah untuk memperhatikan lebih kesejahteraan pamong desa. Minimal meringankan biaya hidup yang serba mahal dan tidak membuat susah masyarakat kecil disekitarnya.




Saturday 2 April 2016

Memutuskan Jodoh


Memutuskan Jodoh

Dititik mendekati ujung sabar ada jalan lain yang timbul ke permukaan. Mengulik dari kisah pribadi,  saya berharap ini tidak termasuk bagian dari riya. Berbagi saja, toh banyak orang yang merasakan apa yang saya rasakan namun belum mampu dituang dalam paragraf demi paragraf. Keresahan itu sudah mengendap lama dibenak hati dan pikiran. Yang masuk dari sorot pandang mata dan runcing telinga suasana sekitar. Ketika teman sebaya dipenuhi timeline mengumbar foto anak, beserta cerita tumbuh kembangnya, ketika obrolan tentang kebutuhan suami, membicarakan mertua, memusyawarahkan mudik, obrolan membandingkan harga minyak merk yang satu dengan yang lain dan lain-lain. Memilih diam dan berpura-pura tidak mendengar  sementara waktu sepertinya langkah yang baik, meski disitu ada pelajaran yang dibalut iri hehe (gue kapaan? Gue kapaan) sambil menggerutu

Awal tahun ini dimulai peperangan batin dan psikis yang cukup membuat terguncang. Ada balutan egois jugak, ketika adikku memilih untuk wisuda ditemani pacarnya. Seketika itu, sebagai kakak memutuskan untuk tidak menemani acara wisuda jika harus berbarengan dengan pacarnya itu. Walhasil adikku menyingkirkan lelaki itu dan saya bersama keluarga mendampinginya diacara menyematkan gelar sarjana. Tapi dilain waktu, masih dalam satu hari lelaki itu datang saat malam dan kembali datang disiang harinya. Saya envy, iyya. Lelaki itu datang bertubi-tubi didepan mata dan keluargaku saat kondisi rumah dalam renovasi yang masih banyak material dan debu. Menjadi kakak yang akan dilangkah adiknya untuk yang kedua kali rasanya berat. Ukuran ikhlas diri tidak semudah lidah tanpa tulang berucap. Bukan tanpa usaha untuk tegar dan mencoba tenang. Tapi gemuruh hati dan perasaan tidak bisa dibohongi. Bukan pula soal mitos tentang adat langkahan atau mengenal istilah pamali atau hal tabu. Ada banyak kegelisahan, ketakutan yang tak berdasar. Terkesan lebay? entahlah, posisi saat itu dalam gusar, jika ada bisikan setan itu masuk tentu sangat mudah menghasut.

Kemudian berganti hari, "Mba, mau dilangkah apa?" di sore yang tenang seakan menjadi mencekam. Kalimat itu seperti sambaran petir, padahal waktu lamaran dan nikah belum tayang dan terlaksana. Sebagai adik yang baik, harusnya mencoba bisa menjaga perasaan wanita, terlebih kakak kandungnya. Yang sangat sering berbagi suka duka dan keluar dari rahim yang sama. Ada letupan emosi "mobil" ujarku dengan cepat. "Mba, aku orang gak punya, calon ku juga sama orang gak punya, masak mobil?" Nada bicaranya sedikit tersendat ditenggorokan. Sambil berlalu,  saya masih saja nyinyir dengan ketidak berpihakan keadaan menurutku. Keadaan yang sama, tepat tiga tahun yang lalu. Adikku meninggalkan langkah dengan menelan ucapan tak terucap dan menahan tangis.

Ketika dihadapan masyarakat sebenarnya sudah biasa. Hanya saja bentuk khawatir dari orang tua yang menginginkan yang terbaik buat anaknya. Terkadang untuk mengungkapkan kasih sayang itu dengan cara mereka sendiri. Apa daya, harapan bisa dilayangkan oleh setiap makhluk yang bernapas, namun kembali pada ke Tangan Penentu.


