Sunday 18 October 2020

Buruh yang memanusiakan manusia

 



Mengulas kembali soal buruh dan yang terjadi di lapangan saat bekerja. Tulisan kemarin yang berjudul Saya Buruh Di Pabrik Sepatu. 60 : 40 tenaga kerja didominasi kaum perempuan. Kawasan pabrik yang meliputi berbagai jenis sepatu bermerk mendunia. Konon, pabrik ini menjadi kawasan terbesar se Asia tenggara. 


Dengan bekerja adalah kehormatan dan harga diri seorang laki-laki juga bekerja, dalam arti menafkahi untuk kepala keluarga. Bagi kaum perempuan yang bekerja adalah pilihan masing-masing. Pilihan menjadi buruh sama dengan karyawan, yang artinya bawahan yang diminta untuk memenuhi permintaan bos. Secara otomatis harus memiliki mental untuk melayani. Mental kuat untuk menyajikan sesuai apa yang diinginkan. Gampang? Iitu berproses. Semakin mengenal semakin paham, bisa karena terbiasa. Butuh mental kuat saat memulai belajar, ada kesalahan itu pasti. 


Kekerasan verbal atau non verbal yang terjadi di lapangan selalu ada penyebab. Biasanya karena masalah, ya tidak mencapai target dan kualitas yang tidak sesuai. Kadang, karena dibawah tekanan dari atasan dan membendung emosi lalu tumpah menyalurkan ke bawahan. Wanita memang terlahir memiliki banyak emosi, baperan namun tidak rapuh.


Begini, kebanyakan buruh pabrik di pabrik sepatu adalah kaum hawa. Perempuan memiliki kecenderungan untuk mengatasi tekanan atau masalah dengan strategi koping yang berdasar emosi, misalnya melakukan mencari dukungan emosional. Laki-laki cenderung lebih menggunakan otak kiri sedangkan perempuan secara umum bergantian dalam menggunakan kedua belahan otak kanan dan otak kiri. Hal ini yang mendasari laki-laki lebih kuat dalam logika dan pengambilan keputusan berdasarkan fakta sedangkan perempuan cenderung lebih melihat sesuatu secara garis besar memiliki emosi yang lebih kuat dan bergantung pada intuisi mereka saat mengambil keputusan.


Apa tidak bisa baik-baik? Indonesia terlahir dari penjajah. Kadang sikap dan sifat penjajah itu secara tidak sadar turun menurun dari nenek moyang kita. Warisan politik penjajah negeri ini ternyata masih bersemi hingga kini, apalagi kalau bukan politik pemecah belah dan adu domba. Semangat untuk menuai benih permusuhan di dalam negeri yang satu tidak pernah lelah di gelontorkan oleh segelintir orang yang memang sangat suka melihat keributan di negeri ini.


Pangkal dari bekerja apapun adalah ibadah. Kembali, kita diingatkan dalam Alquran, hidup didunia tidak akan lepas dari cobaan.  Tidak ada yang selamanya hidup enak terus dan tidak ada yang selamanya sengsara terus. “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (QS. Al-Baqarah: 155).


Apapun pekerjaannya memiliki tantangan tersendiri. Menjadi pedagang bisa mengatur waktu sendiri namun uang yang diterima tidak tertebak. Berbeda dengan gaji buruh yang stabil dan tepat waktu. Semuanya Allah cukupkan rizki, tidak hanya materi berupa gaji. Anak, istri yang sholeh, sholehah, badan sehat, memiliki tetangga yang baik, bisa ibadah dengan tenang dll itu juga bagian rizki Allah. 

Jikapun menjadi buruh baiknya buruh yang memanusiakan manusia. Yang mendahulukan akhlak lalu ilmu. Yang memperbolehkan sholat dan menyediakan fasilitas ibadah. Yang menegur tanpa menyakiti, yang memperingati tanpa memaki.  Yang memiliki aturan yang ketat menyoal kekerasan dan tunjangan masa depan yang cerah. Dan keduanya hidup rukun, saling menguntungkan dan saling mendoakan.

