Monday 20 July 2020

Menata Di Tengah Pandemi Covid-19



Pandemi covid-19 nyatanya tidak serta menghapus semua mimpi. Bisa jadi ekonomi rumah tangga kembali ke titik 0. Ini yang kami alami, keluarga kecil dengan sumber penghasilan usaha kecil. Karena sepi order, kami memilih menepi di kampung. Secara otomatis keuangan yang sudah ada dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Di ibukota kami hidup di kontrakan tanpa dapur. Setiap kali makan harus beli sayur dan memasak nasi sendiri. 

Konten yang baru saja digarap terpaksa mandeg. Bukan tanpa usaha, semua peralatan dibawa. Sayang, laptop yang ada tidak mumpuni untuk mengolah. Niatnya untuk mengisi waktu, membuang jenuh, dan berhadiah jika beruntung 😂 hehe dikira jajanan anak. 

Pertengkaran rumah tangga dan perceraian meningkat dibelahan dunia. Seiring intensifnya pertemuan antara suami, istri dan anak yang diisolasi di rumah saja. Sementara beban adaptasi dari segi material dan imaterial cukup gampang-gampang rumit  Lebih dari 2 pekan, bahkan banyak yang berbulan-bulan. Tidak munafik, pertengkaran selalu ada, namun masih batas wajar. Tidak berlebihan dan tidak lama akur kembali. 

Selalu saja ada celah hikmah dibalik ini. Keterbatasan komunikasi penyebabnya. Latar belakang hidup seseorang tidak menjamin untuk mudah memulai obrolan. Meski dengan orang terdekat sekalipun. Kecuali terdesak keperluan. Secanggih apapun gawai dengan menggunnakan sosmed manapun, jika seseorang dengan watak cuek dan asik sendiri ya sudah mereka ada di zona nyamannya. Paling banter bahasa adalah ilmu teka teki, mencoba memahami. Lalu, tahapan sabar selanjutnya yaitu saat emosi membuncah. Nah, disitu ada letupan unek-unek. Disitulah keterbukaan komunikasi, ya meski dengan cara yang kurang enak

Ada 5 bahasa kasih sayang dalam tiap manusia yaitu pujian, waktu, sentuhan fisik, hadiah dan pelayanan. Ke-5 bahasa kasih ini wajib  untuk bayi yang baru lahir sampai 2 tahun. Sedangkan setelah melewati usia itu, hanya perlu satu bahasa kasih. Disitu saya tersadar setelah menonton video Dr. Aisyah Dahlan, ternyata bahasa kasih suami adalah pelayanan. Sedang anakku Qismika, 3tahun adalah sentuhan fisik.

Setelah pindah di pondok mertua, kami mulai berbenah. Memulai untuk memanjakan lidahnya sesuai masakan ibunya. Lain ladang lain belalang, nyatanya resep dari emakku dan mama mertua soal bumbu jauh berbeda. Mama mertua keluarga suka pedas dan bumbu serba terasi enak, sedang emak sebaliknya. Inilah yang kerap membuat nyaman di rumah orang tuanya. Dan mama mertua memaklumi dan sangat sayang pada kami.  Kami itu, menikah dengan orang yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumah. Sedangkan, saya sendiri betah di rumah tempatku dibesarkan. Begitupun anakku, banyak teman dan dekat warung. 

Nyaman di rumah orangtua masing-masing, lalu bla bla bala kami menyatu di bawah atap mama mertua. Setelah tahu suamiku meriyang, sentuhan demi sentuhan dari intensitas pertemuan 24 jam non stop semakin membaik. Sehat dan bekerja sama mengurus anak lalu mulai berkebun.

Tidak ada hal yang terlambat, butuh proses dan kesabaran yang terlatih dari setiap peristiwa. Ada sebutan "Mah, bikin kopi. Mah, masak ini" dan setiap ada ibu sayur keliling, papah kode "Mah, aku suka sayur ini". Dan terkadang lagi istirahat sebentar, "Mah, anakmu mau pipis" duh!! Padahal baru kelar nyuci 😬

Peristiwa demi peristiwa sejatinya mengingatkan tentang pelajaran menikah. Perjalanan menikah adalah proses mengenal sepanjang hidup, semakin usia bertambah, semakin banyak anak dan bertambah besar cerita akan terus mempelajari dan belajar kembali. Sejatinya semakin mengenal semakin membuat nyaman karena arti memahami.

Kekhawatiran rizki secara kesuluruhan, alhamdulillah cukup sekali. Nikmat sehat, berkumpul dengan keluarga, lingkungan yang nyaman. Alhamdulillaah alaa kulli haal. Hanya saja diri sering abai dengan fabiayyi aalaai robbikuma tukadzibaan, astagfitullohal adziim.

2 comments:

Tira Soekardi said...

banyak hal yg terjadi saat pandemi, semua hrs disyukuri ya

Afidatun nasihah said...

Alhamdulillah, ala kulli hal mba 😊