Becermin dari rentetan peristiwa itu, rasanya tidak ingin mengalah dengan keadaan. Tabungan yang tak seberapa sudah lenyap untuk urusan rumah. Awal niat menabung untuk persiapan menikah. Kerudung dengan ukuran kecil dan berbahan paris saya sumbangkan kepada lembaga yang membutuhkan. Kebetulan dalam grup whatssapp ada yang membagikan info berbagi hijab. Begitu pula kemeja-kemeja yang masih laya k pakai itu disumbangkan juga. Argh, lega rasanya barang-barang yang dilemari tidak lagi penuh. Niatan hijrah melangkah kearah yang lebih baik sudah terlewati satu tahap. Kerudung perlahan berganti menjadi ukuran lebih lebat dan tentu menguras badget.

Tak cukup itu, disepertiga malam akhir terbangun dan mengadu. Tersedu sedan dengan bait-bait munajat mengharap disegerakan jodoh. Terurai rinci kriteria lelaki calon imam yang didamba usai salam. Lelaki sholeh menjadi prioritas. Saat hujan melebat, saay berbuka puasa, usai 5 waktu dan waktu mustajab lainnya selalu meminta, menyebut kriteria jodoh. Pernah menyebut seseorang jika ingat. Wujud ikhtiar dengan mengikuti grup pencarian jodoh di sosmed, mengadu dengan salah seorang ustad dan ditaarufkan dengan lelaki yang menurut rekomendasi beliau sholeh, namun tak berlanjut hingga tahap selanjutnya.

Jodoh takkan kemana, itu lah yang tepat menggambarkan saat ini. Lelaki yang tbuh kembang bersama diusia dini,  kembali mendekat. Untuk kedua kalinya mengajak menikah pada tahun 2014 silam. Proposal itu kutolak dengan alasan cicilan keberangkatan umroh masih panjang dan ihwal lain yang tak ku sebutkan. Awal Maret 2016, berulang kali mencoba yakin, dengan banyak pertimbangan. Beberapa kali pertanyaan kesiapan sejauh mana selalu saja terucap siap. "Aku tak punya tabungan" selorohku, "Aku juga tidak mempertanyakan tabunganku, kamu menjadi bagian dari hidupku saja lebih dari rasa syukur" jawabnya. Berkali-kali meminta mengerti akan keadaanku yang masih merasa menanggung biaya kuliah adik bungsuku dan beberapa urisan rumah yang lain. Hu um, aku memutuskan pencarian jodoh dan memutuskan pilihan.

Lelagi dia meyakinkanku dan mengajaknya pulang. Kembali ke tanah kelahiran menikmati suasana dipinang. Sampai tiba di 26 Maret, dia dan keluarga besarnya datang ke rumah. Meniupkan ruh bangkit dari gusar dan mengembangkan harapan untuk mengurai masa depan. Ternyata, lelaki itu sudah memendam suka denganku sejak di bangku SD. Lelaki yang menyebut-nyebutku dalam larik-larik doa. Lelaki biasa yang tidak terlalu tampan, penggemar sekaligus pengguna vespa dan gemar manjat gunung. Sholeh? Dari obrolan dan sikap kami mempunyai kesamaan beranjak dan bergegas hijrah untuk menjadi baik. Lelaki yang dulu dicap bandel bersalin menjadi lelaki dewasa yang berkepribadian bijak.

Rencananya akhir April ini mengetuk palu untuk berganti status menjadi pasutri. Dengan keterbatasan yang ada, sedikit diselimuti khawatir. Memanjat doa agar diberi kemudahan tiada henti diucap. Sebab, nyatanya lelakiku tidak banyak materi untuk menggelar resepsi. Pantas saja, diawal kesiapan itu tak mau lugas mengutarakan nominal uang yang ada. Sederhana saja dan dicukup-cukupi. Mungkin, jika lugas nominal itu disebutkan, aku sudah menarik diri dari kemarin. Dan tidak terjadi cincin itu melingkar dijari manisku. Ah, dasar memilih ka berhasil meluluhkah. Yang ada sekarang semoga rizki dari penjuru arah mata angin menghampiri. Mengiringi hari-hari hingga menjelang hari sakral dan terus mengiringi dikehidupan rumah tangga kami. Keputusan keluarga, kami mendahului pernikahan adikku. Meskipun adikku dilamar dahulu awal Februari lalu. Yakin, janji Allah tak ingkar. Jodoh datang disaat yang tepat menurut prasangka hambanya