* Foto milik facebooknews Banten

Friday 16 October 2020

Saya Buruh Dipabrik Sepatu

 



Dari 2007-2016 saya adalah buruh di pabrik sepatu tersohor di Serang Banten. 6 bulan pertama saya sebagai operator serabutan. Kadang mengelem outsole, menali sepatu, membaffing (menipisi) kulit, cek pola dll. Kemudian saya meminta mutasi ke bagian planning. Melalui tes di HRD kemudian di tempat kerja. Ala kulli haal saya bekerja lebih ringan, duduk dikantor dan berjam-jam menghadap komputer.


Bukan hal mudah, gedung kerjaku kategori proses assembling, setelah proses cutting. Barisan line baru dengan komposisi banyak karyawan baru tentu memiliki kesulitan dan masalah sendiri. Target dimulai perjam awalnya 100pcs perjam,nyata jarang terlampaui. 


Pernah ketika sampai finishing ternyata sepatu tidak seimbang tinggi rendahnya. Walhasil omelan pedas dari pengawas muncul, sambil memukul dengan outsole (telapak sepatu), "kamu makan kemenyan yak? Mati aja, mati". Nadanya tinggi dan matanya melotot. Aku yang belum selesai masa training hanya membisu dan menahan emosi yang tak karuan. 


Belum emosi yang lain yang tak bisa disebutkan. Bahasa kasar sering muncul oleh pengawas tanpa kendali saat masalah lapangan itu timbul. Pengawas dan supervisor dibawah tekanan target dan tuntutan kualitas dari atasan.  


Diakui, lemburan di lapangan tak terhitung jamnya. Apalagi jika dikejar ekspor. Dengan begitu otomatis uang lemburan lebih banyak dibanding karyawan yang di kantor yang jarang lembur. Meski kadang ada beberapa jam lemburan yang tidak terhitung. 


Tidak hanya masalah gaji yang diterima. Operator lapangan dan operator di kantor berbeda gaya fashion. Meski gaji pokok, operator kantor lebih modis dan cantik. Memiliki fasilitas AC, kursi empuk dan paling penting punya kemudahan mengurus cuti atau PC (Pulang Cepat). Dengan mudah di acc untuk cuti haid, cuti tahunan, cuti nikah, melahirkan, khitan, urusan agama dll. Sedang, jika dilapangan susah untuk cuti. Dengan banyak pertimbangan dan satu operator yang cuti bisa berpengaruh dengan hasil produksi, lagi target tim dan kualitas barang. 


Sekitar tahun 2009 usai kebijakan perusahaan diperbaiki. Jim keady seorang aktivis buruh berhasil meluluhlantahkan hati usai berdebat langsung dengan CEO Nike di AS,untuk membayar upah lemburan yang tidak dibayar selama beberapa tahun. Dengan mengganti sebanyak 1juta dolar. Meskipun demikian Jim akhirnya dideportasi dan tidak boleh lagi ke Indonesia.


Aturan mengenai kekerasan verbal dan nonverbal terpampang jelas dan direalisasikan. Sanksi tegas tercantum juga. Berikut juga aturan kerja dan lemburan yang semakin ketat, terkontrol dan disiplin. Alat-alat cangih disiapkan, seperti perbaikan cekrol absen dan pemasangan cc tv.  Pengawasan terhadap aturan berlaku pun tidak main- main. Bekerja dimulai dan berakhir ditandai dengan bel berbunyi. Dan memastikan ruangan benar-benar kosong sebelum dan sesudah bekerja. Dikhawatirkan ada karyawan yang mencuri start bekerja dan bekerja melampaui jam kerja.


Kini, saya disibukkan dengan mengurus rumah tangga. Usai ijab sah, selang beberapa hari kemudian memutuskan untuk resign. Pengalaman menjadi buruh menjadi perjalanan pahit manis. Suka dukanya dinikmati dan disyukuri. Ada banyak hal keinginan dan cita-cita yang terpenuhi saat menjadi buruh. 


Undang-undang omnibuslaw cipta kerja yang sudah disahkan tengah malam kemarin, rasanya membuat badan ini lemas, sedih, kesal, gereget dan mengumpat. Astaghfirullaah! Saya memang bukan orang yang langsung merasakan imbasnya. Namun, ancaman keberlangsungan hidup mereka begitu dekat. Di masa pandemi yang serba pailit harus ditimpa derita lagi. Pemerintah yang seharusnya sibuk menangani wabah corona, seakan mencuri kesempatan warganya yang di lockdown, di rumah aja. Vonis diketuk dengan buru-buru seperti dikejar setoran. Sedang, warga banyak yang menunda kepentingan tertentu karena terkendala pandemi. Dulu susah-susah elajar menghafal fungsi DPR, ternyata fungsinya nenyusahkan rakyat 


Lebih melindungi penguasa investor dan mengkerdilkan kaum buruh. Undang-undang yang dibuat hanya mengusung kepetingan perut penguasa yang segelintir. Tanpa mempertimbangan kaum buruh yang jutaan dan menghidupi keluarganya. 


Entah akan menjadi seperti apa nanti. Lelagi penguasa menyalah gunakan wewenang. Tak cukup sekali, mengutip dalam sebuah pidato, Presiden Soekarno berujar, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”. Nah, itu!

Tulisan ini terpacu setelah disahkannya UU omnibuslow. Yang diposting di beranda KBM (grup Komunitas Bisa Menulis di facebook) ternyata 1.2M member banyak alumni pabrik ini. Dan semalam KBM dihapus oleh babang Mark.

Foto by facebooknews banten 

Tuesday 13 October 2020

Kreatifitas Anak Untuk Anak Desa

 


Tak menampik hidup di desa memiliki kemudahan mengakses alam dengan mudah. Terasa sekali, saat sekarang terkadang bingung masak apa pekarangan samping rumah sangat membantu. Saat ada jantung pisang ya masak jantung, begitupun pepaya, daun kelor, daun singkong dsb.


Nah, ini menyangkut kreatifitas anak dan efisiensi yang ramah di kantong dan ramah lingkungan. Seperti mengulang saat masih kecil. Bermain gelembung dan pacar kuku. 


*Gelembung sabun


Saat bepergian atau berwisata Mika sering sekali tertarik dengan permainan gelembung. Untuk kemasan yang sederhana berupa gelas plastik dan 2  warna sabun gelembung seukuran es mambo biasanya dihargai 5 K. Sedang untuk kemasan plastik panjang dengan karakter biasanya dipasaran harga 10-15K.


Tian dan Aji sedang bermain bersama, keduanya bermain memetik daun riribang. Dengan inisiatifku, mereka ku ajak mengolah daun riribang menjadi gelembung. 


Daun riribang menyerupai daun sepatu. Bunganya merah berputik panjang menjuntai, biasanya liar dipinggir jalan. Setelah dipetik daun muda, kemudian ditumbuk hingga halus. Tumbukan daun biasanya berlendir dan licin. Lalu dicampur air, sabun colek dan diaduk. Untuk tongkat tiupnya, menggunakan ranting daun tretean yang ikat berongga.


Taraaa, dan jadilah gelembung yang murah meriah. Mika, Tian, Aji bermain dengan gembira. Senyumnya merekah bersama gelembung yang terbang terbawa angin. 


Jika dikalkulasikan, lumayan hemat. Belajar sambil bermain. Menggunakan bahan yang terdekat di lingkungan sendiri dan ramah dikantong.


* Pacar kuku


Gadget sangat berpengaruh dalam tumbuh kembang anak. Salah satu tontonan yang disukai Mika yaitu reality show diary likr Nastya dan Diana Show. Keduanya anak perempuan yang lucu, dengan segala aktifitas dan mainanya.


Tayangan bermain cat kuku membekas di pikiran Mika. Pernah meminta namun tak sampai merengek. Ide itu datang saat melihat pohon pacar di depan rumah tetangga. Mungkin kalau tidak karena anak, jalan-jalan ke tetangga tak mesti dijamah.


Izin meminta daun pacar sudah diiyakan oleh pemiliknya. Tak banyak, hanya segenggam tangan lalu kusimpan disaku. Tetiba Mika minta pulang karena ingin buang air kecil. 


Sesampainya di rumah, kutahan hingga nanti. Mengingat sang surya terik menyinari bumi. Mika berulang mencoba menumbuk dipinggir jalan yang panas. Rasa penasarannya ingin mengetahui hasilnya. 


Cobek dan ulekan mbah kupinjam. Supaya lebih aman tetap di dalam rumah. Selain tidak kepanasan tentu anak terjangkau pengawasan. Daun pacar ditumbuk hingga halus, beri sedikit air. Setelah lembut dibubuhkan dikuku hingga kering. 


Nyatanya, tak sampai kering Mika sudah tidak sabar. Ketidak hati-hatiannya lelagi salah satu kukunya tersenggol dan terlepas. Berulang lagi hingga sekian kali. Supaya cepat kering, tangan diletakkan di luar dan terkena sengatan matahari. Alternatif lain yang adem dengan kipas.


Mika melepas pacar kuku yang masih agak basah. Kuku Mika berubah menjadi warna orange pucat. Berbeda dengan punyaku yang lebih lama memakainya, orange terang. 


Ohya, daun pacar mengingatkanku pada masa kecil. Sering bermain pacar kuku dan meminta daun ke alm. magede (uwak). Setelah magede tidak ada, dulu dibelakang rumah matua (mbah) pun ada. Sekarang, jarang anak-anak bermain pacar kuku. Keberadaan pohon pun jarang juga. 


* Kereta dari kulit jeruk bali




Kebetulan sore kami melintas di rumah tetangga. Anak-anak sedang asyik bermain kulit jeruk. Didampingi ayah mereka, berkreasi menjadi kendaraan. 


Kulit jeruk itu diberi  tetangga sebelah. Harus hati-hati mengupasnya, supaya kulit dan buah tetap bagus. Sebenarnya keluargaku juga dikasih, hanya saja dikupas dengan kulit jeruk dengan potongan kecil-kecil. 


Potongan menyerupai bulan sabit itu dijadikan badan kendaraan. Dibuatlah 4 roda yang dibentuk bundar. Ditusuk dengan lidi untuk menyatukan. Nah, selanjutnya mereka berimajinasi. Dibuat orang-orangan, lampu merah, kursi dsb

Bukan Piknik Dimasa Pandemi




Untuk ke tiga kalinya 3 bocil ini perjalanan jauh. November tahun lalu acara Om Wildan wisuda di Jogja. Juni akhir kemudian om Wildan menikah di Magelang dan kemarin di puncak pandemi akhir September ke Pati, tilik bayi tante Iin.


Bukan tanpa khawatir, tak cukup berbekal doa. Bermasker pasti, walau kadang copot pasang 😁 ada gerah, makan, sholat. Dalam hati terus berprotokol istighfar, minimal menenangkan diri dan menghindari kepanikan. Emak, bapa, Tante Ani dan kedua buah hatinya Amanda dan Marisa juga kami. Ala kulli haal sehat hingga kini.


Aku menyebutnya bukan piknik di kala pandemi. Silaturrohmi, itu yang paling tepat. Menjajaki kota Pati yang berdekatan dengan kota ukir. Perjalanan yang melewati tol kali kangkung via tegal - Semarang  lumayan menyingkat waktu. Dari Bumiayu menuju tol ke Tegal butuh waktu 2 jam. Lalu menembus tol dengan kecepatan 120km/jam, sangat cepat. Sedang, keluar tol perjalanan melewati Kudus, Demak, Pati, Juwana, Puncel. Untungnya, jalan datar bukan naik turun. 


Ajakan 'ngembun' dari om Mintono dibalas antusias. Menuju pantai di Goa Manik, masuk daerah Jepara. Sekitar menempuh perjalanan 20 menit dari rumah. Pagi yang mendung disambut matahari yang malu-malu keluar dari peraduannya. Debur ombak terus menggerus bibir pantai. Gemuruhnya membuat Mika takut. 


Mika masih ingat diperjalanan saat melihat gunung kapur. "Mamah itu ada lavanya?", "enggak ada sayang" jawabku. Kemudian di pantai Mika bertanya lagi, "Mamah, nanti lavanya tumpah ke pantai, takut" ini yang membuat Mika takut mandi di pantai. Memilih menjauh, mendekati padang rumput ilalang yang dimakan gerombolan domba. 



Aku melihat emak dengan rona bahagia. Mantai kali ini emak terlihat lepas. Meski tak memceburkan diri ke air. Emak asik menikmati pasir, berjalan menyusuri  pantai, berbagai pose didepan kamera dengan senang hati dll


Masa pandemi membuat banyak objek wisata ditutup. Anjuran pemerintah, yang mengkhawatirkan penularan virus corona. Berada di pantai hanya ada kami sekeluarga serasa privat pantai. Bangku-bangku kosong, tidak ada satupun pedagang. Namun, perawatan tetap berjalan, pagi itu banyak petugas kebersihan menyapu dan berlalu lalang membawa sampah.